Beberapa dasawarsa
terakhir, kota-kota besar di Indonesia identik dengan kata kumuh, tak terawat,
dan penuh polusi. Kota menjadi hilir penampung sampah. Kota ibarat bak besar
yang siap menampung plastik, kertas, dan barang-barang bekas. Kota tidak lagi
menjanjikan keindahan dan kenyamanan. Orang-orang yang ingin berlibur dan
melihat pusat kota tentu kecewa sebab pemandangan di sana tampak mengerikan.
Sebagai tempat pelarian
orang-orang yang terbelit permasalahan ekonomi, kota kurang mendapat perhatian.
Urusan perut menjadikan manusia kurang peka terhadap lingkungan. Kota hanya
menjadi loka singgah. Orang-orang memanfaatkan kota untuk sekadar numpang makan, mandi dan tidur. Nasib
kota semakin tragis tatkala akhir-akhir ini, kota cenderung dimanfaatkan
sebagai lokasi pembunuhan sadis, pemerkosaan brutal, transaksi narkoba dan
beragam bentuk kejahatan lain yang sama sekali tidak manusiawi.
Kota dengan panas
menyengat rentan mengundang aksi nekat. Tingginya suhu mudah menyulut tindakan
kriminal. Boleh dibilang, kasus-kasus kekerasan merupakan imbas tidak langsung
berkurangnya pohon dan tanaman di kota. Keteduhan dan kesejukan yang mulai
terkikis membuat manusia semakin beringas. Hal ini merupakan ekses pendirian
pusat perbelanjaan, gedung mewah, dan kantor, yang abai terhadap tata
lingkungan. Pohon-pohon ditebangi demi kepentingan segelintir orang. Padahal,
pohon menjadi penyelamat, saat sendi-sendi kehidupan mulai kering kerontang.
Pohon menjadi habitat bagi makhluk hidup sehingga memberi kesempatan bagi
terciptanya sebuah ekosistem.
Dalam keadaan seperti
inilah, keberadaan taman perlu dilestarikan. Taman merupakan simbol nilai-nilai
ideal, aspirasi, harapan, serta impian dari suatu kebudayaan. Taman bukanlah
sekadar representasi fisik konsep manusia, tetapi juga harapan dan impian akan
kehidupan surgawi (Doni, 2007). Dengan demikian, saat ini, taman merupakan
tempat membuang jenuh dan menghirup udara segar. Berbeda dengan dahulu kala, di
mana taman didapuk sebagai benteng pertahanan dan “asrama” angkatan perang,
seperti Taman Sari Yogyakarta dan Taman Sunyaragi Cirebon. Hal ini menandakan
bahwa taman mengalami degradasi nilai filosofis.
Bagi masyarakat
perkotaan yang telah dikepung budaya konsumtif dan pola pikir pragmatis, taman
menempati most urgent need. Taman
menjanjikan garansi perlindungan bagi generasi sekarang maupun yang akan
datang. Maka dari itu, bagi kota yang miskin penghijauan, taman baru perlu
didirikan. Adapun taman yang sudah mangkrak dan tidak terurus sebaiknya
direnovasi.
Guna mewujudkan taman
yang dimaksud, Pemerintah Daerah perlu menggunakan seni bina taman (art of landscaping and gardening).
Mengingat, taman-taman yang dikembangkan harus merupakan resolusi inovatif
terhadap kondisi ekologi, perkembangan teknologi, dan impresi budaya.
Dalam menerapkan seni
bina taman (art of landscaping and
gardening), arsitek dan kontraktor perlu memerhatikan unsur-unsur yang
memengaruhi bentuk taman yaitu: pertama,
kondisi fisik, seperti iklim, tapak, dan material. Kedua, persepsi dan aspirasi budaya sebagai dasar filosofi yang
memengaruhi perilaku manusia, seperti hubungan antarmanusia dan hubungan alam-manusia.
Ketiga, sumber daya dan teknologi
sebagai alat memodifikasi kondisi untuk merealisasikan aspirasi budaya (Doni,
2007).
Cara memadukan ketiga
unsur di atas yaitu dengan mengusung air sebagai salah satu pelengkap elemen
taman. Murhananto (2004) mencatat bahwa peranan air dalam desain taman memiliki
sejarah panjang. Selama masa Plato, penggunaan air mancur sebagai penghias
taman dan kuil sangat sering ditemukan. Pada waktu itu, air mancur juga
dianggap suci, sehingga taman-taman yang di tengahnya terdapat air mancur
banyak digunakan sebagai lokasi bersemedi. Adapun penemuan teknik hidrolik di
Roma ditandai dengan kehadiran air mancur hias di taman-taman. Taman air di
Villa Hadrian’s yang terletak di kota Tivoli adalah salah satu yang patut disebut.
Gabungan antara aliran sungai kecil, terusan air, air mancur dan kolam
membentuk taman ini menjadi tempat yang sejuk dan menentramkan hati.
Air mancur dalam taman
tidak hanya menyajikan keindahan visual yang memanjakan pancaindera, akan
tetapi juga integritas makna. Sebab, dua elemen taman, yaitu material keras (hard material) dan material lunak (soft material), harus memiliki
keselarasan. Kolam termasuk elemen keras, karena bahan bakunya berupa semen dan
batuan. Namun setelah diisi air, ikan, atau tanaman, elemen keras tadi telah
berbaur dengan elemen lunak. Sinkronisasi tercipta jika terjadi perubahan
elemen keras menjadi elemen lunak dengan ditambahkannya instalasi air mancur di
tengah-tengah kolam.
Setelah membenahi taman
dengan sentuhan filosofis, pemangku jabatan harus mampu mempromosikannya ke
seluruh lapisan masyarakat. Untuk mengajak orang berbondong-bondong mengunjungi
taman, perlu dilakukan strategi jitu. Apa yang dilakukan Wali Kota Bandung,
Ridwan Kamil, perlu ditiru oleh para Bupati dan Wali Kota lain. Terobosannya
yaitu menghidupkan kembali sejumlah taman kota dengan meluncurkan taman-taman
tematik, seperti: Taman Lansia, Taman Jomblo, Taman Musik Centrum, Taman
Fotografi, Taman Pustaka Bunga, Taman Persib, dan Taman Film. Langkah ini
penting, mengingat, taman diharapkan menjadi sarana hiburan utama tanpa pungutan
biaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar