Judul:
Sembarang di Persimpangan
Penulis:
Mutimmatun Nadhifah
Terbit:
September 2015
Penerbit:
Bilik Literasi Solo
Tebal:
64 halaman
Boleh
jadi, bakat literasi penulis buku ini, Mutimmatun Nadhifah, mulai terasah saat
bermukim di pesantren. Sebagaimana diketahui, kurikulum pesantren mengajarkan
sejumlah literatur tauhid, tafsir, fikih, sejarah, tasawuf, dan bidang studi
Islam lainnya. Ditambah lagi referensi-referensi sastra, semisal Jurumiyah,
Alfiyah Ibn Malik, Jawahir al-Balaghah, dan kitab-kitab lain yang
materinya dihidangkan dalam syair Arab.
Background pendidikan Mutimmatun turut memberi warna terhadap
tulisan-tulisannya. Dibesarkan dalam lingkungan pesantren, bangunan esainya
tidak terlepas dari subjektivitas individu, keyakinan, serta pandangan hidup
yang cenderung agamis. Tersebarnya term-term agama dalam esai Mutimmatun
segaris lurus dengan kuatnya lingkungan religi dalam kehidupannya.
Tampaknya,
keadaan psikologis Mutimmatun berpengaruh besar terhadap pemilihan tema, bahasa
dan nilai-nilai yang disisipkan dalam buku Sembarang di Persimpangan.
Tema-tema keislaman dapat digarap dengan mudah, sebab ia genap mengetahui serta
mengalami kehidupan sosial di pesantren. Apalagi, sejumlah pesantren tersebar
di seluruh Madura. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas masyarakat
pulau garam tersebut menganut Islam, bahkan merupakan “santri tulen”.
Begitu
dominannya corak pandang keagamaan dalam diri Mutimmatun, tak heran jika buah
pemikirannya kerap dihubungkan dengan Islam dan tradisi pesantren.
Kecenderungan ini terlacak dari jejak sejumlah esainya yang menghubungkan
antara budaya pop dengan sajadah (“Budaya Pop Sajadah”), politik dengan cium
tangan (“Cium Tangan”), etos literasi dengan santri (“Menyemai Etos Santri
Menulis”), stigma dengan Muhammad (“Muhammad: Nama dan Stigma”), serta penerbit
dengan penulis Muslim (“Penerbit Menggerakkan Islam”). Apa yang dilakukan Mutimmatun
telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim. Tulisan-tulisannya
berusaha mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus di kalangan umat
Islam, terutama santri.
Sejumlah
esainya menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, ia menyoroti tentang
kapasitas dan kedudukan perempuan yang kerap diabaikan. Dalam esainya
terkandung kegalauan atas dikebirinya peran perempuan dalam pembentukan
karakter seseorang. Padahal, tugas mereka dalam keluarga begitu mulia. Ibu
selaku pendidik pertama bagi anak (halaman 31) dan nenek sebagai pemberi
keteduhan dan kehangatan (halaman 50). Namun di sisi lain, ia mencermati minimnya peran
perempuan dalam ranah publik, terutama dalam kancah literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar