Belum lama ini, sebab
tidak mengantongi dokumen keimigrasian bekerja, sebanyak 80 WNI dideportasi
dari Sabah, Malaysia. Mereka yang berniat mengais rizki di negeri jiran
tersebut terpaksa gigit jari karena diusir oleh petugas setempat dan ditelantarkan
di Nunukan.
Kasus seperti ini
berulang kali terjadi. Dari tahun ke tahun, kasus deportasi TKI masih saja
ditemukan. Alasan jauhnya lokasi kerja dari kota membuat sebagian orang yang bekerja
di Sabah tidak membawa dokumen yang lengkap. Imbasnya, mereka harus melewati
proses ‘repatriasi’, yaitu proses pemulangan dengan membawa Surat Permintaan
Nyata dari majikan. Setelah mengurus paspor TKI dan dokumen, mereka baru bisa
kembali bekerja di Sabah.
Sabah menjadi loka
tujuan mereka yang berhasrat meningkatkan taraf hidup. Saat lahan kerja semakin
sempit, Sabah menawarkan jasa dengan menjanjikan posisi di beberapa bidang
pekerjaan. Gayung pun bersambut. Orang-orang Indonesia berbondong-bondong
bermigrasi ke sana, meski harus menjual tanah dan sawah.
Sebenarnya, mobilitas
penduduk ke Sabah memiliki sejarah panjang. Dulu, sebelum bercokolnya
kolonialisme, Sabah merupakan tempat pergumulan orang-orang dari beragam suku
bangsa. Terbentuknya negara-bangsa setelah kemerdekaan melahirkan permasalahan
baru bagi penduduk yang secara tradisional keluar-masuk Sabah. Sejak saat itu,
batas negara (state’s borders) menjadi
sebuah kendala, adapun status kewarganegaraan (citizenship) menjadi pembeda antara pekerja migran dan lokal. Selanjutnya,
beragam peraturan keimigrasian melahirkan dikotomi antara pekerja migran yang
“legal” dan “ilegal”, juga antara pemegang dokumen dan yang tidak berdokumen
(Riwanto, 2007).
Mencermati fenomena
migrasi, sejumlah peneliti menggunakan pendekatan ekonomis dan sosio-demografis.
Pendekatan ekonomis menyebutkan bahwa migrasi yang dilakukan oleh WNI tidak
tanpa dasar. Meskipun harus meninggalkan keluarga dan sanak famili, mereka telah
mengambil pilihan yang rasional. Secara ekonomis, mereka mampu mengalkulasi
biaya (cost) dan keuntungan (benefit) jika meninggalkan rumah.
Mereka bisa memutuskan untuk hijrah ke tempat yang baru atau tetap bermukim di kampung
halaman. Mobilitas penduduk berlangsung secara alamiah sebagai respons terhadap
peluang kerja yang tersedia di tempat lain.
Dalam pendekatan sosio-demografis,
penduduk yang melakukan migrasi dikonstruksi sebagai manusia yang memiliki
sejumlah karakteristik, seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, daerah
asal, pendidikan, serta pekerjaan. Padahal, dua pendekatan ini mengandung
kelemahan, yaitu direduksinya penduduk menjadi angka statistik dan
dilepaskannya manusia dari konteks sosial-budaya.
Miyazaki, ahli
antropologi dari Jepang, mengajukan konsep “niche”
dan “otherness” guna menjelaskan
migrasi sebagai suatu gerak atau perpindahan kebudayaan (culture flows). Niche adalah
sebuah konsep yang menjelaskan suatu lingkungan tertentu mampu membuat
para migran merasa nyaman untuk mengembangkan kebudayaan mereka di tempat yang
baru. Sedangkan Otherness merupakan
konsep di mana makna kehadiran orang-orang dari kelompok etnis lain sebagai
peneguh identitas etnis dari latar belakang kebudayaan yang berbeda (Riwanto,
2007).
Dengan demikian, memandang
mobilitas WNI ke Sabah semestinya digenapi dengan pendekatan kebudayaan yaitu
menganggap perpindahan penduduk sebagai suatu ekspresi budaya. Migrasi sebagai
sebuah ekspresi budaya etnis-etnis di Indonesia terungkap dari idiom “cari
hidup”. Hal ini mencermikan kemampuan (inner
strength) yang mereka miliki untuk pindah dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru. Sebagai ekspresi budaya, migrasi tidak sekadar gejala ekonomis
dan sosio-demografis, akan tetapi juga manifestasi dari sistem kebudayaan suatu
masyarakat.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar