Menjadi negara maritim
yang maju, mandiri, dan kuat di dunia. Itulah target Indonesia pada tahun 2025 nanti.
Akankah hal ini akan berhasil direalisasikan? Jawabannya tergantung pada
komitmen. Komitmen semua elemen untuk membuktikan bahwa target tersebut
bukanlah isapan jempol belaka.
Indonesia merupakan
negara yang memiliki banyak target—sesuatu yang barangkali tidak perlu dirisaukan.
Target muluk-muluk yang bertujuan memajukan Indonesia. Dengan menentukan
target, diharapkan timbul sejumlah upaya dalam mencapainya. Namun, yang menjadi
masalah adalah bahwa tidak semua target bisa diwujudkan. Bahkan, banyak target
Indonesia meleset dan termakan arus kepentingan. Apabila hal tersebut lolos
dari evaluasi, maka dikhawatirkan target dalam bidang kelautan ini juga bakal mengalami
hal serupa.
Persyaratan
Maritim
Sebenarnya, Indonesia
mengantongi persyaratan yuridis dalam mendaulat diri sebagai negara maritim. Persyaratan
yang jarang dipunyai oleh negara-negara lain. Sebut saja Deklarasi Juanda pada
tanggal 13 Desember 1957 dan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNCLOS). Berkat Deklarasi Juanda, luas wilayah Indonesia tumbuh menjadi lima
kali lipat seluas 5,9 juta kilometer persegi, terdiri dari 3,2 juta kilometer
persegi wilayah teritorial, dan 2,7 kilometer persegi wilayah zona ekonomi
eksklusif. Sedangkan pada pasal 46 UNCLOS, disebutkan bahwa keadaan faktual
geografis dan konfigurasi teritorial (kesatuan ekonomi, politik, dan sejarah
masa lampau) menjadikan Indonesia memenuhi syarat sebagai Negara Kepulauan.
Menilik fakta sejarah, Indonesia
pernah menjadi negara maritim yang perkasa. Masa keemasan maritim berpuncak
pada zaman kerajaan Sriwijaya-Majapahit. Betapa pada waktu itu, wilayah laut,
darat, dan gunung benar-benar dimanfaatkan menjadi pangkal devisa guna menggerakkan
roda pembangunan. Celakanya, mata rantai pengembangan potensi maritim Indonesia
terputus sebab beberapa hal. Di antaranya yaitu hegemoni kolonial Portugal,
Inggris, serta Belanda, yang mengambil alih kekuatan maritim kerajaan-kerajaan
Nusantara melalui perjanjian dagang yang bersifat merugikan.
Melalui VOC, Belanda
meluncurkan pujian semu, bahwa orang Indonesia merupakan petani yang baik.
Dengan pujian tersebut, ternyata Belanda sekadar ingin menetapkan wilayah
Indonesia sebagai sumber keuangannya. Akibatnya, bercokolnya Belanda menyebabkan
negara Indonesia yang gemah ripah loh
jinawi tata tentrem karta raharja ini terus diarahkan menjalani identitas
agraris.
Hal ini diperparah
dengan datangnya Dai Nippon—sebutan untuk Jepang—yang pura-pura memberi hati kepada
rakyat dengan rayuan manisnya: mengangkat Indonesia sebagai saudara tua serta
mensejajarkan bendera Indonesia dengan bendera Jepang. Kala itu, belum timbul
kecurigaan, jika hal tersebut diarahkan agar rakyat Indonesia bersedia membantu
Jepang melawan Sekutu pada Perang Dunia II. Inilah malapetaka yang menimpa
Indonesia. Setelah benar-benar merasa kuat, akhirnya Jepang menerapkan program
kerja paksa (romusha) yang mengeruk
tenaga rakyat secara cuma-cuma sekaligus menghabisi kekayaan alam Indonesia.
Strategi
Maritime Policy
Kepada Indonesian Maritime Megazine, Sri Sultan
Hamengkubuwono X (2011) menjelaskan betapa pentingnya Maritime Policy bagi pembangunan negara, khususnya di sektor
kelautan. Ia mencontohkan keberhasilan Singapura dalam menerapkan strategi
tersebut. Mereka sanggup menguasai pelayaran Indonesia bahkan dunia meski luas
negaranya hanya 16 mil. Sebaliknya, sebagai negara dengan 17.506 pulau dan
memiliki 95.108 kilometer garis pantai terpanjang kelima di dunia, Indonesia
justru tergantung terhadap negara tetangga kecil itu.
“Selama ini kita banyak
menggunakan kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan mendistribusikan
barang ke provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan
Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu, mereka juga
membangun hub port terbesar dan
tercanggih di dunia,” kata Sultan. (Indonesia Maritime Institute, 2011).
Melimpahnya kekayaan
laut Indonesia harus segera dimaksimalkan. Mantan Menteri Kelautan dan
Perikanan, Sharif C. Sutardjo, menyebut bahwa sumber-sumber ekonomi kelautan
sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menuturkan, "Laut
dengan segala potensi dan kekayaannya dapat dijadikan sebagai pilar utama
penopang ekonomi nasional sekaligus sebagai primover."
Selain itu, kedaulatan
di wilayah laut Indonesia juga wajib ditegakkan. Yaitu dengan adanya program publikasi
mengenai batas wilayah teritorial Indonesia serta peraturan perundang-undangan
yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut kepada dunia internasional. Program
ini bertujuan dalam rangka melahirkan ketertiban (orderliness), keamanan (security),
kesejahteraan (prosperity) dengan
memperhatikan hubungan internasional (international
relation).
Dengan demikian, bukan
tidak mungkin, di masa mendatang, Indonesia menjadi negara maritim yang begitu
disegani. Ucapan Soekarno pada tahun 1945, our
geopolitical destiny is maritime, akan semakin bergaung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar