Minggu, 17 Januari 2016

Kegelisahan Santri dalam Masa Transisi (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 17 Januari 2016)

Judul: Sembarang di Persimpangan
Penulis: Mutimmatun Nadhifah
Terbit: September 2015
Penerbit: Bilik Literasi Solo
Tebal: 64 halaman

Boleh jadi, bakat literasi penulis buku ini, Mutimmatun Nadhifah, mulai terasah saat bermukim di pesantren. Sebagaimana diketahui, kurikulum pesantren mengajarkan sejumlah literatur tauhid, tafsir, fikih, sejarah, tasawuf, dan bidang studi Islam lainnya. Ditambah lagi referensi-referensi sastra, semisal Jurumiyah, Alfiyah Ibn Malik, Jawahir al-Balaghah, dan kitab-kitab lain yang materinya dihidangkan dalam syair Arab.
Background pendidikan Mutimmatun turut memberi warna terhadap tulisan-tulisannya. Dibesarkan dalam lingkungan pesantren, bangunan esainya tidak terlepas dari subjektivitas individu, keyakinan, serta pandangan hidup yang cenderung agamis. Tersebarnya term-term agama dalam esai Mutimmatun segaris lurus dengan kuatnya lingkungan religi dalam kehidupannya.
Tampaknya, keadaan psikologis Mutimmatun berpengaruh besar terhadap pemilihan tema, bahasa dan nilai-nilai yang disisipkan dalam buku Sembarang di Persimpangan. Tema-tema keislaman dapat digarap dengan mudah, sebab ia genap mengetahui serta mengalami kehidupan sosial di pesantren. Apalagi, sejumlah pesantren tersebar di seluruh Madura. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas masyarakat pulau garam tersebut menganut Islam, bahkan merupakan “santri tulen”.
Begitu dominannya corak pandang keagamaan dalam diri Mutimmatun, tak heran jika buah pemikirannya kerap dihubungkan dengan Islam dan tradisi pesantren. Kecenderungan ini terlacak dari jejak sejumlah esainya yang menghubungkan antara budaya pop dengan sajadah (“Budaya Pop Sajadah”), politik dengan cium tangan (“Cium Tangan”), etos literasi dengan santri (“Menyemai Etos Santri Menulis”), stigma dengan Muhammad (“Muhammad: Nama dan Stigma”), serta penerbit dengan penulis Muslim (“Penerbit Menggerakkan Islam”). Apa yang dilakukan Mutimmatun telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim. Tulisan-tulisannya berusaha mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus di kalangan umat Islam, terutama santri.
Sejumlah esainya menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, ia menyoroti tentang kapasitas dan kedudukan perempuan yang kerap diabaikan. Dalam esainya terkandung kegalauan atas dikebirinya peran perempuan dalam pembentukan karakter seseorang. Padahal, tugas mereka dalam keluarga begitu mulia. Ibu selaku pendidik pertama bagi anak (halaman 31) dan nenek sebagai pemberi keteduhan dan kehangatan (halaman 50). Namun di sisi lain, ia mencermati minimnya peran perempuan dalam ranah publik, terutama dalam kancah literasi.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar