Oleh Presiden Joko
Widodo, Indonesia ditargetkan berswasembada gula pada 2019. Untuk mencapai target
ini, Staf Ahli Kementerian Badan Usaha Milik Negara Sahala Lumbangaol
mengatakan pemerintah berencana membangun sepuluh pabrik gula baru di Tanah
Air.
Latar belakang lahirnya
kebijakan di atas yaitu laju prosentase impor gula yang cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Impor gula merupakan imbas tidak langsung dari keengganan
Soeharto memulai land reform,
sehingga produksi tanaman pangan semakin menurun. Produksi beras besar-besaran pada
masa Soeharto menyebabkan merosotnya produksi gula. Akibatnya, pemerintah
terpaksa mengimpor gula dari negara lain. Jumlah impor semakin besar karena dengan
cara itu, keran korupsi terbuka lebar.
Kebijakan pemerintah menemukan
rasionalisasinya dengan fakta bahwa gula memainkan peran signifikan. Dulu kala,
gula menjadi ujung tombak kekuatan ekonomi, sampai-sampai Hindia Belanda diakui
sebagai ‘negeri gula’ dengan produksi gula terbesar kedua di dunia setelah
Kuba.
Paradoks
Gula
Selain katalisasi ekonomi,
gula berperan sebagai simbolisasi nilai-nilai kemuliaan, manifestasi pewartaan
agama, juga realisasi gejala-gejala dekadensi moral. Ini berarti, tidak hanya untuk
beritikad baik, gula juga difungsikan manusia untuk mengingkari dirinya sebagai
homo religius.
Kerajaan Majapahit menggunakan
gula-kelapa sebagai lambang negara. Penggunaaan simbol ini bukan bermaksud
menyodorkan sebuah kearifan etnik, tetapi lebih pada universalitas kearifan
bangsa. Hal ini tidak terlepas dari keinginan Majapahit untuk mempersatukan seluruh
kawasan Nusantara. Dalam pemahaman tradisi Jawa, gula berarti harapan sekaligus
ajakan yang baik (pangajap manis) dalam
mewujudkan intisari atau mustika kelapa (Ki Juru Bangunjiwa, 2009: 132). Kerajaan
yang mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk tersebut menggunakan
simbol gula-kelapa dalam rangka mewariskan ajaran dan nilai-nilai luhur
kepribadian bangsa (piwulang luhur).
Dulu kala, di Ganjuran
dan Medari, Yogyakarta, sebagian orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang
bekerja dan tinggal di kawasan pabrik gula adalah pemeluk Katolik. Mereka
berhak memperoleh pelayanan rohani dan sakramen-sakramen dari pastor paroki,
sehingga memungkinkan adanya kunjungan pastoral.
Selain itu, lingkaran
inti pabrik gula, tempat bermukim sebagian kecil orang Eropa, merupakan kawasan
semi-urban. Tak heran jika para misionaris yang notabene juga berkebangsaan
Eropa memulai karya pewartaan agamanya dari sana. Pusat-pusat pabrik gula
sebagai titik pijak awal lebih mencerminkan kerja sistematis daripada pemenuhan
kepentingan lain. Hal ini menyebabkan kunjungan-kunjungan yang lebih bermuatan
kegiatan pastoral tersebut dilanjutkan dengan usaha perintisan pewartaan agama
(Anton Haryono, 2009: 1921).
Moralitas yang merosot boleh
dihubungkan dengan bertambahnya produksi gula. Mengutip Leonard Blusse (2004), pada
tahun 1710, hampir keseluruhan usaha budi daya gula berada dalam genggaman
orang-orang Cina. Sebab mendapat dukungan dari pihak kolonial,
perkebunan-perkebunan gula yang mereka miliki bertebaran di pedesaan sekitar
Batavia, sehingga pada tahun itu
terdapat 130 pabrik gula milik 84 orang pengusaha di Ommelanden.
Namun demikian, produksi
gula besar-besaran memunculkan banyak masalah. Sejak tahun 1960, Belanda berusaha
menghalangi membanjirnya tenaga kerja dari Cina dengan mempengaruhi para
nahkoda. Ternyata upaya ini membuka jalan bagi para nahkoda untuk menyuap pejabat-pejabat
pelabuhan yang memiliki hubungan dengan penguasa pabrik gula. Emigran-emigran
Cina juga didaratkan di Pulau Seribu, di depan pantai Batavia, atau di
sepanjang pantai Jawa yang bebas dari patroli, guna menghindari pendaftaran di
rumah kapiten atau mengecoh kuota imigrasi. Dengan semakin banyaknya penyelundupan
tenaga kerja ilegal, semakin besar pula keuntungan para pengusaha pabrik gula.
Gula dan Jawa
Gula telah mempermanis rintisan
dagang Hindia Belanda di pasar Eropa. Atas kebijakan Gubernur Jenderal Johannes
van den Bosch (1830-1833) yang menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), gula turut menyumbang besarnya
laba Pemerintah Belanda. Hingga permulaan abad ke-20, ladang-ladang tebu dan
pabrik-pabrik gula di Jawa merupakan mesin-mesin produksi gula dunia.
Namun, tidak demikian bagi
masyarakat Jawa. Gula tidak semanis rasanya. Gula cenderung mewariskan rasa
pahit-getir yang terpaksa ditelan. Dalam proses berdiri dan beroperasinya
pabrik-pabrik gula, perbudakan dan kemiskinan menjadi bagian tak terelakkan. Melejitnya
pertumbuhan ekonomi pabrik-pabrik gula tidak lantas mengentas masyarakat Jawa
dari jurang kemelaratan.
Di Jawa, gula merupakan
beban bagi para petani. Dalam pandangan C. Geertz, gula berimbas pada lahirnya proses
involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan, sehingga struktur
pertanian sawah mengecil (Onghokham, 1985). Sebaliknya, keuntungan yang
berlipat menjadikan terbentuknya modal, sehingga perkebunan atau pabrik gula
mengalami evolusi.
Di samping itu, telah
muncul perbedaan kelas antara mereka yang menduduki jabatan strategis di pabrik
gula dengan orang-orang bawahan sebagai buruh-buruh. Di pabrik gula Ngadirejo,
Kediri, terdapat perbedaan kelas antara “employe”
yang mencakup direktur, wakil direktur, sinder tebu, masinis, ahli gula, dan kepala
kendaraan dengan “buruh” yang terdiri dari buruh tetap, buruh musiman, sopir, dan
penjaga keamanan (waker).
Kelas employe memperoleh beragam fasilitas,
seperti penyediaan bus gratis bagi anak-anak employe setiap berangkat dan pulang sekolah, pemutaran film,
pemandian, tenis, rekreasi, serta pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga employe yang sakit. Sementara itu, anak-anak
buruh harus mengayuh sepeda sekitar 14 kilometer untuk pergi ke sekolah dan
keluarga buruh yang sakit cukup dibawa ke klinik pabrik gula.
Pada pergelaran pesta
yang digelar pihak pabrik saat buka giling, perbedaan kelas juga begitu
mencolok. Barang tentu para employe
menikmati pertunjukan yang lebih mewah dengan hadirnya para artis top, sedangkan
buruh-buruh hanya menikmati pasar malam atau wayang kulit semalam-suntuk (Budi
Susanto, 2007: 82).
Gula seakan terasa
lebih pahit ketika Pemerintah Belanda sengaja menggabungkan “gula” dengan
“jawa” (baca: gula jawa) dengan tujuan supaya orang-orang Jawa selalu merasa
minder dan kurang percaya diri. Hal ini dikarenakan, gula jawa tidak semanis
gula pasir, meskipun memiliki aroma khas. Warna merah kehitaman dan bentuknya
yang besar menjadikan gula jawa bercitra negatif. Di pasar tradisional, gula yang
merupakan hasil rebusan bunga kelapa tersebut biasanya ditemukan dalam kondisi kurang
layak, lantaran tercampur tepung kanji dan kotoran. Maka, sebelum diaduk dalam
bahan makanan, biasanya gula jawa direbus dan disaring terlebih dahulu.
Belum lagi istilah-istilah
lain yang diciptakan guna menghina orang-orang Jawa. Adapun istilah-istilah yang
dilekatkan dengan “belanda” sengaja diunggulkan. Sebut saja asam jawa dengan
warna hitam pekat, yang biasanya digunakan sebagai perasa atau penambah rasa
asam dalam masakan, sedangkan asam belanda berwarna putih dengan rasa sedikit
manis. Orang-orang Jawa juga direndahkan dengan istilah rokok jawa atau rokok
kelobot yang kerap dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan kurang berpendidikan.
Adapun rokok belanda tiada lain adalah cerutu, rokok putih, yang identik dengan
orang-orang berduit dan berpendidikan tinggi.
Dengan demikian, inferioritas
masyarakat Jawa disebabkan munculnya istilah-istilah berkonotasi negatif
tersebut, di samping terutama mitos Indonesia yang dijajah selama 350 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar