Terbitnya buku kumpulan
cerpen bertajuk Mata Empat (Senikata,
2013) menandai kesetiaan Riki Utomi dalam berkarya. Jamak tahun bergumul dengan
sastra, nyatanya tidak lantas membuat Riki bosan, tetapi justru kian merasa
nyaman dengan memupuk rasa cinta begitu mendalam. Tampaknya, ia menyimpan
kiat-siasat agar hubungannya dengan sastra terlihat semakin harmonis.
Sebagaimana
pendahulunya di Riau, Taufik Ikram Jamil, Riki memiliki sikap teguh dan keras
kepala. Sesibuk apapun, ia masih menyempatkan diri untuk selalu ‘mengasah
pena’. Sehingga, bukan hal yang berlebihan jika kita menggolongkannya sebagai
penulis dengan jam terbang tinggi. Sebagai apresiasi atas pencapaian yang genap
diraih, berikut ulasan singkat mengenai buku kumpulan cerpennya.
Pertama,
apa yang ditulis Riki rata-rata bersikait dengan dunia pendidikan. Cerpen Mata Empat, Pisau dalam Mata, Tangan, Sekolah Babi, Seorang Anak yang Menjadi
Anjing, Sepercik Harapan, dan Hidung
Bapak Ada Dua adalah sebagian contohnya. Sebagai seorang guru, barang tentu
semua pengalaman Riki dalam mendidik para siswa turut memberi kesan tersendiri
dalam cerita-ceritanya. Cara ia mengajar, memahami psikologi anak-anak didik,
memberi bekal bagi masa depan mereka, serta memandang dengan semangat
keberhasilan yang kelak merka raih, genap membekas dalam balutan kisahnya.
Meskipun tidak melulu
bersetting sekolah atau tempat belajar-mengajar, kebanyakan cerita Riki
memiliki keterkaitan dengan bidang pendidikan. Secara langsung maupun tidak,
hal tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang penulis mempunyai pengaruh
dan andil besar terhadap lahirnya sebuah karya.
Kedua,
sebagian karya Riki ditandai dengan gejala rentannya kemunafikan. Ciri manusia
Indonesia yang digemborkan oleh Mochtar Lubis dan sempat diperdebatkan oleh
pelbagai pihak ini merupakan salah satu titik krusial dari kritik sosial Riki
dalam menghadapi realitas. Baik Tangan
maupun Sekolah Babi, dua-duanya
menunjukkan bahwa dalam dunia yang penuh dengan misi-misi mulia (baca:
pendidikan), ternyata tersimpan niat busuk orang yang berkecimpung di dalamnya.
Dalam cerpen Tangan, seseorang yang
bekerja di kantor Dinas Pendidikan bermaksud menggelapkan uang kantor. Awalnya,
gelagatnya sebagai seorang koruptor memang tidak terendus. Bahkan, kerap kali
berlagak sok pahlawan dan menganggap semua orang hanya berjuang demi kantong sendiri.
Tak bosan-bosannya ia bercita-cita menjadi pahlawan dengan mendengungkan
semangat mengabdi sebagai abdi negara (halaman 26). Tapi, di akhir riwayat
tokoh ini terlibat proyek gelap dan terbukti melakukan korupsi.
Dalam cerpen Sekolah Babi, gejala kemunafikan
bersifat lebih samar. Penulis tak hendak menuduh bahwa guru yang mengabdi di
sebuah sekolah adalah seorang munafik. Tampaknya, penulis menyadari bahwa
kemunafikan tidak selamanya harus merekat pada diri sang tokoh. Atas dasar
itulah, ia lebih memilih untuk melekatkan sifat munafik justru pada para siswa
yang menuntut ilmu. Kemunafikan tersebut diungkapkan oleh guru yang idealis
dengan menyebut mereka sebagai babi. Anak-anak yang seharusnya belajar dengan
benar dan memiliki tata krama yang baik, justru rajin membikin onar dengan
membuat marah gurunya (halaman 32). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis,
secara tidak langsung, ingin menyampaikan bahwa anak-anak yang telah
‘melenceng’ dari fitrahnya itu genap merawat sifat munafik dalam diri mereka.
Lelah meladeni para
siswa yang bengal, guru tadi sering mengumpat dan berkata kasar. Ia begitu
menyesal mengapa berhijrah ke sekolah di pelosok desa di mana anak-anak susah
sekali diatur. Jauh berbeda dengan tempat mengajarnya dulu di kota. Terlebih
lagi, tindakan guru dalam mendisiplinkan siswa selalu dibatasi dengan Hak Asasi
Manusia (HAM). Selaku pendidik, ia tidak dibekali hak untuk memberi peringatan
dengan tegas. Menindak dengan sebatan rotan, misalnya. Imbas dari ketentuan ini
yaitu: di hadapan anak-anak yang susah dinasehati tersebut ia hanya bisa
menggigil menahan geram (halaman 33).
Pesan yang ingin
disampaikan, baik kurang beresnya dunia pendidikan maupun benih-benih
kemunafikan yang layak dihapus, menemukan ruang pada cerpen-cerpen yang diolah
Riki. Hal tersebut antara lain karena: pertama, Riki sengaja menjauhi kata-kata bombastis dan
cenderung menggunakan bahasa ringan. Dengan demikian, misinya berpeluang
terwujud karena ia dapat menjangkau lebih banyak khalayak pembaca.
Kedua,
dengan menggarap tema pendidikan (bidang yang selama ini digeluti) barang tentu
membawa keuntungan tersendiri bagi Riki. Bermodal data juga pengalaman yang
dimiliki, bukan hal yang sulit bagi Riki untuk merangkai serta menuangkannya
dalam cerita. Apalagi, selain menghindarkan karya dari kesan asal-asalan,
kedekatan tema dengan pengalaman juga membuka jalan bagi penulis untuk
menghasilkan karya yang matang.
Ketiga,
beberapa cerpen Riki menunjukkan adanya perhatian lebih terhadap anggota tubuh.
Semisal Mata Empat, Pisau dalam Mata,
Tangan dan Hidung Bapak Ada Dua.
Dalam keempat cerpen tersebut, anggota tubuh (dalam hal ini: mata, tangan dan
hidung) berhasil dieksplorasi dengan baik, meskipun terkadang Riki masih
terlihat ‘ngos-ngosan’. Bila berusaha secara lebih intens berfokus pada anggota
tubuh, niscaya karya-karya Riki akan semakin berkualitas. Penyair Joko Pinurbo
telah membuktikannya dalam buku kumpulan puisi Celana (Indonesia Tera, 1999).
Selain
kelebihan-kelebihan di atas, tercatat sejumlah kelemahan pada karya Riki. Pertama, Riki cenderung abai terhadap
logika cerita. Dalam beberapa cerpen, pembaca tentu merasa kecewa, sebab alur
yang ditawarkan Riki kurang tertata rapi. Apalagi, didukung dengan porsi yang
kurang berimbang di beberapa bagian.
Kedua,
bahasa lokal cenderung berpengaruh ‘negatif’ atas karya Riki. Dalam berkarya,
Riki kurang mampu menempatkan mana kalimat yang perlu di-lokal-kan dan mana
yang tidak, sehingga kreatifitas Riki cenderung ‘salah tempat’. Padahal, jika
diolah secara serius, lokalitas justru mempunyai daya tawar tinggi bagi sebuah
karya. Sudah banyak penulis melahirkan karya bernas setelah berhasil
memanfaatkan lokalitas (baik content
maupun bahasa).
Namun demikian,
sejumlah kelemahan di atas tidak lantas mendegradasi Riki sebagai penulis
kelahiran Pekanbaru ternama yang karya-karyanya rajin menyambangi halaman
media.
Yogyakarta, 2014