Pagi-pagi benar Karim
berangkat sekolah. Ia begitu bersemangat menuntut ilmu. Maklum. Hari itu adalah
hari Selasa. Hari dimana Karim biasa bertemu Pak Gani pada jam pertama.
Karim suka sekali
diajar Pak Gani. Guru berkumis tebal itu sanggup membuat keadaan kelas
menyenangkan. Pelajaran matematika yang dianggap susah menjadi menarik dan
mudah dipahami. Melalui beragam permainan, Pak Gani mengajarkan ilmu berhitung.
Karim yang semula membenci matematika, kini berubah menyukainya. Ternyata
matematika tak sesulit yang dibayangkan. Karena itulah, Pak Gani menjadi guru
favorit bagi Karim. Tentunya selain Bu Fatimah, gurunya menggambar.
“Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarokatuh.” Bu Khadijah mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam
warahmatullah wabarokatuh.” Anak-anak menjawabnya kompak.
Karim terheran-heran.
Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa Bu Khadijah yang masuk kelas. Padahal, itu
kan waktunya Pak Gani.
“Anak-anak sekalian.
Mohon maaf, Pak Gani sedang sakit. Sebagai ganti, Bu Khadijah yang akan
mengajar matematika.”
Mendengar perkataan Bu Khadijah,
Karim langsung lemas. Ia begitu kecewa, karena hari itu Pak Karim tidak masuk.
Padahal, ia sudah menyiapkan diri sejak subuh. Sampai-sampai ia tidak sarapan.
Ia hanya membawa bekal roti dan susu untuk dimakan pada jam istirahat.
Saat materi
disampaikan, Karim tidak memerhatikan keterangan Bu Khadijah. Ia malah melamun
sendirian sambil menggerak-gerakkan pensil. Ia berandai-andai kalau saat itu
Pak Gani yang berdiri di depan kelas.
Bu Khadijah mengerti
kalau Karim tidak konsentrasi. Setelah menjelaskan panjang lebar, ia menunjuk
Karim untuk menjawab pertanyaan. Ia sengaja melakukannya, agar pikiran Karim terpusat
pada pelajaran.
Karim kebingungan. Ia tidak
bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah. Sebab, ia sama sekali tidak mengikuti
keterangan Bu Khadijah.
Sesuai perbuatannya, Karim
dikenai hukuman. Ia harus menulis istighfar sebanyak satu halaman penuh. Tugas
itu dikumpulkan besok.
***
Sepulang sekolah, Karim
melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia
berbaring di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai
kebiasaan, sesampai dari sekolah Karim mengucap salam, menjabat tangan orang
tua, meletakkan sepatu dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya
tidak kotor dan bisa dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Karim
yang aneh, Bu Halimah terheran-heran. Tidak biasanya Karim seperti itu. Selama
ini, ia mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya,
ingin sekali ia menegur Karim dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi,
setelah dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Halimah memilih waktu yang tepat
untuk meminta penjelasan Karim.
Bu Halimah bergegas menyiapkan
nasi dan ayam goreng kecap di meja makan.
“Teereeeeng… Waktunya
makan. Ayam goreng kecap. Ayo siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Halimah mengundang Karim
ke ruang makan. Kalau dengar ada lauk ayam, biasanya Karim lekas keluar sambil
berteriak, “serbu…”. Akan tetapi, kali itu, Karim belum terlihat.
Khawatir terjadi
apa-apa, Bu Halimah mendekat ke pintu kamar Karim. Tak lupa ia memukul piring
dengan sendok berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng kecap. Ayam
goreng kecap.”
Karim keluar dengan
mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia
menangis di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya. Bu
Halimah mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Karim.
Karim mulai menyantap hidangan
di meja makan. Akan tetapi, ia kelihatan tak bernafsu. Padahal, biasanya ia begitu
bersemangat kalau makan lauk ayam.
“Karim.” Bu Halimah
memanggil anaknya dengan lembut.
Karim tidak menoleh.
“Karim kenapa?” Bu
Halimah bertanya pada Karim.
Karim tidak menjawab.
Ia pura-pura melihat jam dinding di atas lemari.
“Ada apa, Karim? Ayo katakan.
Barangkali ibu bisa membantu.” Bujuk Bu Halimah.
“Emmm….” Karim
ragu-ragu berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Karim kena
hukuman. Karim tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah.” Karim akhirnya
memberanikan diri.
“Tidak bisa menjawab?”
tutur Bu Halimah seolah tak percaya. Padahal setiap hari ia menemani Karim dalam
belajar.
“Sebabnya Karim tidak
mendengarkan keterangan Bu Khadijah.” Ujar Karim polos.
“Kenapa, Karim?” Tanya
Bu Halimah lagi.
“Pak Gani tidak masuk,
Bu. Jadi, Bu Khadijah yang mengajar matematika. Karim kan malas kalau tidak
diajar Pak Gani.” Sepasang mata Karim berkaca-kaca. Kalau tidak ditahan, pasti
ia menangis lagi.
Bu Halimah mengelus
rambut Karim sambil memberinya nasihat, “Karim. Semua guru ingin siswanya rajin
dan pintar. Mereka tidak mau siswanya menjadi pemalas dan bodoh. Mereka
mengorbankan waktu demi anak didiknya. Seperti Bu Khadijah. Bayangkan kalau jam
pelajaran dibiarkan kosong, pasti para siswa gaduh di kelas. Makanya Bu Khadijah
menggantikan Pak Gani, agar para siswa tetap belajar.”
Karim menganggukkan
kepala. Ia menyimak nasihat ibunya dengan seksama.
Setelah dipikir-pikir,
Karim membenarkan apa yang dikatakan sang bunda. Ia berjanji, mulai besok ia tidak
akan membeda-bedakan siapa yang mengajar. Ia akan memerhatikan semua keterangan
dari gurunya.
Malamnya, ia
mengerjakan tugas dari Bu Khadijah. Bagaimana pun, hukuman itu ditujukan untuk
kebaikannya kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar