Penerbit Bilik Literasi berpegang
teguh pada pemahaman bahwa penghakiman dan penentuan kualitas karya tidak
berangkat dari endorsement pakar dan “omong kosong” public figure,
melainkan penilaian pembaca. Di sini, para pembaca ditempatkan sebagai pribadi
otonom dengan otoritas penuh. Mereka diberi hak untuk sekadar mengamini apa
yang disuguhkan dalam buku atau bahkan menolaknya. Penerbit ini seolah
menyebarkan pemeo, “Buku yang baik hanya bisa diraba oleh pembaca yang baik.” Pemahaman
inilah yang mengiringi terbitnya buku Bandung Mawardi bertajuk Cuilan (Bilik
Literasi, 2015).
Bagi mereka yang gemar berkutat
pada satu tema, Bandung tentu merupakan “penulis buruk”. Bagaimana tidak, ia sanggup
menulis dalam terminologi sejumlah bidang ilmu pengetahuan. Uniknya, ia bisa
mengangkat hal-hal tabu dengan kesan wagu dan lugu.
Dalam esai “Nisan”, Bandung
berpendapat, adanya nisan para penggerak politik kebangsaan mengandung seruan
merenungi ide dan imajinasi Indonesia. Di kuburan massal korban G30S/PKI,
rakyat diajak untuk bersama-sama membuka tabir misteri. Pemasangan nisan
merupakan ikhtiar penghormatan jenazah. Mengunjungi kuburan berarti ziarah
bersejarah, di mana nisan berfungsi sebagai tanda dan tata ingatan. (halaman
9-10).
Dalam esai-esai Bandung, bertebaran
sejumlah kata: sebaran (gelimang), capaian, moncer, ejawantah, imajinasi, narasi
(kisah, cerita), lakon, episode, gamblang, ingatan (kenangan, memori), ikhtiar,
ekspresi, selebrasi, ada, tema, makna, ide (gagasan), nasib, puja, sihir, siasat,
ambisi (hasrat), misi, dan agenda. Di satu sisi, kata-kata ini telah
memberi corak tersendiri dalam tulisannya. Tapi di sisi lain, begitu dominannya
kata-kata tertentu dalam satu esai rentan memunculkan rasa bosan bagi pembaca. Bagaimana
tidak, Bandung bahkan pernah menggunakan 3-8 kata yang sama (misalnya imajinasi)
secara berulang-ulang. Bagaimana pun, repetisi dalam tulisan merupakan cacat.
Saya menduga, kata-kata di atas
merupakan “hasil kulakan” Bandung terhadap apa yang dibaca selama ini. Imajinasi,
narasi (kisah, cerita), lakon, dan episode diperoleh dari
literatur-literatur sastra. Ingatan (kenangan, memori) diunduh dari
referensi-referensi sejarah. Adapun siasat, ambisi (hasrat), misi, serta
agenda banyak ditemukan dalam arsip-arsip politik dan hukum. Jadi,
proses kreatif Bandung tidak terlepas dari arsip-arsip sastra, sejarah,
politik, dan hukum.
Begitu sebagai
penutup esai seolah menunjukkan seseorang yang habis bertutur “ngalor-ngidul”.
Ini berfungsi sebagai titik besar bagi celoteh dan racauan yang enggan diam. Begitu
menjadi “titik dari segala titik” dalam tulisan Bandung, seakan tanda baca
titik (.) tidak mampu memungkasi paragraf terakhirnya.
Dalam taraf tertentu, Bandung
berhasil melakukan eksperimentasi terhadap struktur bahasa. Sebagai contoh,
untuk menyebut menaruh curiga, ia memakai frasa memaklumi curiga.
Bagi saya, ini merupakan ikhtiar seorang penulis dalam menjinakkan
kata. Tampaknya, Bandung begitu antusias bermain-main dengan diksi. Tak ayal,
dalam buah pena Bandung, terkandung ‘trial
and error’. Langkah yang penuh risiko ini, jika tidak dilakukan dengan
hati-hati, niscaya membuat karya yang bernas justru “dibuang ke keranjang
sampah”.
Dalam esai “Tanda Tangan”, menanggung
kesialan diganti dengan menanggung nasib apes. Ini adalah cara
Bandung menyiasati kejenuhan pembaca saat menghadapi frasa atau idiom yang
telanjur menyebar, baik dalam bahasa tutur maupun karya cetak. Dalam melahirkan
idiom baru, penguasaan sekaligus penyisipan sinonim merupakan kunci Bandung.
Namun demikian, hal tersebut selayaknya tidak dilakukan secara berlebihan,
sebab dapat mengubah konteks, membingungkan pembaca, serta merusak bahasa.
Bandung sungguh telaten memungut
sejumlah arsip “tempo doeloe”. Di antaranya Pemberita Betawi edisi 16
Januari 1888, Medan Prijaji edisi 5 Februari 1910, Kadjawen No.
29-30 edisi 15 April 1941, dan Pandji Poestaka (1940).
Dalam esai
“Kantor”, nuansa masa silam tetap dipertahankan, “Sjahdan sepandjang boenjinja
fatsal I a dari residentiekeur No. 129, tahoen 1899, adalah disebut bahwa jang
haroes dianggap candiedaat prijaji ituoe ijalah: pertama pada siapa jang telah
tamat peladjarannja dari sekolah menak (opleidingschool), kadoea jang telah
tamat peladjarannja pada sekolah rendah kandjeng Gouvernement (sekolah anak
negeri), serta telah bermagang sekoerang-koerangnja 2 tahoen di kantoor-kantoor
Gouvernement seperti pada kantoor bupati, patih afdeeling, controleur, onder
collecteur, hulp onder collecteur, wedana, assistant wedana, dan djaksa.”
(halaman 18-19).
Oleh Bandung, kalimat-kalimat
dalam ejaan lama sengaja “diselamatkan” dari pembakuan. Selain memperkuat
data, hal ini juga
dilakukan demi menjaga orisinalitas arsip-arsip lama. Dalam
esai “Lampu”, ia mengutip, “Surabaja di waktu itu sudah menikmati kemegahan
lampu listrik. Setiap kamar mempunjai fitting dan setiap pembajar-makan
membajar ekstra untuk lampu. Hanja kamarku jang tidak punja. Aku tidak punja
uang untuk membeli bolamnja. Aku beladjar sampai djauh malam dengan memakai
pelita.” (halaman 55). Dalam kutipan ini, Bandung merekam ingatan Soekarno
ketika mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri organisasi Sarekat Islam
(SI).
Kekuatan individu, baik kecerdasan
intelektual, emosional, dan spiritual berandil besar membentuk bangunan
tulisannya. Kapasitas Bandung dalam berkarya terutama didukung kekhasan
esainya. Kuatnya karakter buah pena Bandung barangkali diperoleh dari gabungan
teknik penulisan dan apa yang ada dalam dirinya.
Sepertinya, kekuatan individu
Bandung tidak digapai melalui pendidikan formal, melainkan dari kekayaan
pengalaman hidup, bacaan yang luas, dan lingkungan pergaulan yang beragam.
Kualitas Bandung juga bisa dilihat bahwa dari sejumlah tulisannya, betapa ia
mampu memanfaatkan esai sebagai media refleksi dan kontemplasi.
Batasan esai yang baik yaitu ketika
nama esais dihilangkan, pembaca tetap mampu mengenali siapa penulisnya. Karya
Bandung, dengan segala karakter dan ciri khasnya, sudah mencapai taraf tersebut.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar