Sebulan yang lalu, seperti biasa,
Sumi mengamen di bus kota. Ia mendendangkan lagu dangdut dan campur sari. Seperti
biasa pula, usai mempersembahkan dua biji lagu, ia menadahkan topi ke para
penumpang guna menakik buah kerjanya.
Bus jurusan Nyawo–Sriben menjadi
target operasi Sumi. Perempuan bermata kelereng itu memilih bus jurusan
tersebut, agar tak terlalu jauh melangkah dari rumah.
Mengamen? Benar. Ia punya suami?
Punya. Suaminya, Mat Palu, seorang pengangguran. Lelaki ceking berkumis tebal
itu termasuk pemabuk berat sekaligus penjudi kelas kambing. Saban malam, bisa
dipastikan, ia mencongkong di pos dekat warung Mbok Suti. Di sanalah ia
melampiaskan candunya bersama Dul, Gani, dan Cemplik. Dan kalau kekenyangan tuak,
Mat Palu berguling-guling di tanah dan menyemburkan sebuah nama.
“Yen… Yen.. Yeniku sayang”
Bagaimana dengan Sumi? Setiap
hari, saat gelap terbit dan jarum jam memeluk angka delapan, Sumi meringkuk di
ranjang, menemani tidur anaknya. Tanpa suami. Tanpa belaian lelaki yang dulu
sangat dicintai dan mencintainya. Dan, jika Sumi ditanya, apakah ia masih
mencintai lelakinya? Ia akan memilih diam. Ia mafhum bahwa suaminya enggan lagi
melahap cintanya. Akan tetapi, ia tetap nekat bertahan. Mempertahankan biduk
rumah tangga yang tengah oleng.
Pada waktu itu pula, ia mengetahui
persis ke mana suaminya keluar. Ia juga sadar, suaminya pergi tanpa pamit dengan
membawa buah keringatnya; rupiah hasil mengamen. Ya. Mat Palu memakainya buat
mabuk-mabukan dan berjudi buntut.
Sumi paham betul dengan tabiat
buruk suaminya. Namun, tiada yang dapat ia perbuat. Tatkala Mat Palu dinasehati
agar menamatkan kebiasaan, kepalanya mendidih dan berkata seenak perutnya. Sok ngatur lah. Sok alim lah. Bahkan selagi gelap mata, pernah ia suguhkan parang
dan hampir saja leher anaknya digorok. Kalau terlambat dibawa ke rumah mertua,
nyawa Rita pasti sudah mengapung.
Sumi tak tahu entah sampai kapan
kehidupannya menggelinding seperti itu. Harapannya sederhana; sang suami menyingkirkan
kebiasaan buruknya dan kembali seperti semula, kala usia pernikahan belum genap
lima tahun.
Siang itu, lagi-lagi, saat menceritakan
awal mula penderitaan, pipinya basah kuyup. Kebanjiran air mata.
“Saya juga kurang tahu, Mbak. Sejak
ia bertemu Yeni, tingkahnya berubah.”
Kata-katanya perlahan mengalir.
Dan, tentu kau akan merugi jika melewatkan
penuturannya. Ini penting buat bekal sebelum naik ke pelaminan. Maka, ceraplah
ceritanya penuh seksama!
***
Yeni adalah gadis penunggu warung
Mbok Suti. Perempuan bertubuh sintal, berwajah rembulan, dan masih hijau itu
keponakan Mbok Suti, yang berasal dari desa Sagejek. Mbok Suti sengaja
mendatangkannya supaya menemani dan mengurangi bobot kerja. Maklumlah, umur
Mbok Suti hampir menginjak kepala enam. Marni, anak semata wayangnya, entah
minggat ke mana.
Dan, pilihan Mbok Suti memang tepat.
Sejak warung ditunggui Yeni, pelanggannya kian membludak. Saking berjibunnya
pelanggan, hingga ia sediakan tikar daun pandan di muka warung. Pada mulanya, nenek
pemakan daun sirih itu mengira bahwa para pelanggan terpikat dengan racikan
kopi Yeni. Ternyata dugaannya salah. Mereka setia berkunjung sebab terpesona
dengan senyum sang keponakan. Ya, senyum merekah bak mawar merah dan memicu
jantung berhenti berdetak.
Mat Palu, suami saya, termasuk
korban. Awalnya, ia doyan ngopi di warung Mbak Sukijah. Racikan yang pas,
didukung dengan keramahan pemilik warung, membuat lidahnya kerasan. Ia juga
memiliki ikatan batin dengan beberapa pelanggan di sana. Sesungguhnya, kurang
tepat bila ada yang mengecapnya pelanggan tetap. Lha wong, ia ke sana dua
minggu sekali. Itu pun kalau ada uang. Sampai sini, tak ada yang perlu dirisaukan.
Dan, perjalanan rumah tangga kami berjalan penuh kehangatan.
Namun, semuanya berubah setiba perempuan
itu di desa ini. Benih perubahan mulai muncul ketika suami saya berburu belut
dengan Sukaji.
“Kang. Kamu tahu warung Mbok
Suti?”
“Emang kenapa?”
“Waduh, ketinggalan jaman. Sekarang
kopinya makin suegerrr”
“Masak? Yang bener?”
“Ih, gak percaya. Kamu tahu gak? Yang ngracik perawan bahenol,
lho. Wajahnya muaaaniss.”
Lantas suami saya betul-betul ingin
mengecek ocehan temannya.
Keesokan harinya, ia pergi ke
tengkulak belut. Ia hendak menikmati kerja lemburnya semalam, dengan memanggul
belut-belut tangkapan dan menukarkannya dengan uang. Benar. Rupiah yang selama
ini digunakan menafkahi keluarga merupakan hasil penukaran dengan belut. Ya,
belut. Hewan licin dan berlendir itu menjadi penopang hidup kami bertiga; Saya,
Rita, dan ayahnya.
Suami saya, Mat Palu, adalah tipe
orang bertanggung jawab, meski lambat laun sifatnya berubah. Uang hasil kerja benar-benar
dihemat demi meruncit beras dan sesekali membelikan pisang buat Rita. Bila uang
makan bersisa, barulah ia ngopi di warung Mbak Sukijah.
Selasa itu ia memang mujur. Belut
yang dibekuk lumayan banyak. Setelah dihitung-hitung dan kebutuhan keluarga dikalkulasi,
ternyata uangnya lebih secolek. Pandangannya mengarah ke cakrawala. Sedang batinnya
mendesis:
“Asyik. Nanti sore bisa ngopi
di warung baru.”
Benar. Sore harinya, setelah
merebahkan badan sejenak, ia pamit keluar. Tanpa banyak tanya, saya pun mengijinkan.
Tiada kecurigaan. Tiada pikiran macam-macam. Sebelum pergi, terlebih dahulu ia sambar
uang kembalian dari beras yang dibeli. Tetapi, itu kali berbeda. Ia keluar
menuju arah utara. Bukan ke selatan, sebagaimana kala hendak ngopi di
Mbak Sukijah. Usut punya usut, ternyata ia menongkrong di warung hijau bercadar
bambu. Tepatnya di warung Mbok Suti.
Mulai ia duduk, memesan kopi, menyeruputnya
sedikit demi sedikit, hingga cairan kental hitam itu tinggal seteguk, matanya
belum melihat tanda-tanda keberadaan gadis yang diceritakan temannya. Kepalanya
tegang. Lehernya kaku. Gerahamnya mengait. Baru ini kali ia merasa dibodohi Sukaji.
Mbok Suti membaca isyarat
kegelisahannya.
“Ada apa, Kang? Jadi pelanggan
baru kok sudah menggerutu. Kalau ada
masalah ya cerita saja. Apa kopinya kurang enak?”
Suami saya gelagapan. Peluhnya bertunas.
Jemari yang asalnya berada di kursi, tiba-tiba beringsut ke alis. Mulutnya terjahit.
Perbendaharaan kata-kata di lidahnya habis.
Seperti ada yang memberitahu Mbok
Suti, sejurus kemudian, katup bibir sang nenek terbuka:
“O, Yeni? Hari ini dia gak ke
warung. Dia lagi sakit, Kang. Tapi tenang kok. Paling-paling besok sudah
sembuh. Jangan pakai malu! Semua lelaki yang baru ke sini pasti ingin ketemu
dia. Kamu juga to?”
Bagai maling terpergok, suami
saya tak berani berulah sedikit pun. Membalas senyum saja tidak. Dan, segesit
kilat, sisa kopi ditenggak. Uang ditaruh di meja dan pamit pulang.
Malam hari, biasanya ia tunaikan
kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Ya, menuntut uang. Malam, baginya adalah
waktu yang sangat berharga. Meski ia menyukai pagi, siang dan sore hari. Malam
tetap lebih unggul dan lebih istimewa daripada yang lain. Karena pada waktu
itulah anak-bini belut bersedia menampakkan diri di sawah, parit, sungai, dan
rawa-rawa. Dan ia dengan mudah akan meringkus dan menjebloskannya ke dalam karung.
Namun, ada yang lain. Di suatu malam
yang senyap, suami saya begitu bersemangat. Menggebu-gebu. Bahkan, jika boleh
dikatakan, nafsu kerjanya memuncak. Roh apa yang tengah merasuki tubuhnya.
Bertemu jin macam apa pula ia, sehingga selepas magrib, ia sudah berpamitan. Padahal,
belum saatnya ia berangkat. Lazimnya, ia akan ongkang-ongkang kaki, menggelesot
dulu di tikar sembari berbagi cerita masa kecilnya dengan Rita. Juga berkisah
tentang Malin Kundang, Sangkuriang, Joko Tarub, Nyi Roro Kidul, dan seribu dongeng
lainnya. Sepuluh menit kemudian, ia akan membaringkan Rita yang telah tersihir
dengan ceritanya itu. Baru pada jam sembilan ia bersiap meluncur bersama kawanannya.
Ada apa gerangan?
Ada apa ya?
Emm… Maaf, saya lupa. Hal ini
sering terjadi, bila cerita beranjak sampai sini. Sebentar, sebentar. Saya cermat-cermat
dulu.
O, ya. Saya ingat. Pasti suami
saya bertingkah sedemikian rupa gara-gara Mbok Suti. Ah, bukan, bukan. Tepatnya
sebab Yeni. Ya, si gadis penebar masalah itu. Suami saya ingin menangkap belut
lebih banyak supaya uang yang diperoleh dari tengkulak juga besar. Kalau sudah demikian,
pasti esoknya ia akan menggelundung ke warung Mbok Suti untuk yang kedua kali.
Betul kan yang saya bilang? Esoknya
ia kembali ke warung Mbok Suti. Dan, akhirnya bisa bertembung dengan Yeni.
Semenjak itulah hubungan saya
dengan suami bertambah renggang. Ia cukup dingin. Nafkah batin yang sebelumnya diberikan
tiga hingga empat kali dalam sepekan, makin jarang saya terima. Sebulan sekali
saja untung-untungan. Yang lebih gila, selagi menunaikannya, ia menyebut-nyebut
nama Yeni. Edan tenan.
Penderitaan kian berlimpah ketika
Yeni pulang kampung untuk menikah. Suami saya merasa begitu kehilangan. Setiap
hari kerjanya hanya mabuk dan berjudi. Ia malas berburu belut, sehingga pemasukan
berhenti sama sekali. Guna menuruti kebutuhan sehari-hari, terpaksa saya
mengutang ke Pak Har. Tetapi, lama kelamaan saya malu, karena utang terus
menumpuk dan saya tak sanggup membayar. Akhirnya, terpaksa saya mengamen. Bagi
saya, ini lebih mulia daripada melacur. Ya, lebih baik melego suara daripada obral
harga diri. Begitulah, Mbak.
Dan, karena bosan menghadapi
cobaan, sering saya berhasrat mengakhiri hidup. Namun, tiap kali mau gantung
leher di pohon jati, bayangan Rita menyembul seketika dan membatalkan niat saya.
Minta cerai? Saya sudah bosan.
Bahkan terakhir, saya mengucapkannya waktu ia datang malam-malam. Begitu mendengarnya,
suami saya kalap dan mengancam akan membunuh Rita.
Cukup, ya. Saya capai dengan
semua ini. Barangkali jalan takdir yang harus saya tempuh memang demikian. Saya
hanya sanggup berdoa. Semoga Tuhan meluluskan doa saya.
Memang betul pesan Emak: “Jika
mau kawin, kau harus siap lahir batin, Nduk”.
***
Dan, pagi tadi, Sumi melantukan
lagu dangdut dan campur sari di bus kota. Usai menghidangkan dua biji lagu, ia
memetik buah kerjanya. Namun, tidak dengan topi. Melainkan dengan beberapa
gelintir amplop. Ya, amplop putih seukuran kantong kemeja. Di amplop tersebut tergores
dua baris tulisan:
MOHON KEIKHLASANNYA
BUAT BELI PERALATAN SEKOLAH ANAK
SAYA
Seturun dari bus, sambil
mengurutkan napas, ia berpikir bagaimana caranya mencari uang tambahan. Besok
pagi Rita masuk sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar