Sabtu, 16 Januari 2016

Esai dengan Titik Besar (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Sabtu, 16 Januari 2016)


Penerbit Bilik Literasi berpegang teguh pada pemahaman bahwa penghakiman dan penentuan kualitas karya tidak berangkat dari endorsement pakar dan “omong kosong” public figure, melainkan penilaian pembaca. Di sini, para pembaca ditempatkan sebagai pribadi otonom dengan otoritas penuh. Mereka diberi hak untuk sekadar mengamini apa yang disuguhkan dalam buku atau bahkan menolaknya. Penerbit ini seolah menyebarkan pemeo, “Buku yang baik hanya bisa diraba oleh pembaca yang baik.” Pemahaman inilah yang mengiringi terbitnya buku Bandung Mawardi bertajuk Cuilan (Bilik Literasi, 2015).
Bagi mereka yang gemar berkutat pada satu tema, Bandung tentu merupakan “penulis buruk”. Bagaimana tidak, ia sanggup menulis dalam terminologi sejumlah bidang ilmu pengetahuan. Uniknya, ia bisa mengangkat hal-hal tabu dengan kesan wagu dan lugu.
Dalam esai “Nisan”, Bandung berpendapat, adanya nisan para penggerak politik kebangsaan mengandung seruan merenungi ide dan imajinasi Indonesia. Di kuburan massal korban G30S/PKI, rakyat diajak untuk bersama-sama membuka tabir misteri. Pemasangan nisan merupakan ikhtiar penghormatan jenazah. Mengunjungi kuburan berarti ziarah bersejarah, di mana nisan berfungsi sebagai tanda dan tata ingatan. (halaman 9-10).
Dalam esai-esai Bandung, bertebaran sejumlah kata: sebaran (gelimang), capaian, moncer, ejawantah, imajinasi, narasi (kisah, cerita), lakon, episode, gamblang, ingatan (kenangan, memori), ikhtiar, ekspresi, selebrasi, ada, tema, makna, ide (gagasan), nasib, puja, sihir, siasat, ambisi (hasrat), misi, dan agenda. Di satu sisi, kata-kata ini telah memberi corak tersendiri dalam tulisannya. Tapi di sisi lain, begitu dominannya kata-kata tertentu dalam satu esai rentan memunculkan rasa bosan bagi pembaca. Bagaimana tidak, Bandung bahkan pernah menggunakan 3-8 kata yang sama (misalnya imajinasi) secara berulang-ulang. Bagaimana pun, repetisi dalam tulisan merupakan cacat.
Saya menduga, kata-kata di atas merupakan “hasil kulakan” Bandung terhadap apa yang dibaca selama ini. Imajinasi, narasi (kisah, cerita), lakon, dan episode diperoleh dari literatur-literatur sastra. Ingatan (kenangan, memori) diunduh dari referensi-referensi sejarah. Adapun siasat, ambisi (hasrat), misi, serta agenda banyak ditemukan dalam arsip-arsip politik dan hukum. Jadi, proses kreatif Bandung tidak terlepas dari arsip-arsip sastra, sejarah, politik, dan hukum.
Begitu sebagai penutup esai seolah menunjukkan seseorang yang habis bertutur “ngalor-ngidul”. Ini berfungsi sebagai titik besar bagi celoteh dan racauan yang enggan diam. Begitu menjadi “titik dari segala titik” dalam tulisan Bandung, seakan tanda baca titik (.) tidak mampu memungkasi paragraf terakhirnya. 
Dalam taraf tertentu, Bandung berhasil melakukan eksperimentasi terhadap struktur bahasa. Sebagai contoh, untuk menyebut menaruh curiga, ia memakai frasa memaklumi curiga. Bagi saya, ini merupakan ikhtiar seorang penulis dalam menjinakkan kata. Tampaknya, Bandung begitu antusias bermain-main dengan diksi. Tak ayal, dalam buah pena Bandung, terkandung ‘trial and error’. Langkah yang penuh risiko ini, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, niscaya membuat karya yang bernas justru “dibuang ke keranjang sampah”.    
Dalam esai “Tanda Tangan”, menanggung kesialan diganti dengan menanggung nasib apes. Ini adalah cara Bandung menyiasati kejenuhan pembaca saat menghadapi frasa atau idiom yang telanjur menyebar, baik dalam bahasa tutur maupun karya cetak. Dalam melahirkan idiom baru, penguasaan sekaligus penyisipan sinonim merupakan kunci Bandung. Namun demikian, hal tersebut selayaknya tidak dilakukan secara berlebihan, sebab dapat mengubah konteks, membingungkan pembaca, serta merusak bahasa.
Bandung sungguh telaten memungut sejumlah arsip “tempo doeloe”. Di antaranya Pemberita Betawi edisi 16 Januari 1888, Medan Prijaji edisi 5 Februari 1910, Kadjawen No. 29-30 edisi 15 April 1941, dan Pandji Poestaka (1940).
Dalam esai “Kantor”, nuansa masa silam tetap dipertahankan, “Sjahdan sepandjang boenjinja fatsal I a dari residentiekeur No. 129, tahoen 1899, adalah disebut bahwa jang haroes dianggap candiedaat prijaji ituoe ijalah: pertama pada siapa jang telah tamat peladjarannja dari sekolah menak (opleidingschool), kadoea jang telah tamat peladjarannja pada sekolah rendah kandjeng Gouvernement (sekolah anak negeri), serta telah bermagang sekoerang-koerangnja 2 tahoen di kantoor-kantoor Gouvernement seperti pada kantoor bupati, patih afdeeling, controleur, onder collecteur, hulp onder collecteur, wedana, assistant wedana, dan djaksa.” (halaman 18-19).
Oleh Bandung, kalimat-kalimat dalam ejaan lama sengaja “diselamatkan” dari pembakuan. Selain memperkuat data, hal ini juga dilakukan demi menjaga orisinalitas arsip-arsip lama. Dalam esai “Lampu”, ia mengutip, “Surabaja di waktu itu sudah menikmati kemegahan lampu listrik. Setiap kamar mempunjai fitting dan setiap pembajar-makan membajar ekstra untuk lampu. Hanja kamarku jang tidak punja. Aku tidak punja uang untuk membeli bolamnja. Aku beladjar sampai djauh malam dengan memakai pelita.” (halaman 55). Dalam kutipan ini, Bandung merekam ingatan Soekarno ketika mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri organisasi Sarekat Islam (SI).
Kekuatan individu, baik kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual berandil besar membentuk bangunan tulisannya. Kapasitas Bandung dalam berkarya terutama didukung kekhasan esainya. Kuatnya karakter buah pena Bandung barangkali diperoleh dari gabungan teknik penulisan dan apa yang ada dalam dirinya.
Sepertinya, kekuatan individu Bandung tidak digapai melalui pendidikan formal, melainkan dari kekayaan pengalaman hidup, bacaan yang luas, dan lingkungan pergaulan yang beragam. Kualitas Bandung juga bisa dilihat bahwa dari sejumlah tulisannya, betapa ia mampu memanfaatkan esai sebagai media refleksi dan kontemplasi.
Batasan esai yang baik yaitu ketika nama esais dihilangkan, pembaca tetap mampu mengenali siapa penulisnya. Karya Bandung, dengan segala karakter dan ciri khasnya, sudah mencapai taraf tersebut.


Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar