Sepulang sekolah, Banu
melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia berbaring
di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai kebiasaan, sesampai
dari sekolah Banu mengucap salam, menjabat tangan orang tua, meletakkan sepatu
dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya tidak kotor dan bisa
dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Banu yang
aneh, Bu Rina terheran-heran. Tidak biasanya Banu seperti itu. Selama ini, ia
mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya, ingin
sekali ia menegur Banu dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi, setelah
dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Rina memilih waktu yang tepat untuk
meminta penjelasan Banu.
Setelah mengeluarkan
nasi dari reskuker, Bu Rina menuju dapur dan mengambil ayam goreng krispi serta
saus tomat. Ia menghidangkannya ke meja makan. Bu Rina mengerti bahwa menu itu
adalah menu kesukaan Banu. Kalau makan berlauk ayam, Banu suka tambah. Makanya,
selain ayam goreng krispi, Bu Rina gemar menyajikan masakan berbahan daging
ayam lainnya. Seperti opor ayam, kare ayam, sayur ayam tahu kuning, juga ayam
goreng kecap. Saat mengambil piring, sendok dan garpu, Bu Rina berkata dalam
hati, “pasti Banu akan makan dengan lahap”.
Kini, hidangan sudah
siap.
“Teereeeeng… Waktunya
makan. Ayam goreng krispi. Ayo, siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Rina mengundang segenap
anggota keluarga untuk berkumpul di ruang makan. Begitulah. Ia gemar
melakukannya sesaat sebelum makan siang bersama.
Kalau dengar ada lauk
ayam, biasanya Banu keluar terlebih dahulu sambil berteriak, “serbu…”. Akan
tetapi, kali itu, Banu belum terlihat.
Pak Karim turun dari
lantai dua untuk menyantap hidangan sang istri. Ia melihat di ruang makan sudah
ada Riko, kakak Banu.
“Banu kenapa? Tumben
belum ke sini. Padahal, Banu paling bersemangat kalau makan lauk ayam.” Tanya
Pak Karim kepada Bu Rina.
Mendengar pertanyaan
itu, Bu Rina menggeleng. Seperti Pak Karim, Bu Rina khawatir terjadi apa-apa
dengan Banu.
Tak lama kemudian, Bu
Rina mendekat ke pintu kamar Banu. Tak lupa ia memukul piring dengan sendok
berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng krispi. Ayam goreng
krispi.”
Banu keluar dengan
mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia
menangis sendirian di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya.
Bu Rina mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Banu.
Setelah berkumpul, semua
duduk melingkar di belakang meja makan. Pak Karim segera memimpin doa bersama. Hal
ini bertujuan agar makanan yang masuk ke perut mendapat berkah dari Tuhan. Bu
Rina dan Riko mengikuti dengan khidmat. Adapun Banu masih terisak-isak. Rupanya
kesedihan yang disimpan belum hilang.
Pak Karim, Bu Rina, dan
Riko mulai menikmati apa yang tersaji di depan mereka. Namun, ternyata Banu
malah berdiam diri.
“Ayo makan, Banu.” Bu
Rina membujuk anak keduanya itu.
Banu menunduk. Tiada
satu katapun keluar dari mulutnya.
Sejenak kemudian, Banu mengangkat
kepala dan melihat ke atas meja. Ayam goreng krispi. Wow! Banu memegang sendok lalu
meletakkannya lagi.
Bu Rina dan Pak Karim saling
bertatap muka. Terus terang, mereka berdua dibuat bingung dengan ulah Banu.
Sesungguhnya Banu ingin
sekali menyantap hidangan di hadapannya. Tapi, ia malas untuk makan. Merasa
sayang dilewatkan, akhirnya ia hanya makan ayam goreng krispi. Sepiring nasi
yang disiapkan khusus buatnya dibiarkan begitu saja.
“Banu kenapa?” Bu Rina
bertanya kepada Banu.
Banu tak menjawab. Ia
terus saja menggigit dan mengunyah daging paha ayam yang digenggamnya.
“Banu.” Pak Karim
membantu usaha Bu Rina.
Banu tidak menoleh.
Riko memilih tidak ikut-ikutan.
Ia hanya memandangi adiknya.
“Ada apa, Banu? Ayo katakan.
Barangkali ibu, ayah dan Kak Riko bisa membantu.” Bujuk Bu Rina untuk kesekian
kali.
“Emmm….” Banu ragu-ragu
berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Banu dihukum
Bu Sita karena tidak mengumpulkan tugas.” Banu akhirnya memberanikan diri.
“Ha? Tidak mengumpulkan
tugas?” tutur Pak Karim seolah tak percaya.
“Banu lupa mengerjakannya.”
Ujar Banu polos.
“Tugas apa, Banu? Kapan
tugas itu diberikan?” Tanya Bu Rina seraya mengelus rambut Banu.
“Tugas kliping koran. Tugas
seminggu yang lalu. Banu kan lupa, Bu.” Sepasang mata Banu berkaca-kaca. Kalau
tidak ditahan, pasti ia menangis lagi.
“O, begitu. Oke. Tunggu
sebentar ya.” Pak Karim berkata-kata lalu bergegas menuju lantai dua.
Secepat kilat Pak Karim
kembali ke ruang makan. Buku bersampul hijau muda berada di tangannya. Pak
Karim memberikan buku itu kepada Banu dan berpesan, “mulai besok, setiap tugas
harus dicatat di sini ya. Agar Banu tidak lupa dengan tugas-tugasnya.”
Banu tersenyum riang
dan mengucapkan, “terima kasih, Ayah. Banu berjanji akan menggunakan buku
catatan tugas ini dengan sebaik-baiknya.”
Pak Karim, Bu Rina dan
Riko melanjutkan makan siang. Sedangkan Banu, merasa tidak ada beban lagi, ia bersemangat
untuk menyantap nasi yang sudah mendingin. Hari itu, mereka sekeluarga makan
begitu lahap.
Yogyakarta, 2012