Dengan terbitnya buku
puisi Memoar Kehilangan (Koekoesan,
2012) karya Sabiq Carebesth (SC), saya—yang kebetulan juga penulis puisi—merasa
bahagia. Ternyata, dalam dunia yang penuh hingar-bingar ini, masih ada
seseorang yang terlampau bersemangat mencatat “hal-hal yang raib dari
kehidupan”.
Sepanjang riwayat hidup
manusia, entah berapa banyak “sesuatu yang hilang”. Sesuatu yang acap kali
luput atau justru sengaja dilupakan. Faktor inilah yang barangkali mendorong SC
mengekalkannya dalam puisi.
Waktu,
Masa Lalu
Puing waktu dan keping
masa lalu menempati porsi besar dalam karya SC. Ini berarti, apa yang terlanjur
hilang dari kehidupan tidak lantas disingkirkan, namun tetap diabadikan dengan
atau tanpa perayaan. Tak heran jika dalam salah satu puisinya, SC berseloroh: “Cinta adalah cahaya paling tua yang ingin
rebah menjadi kemolekan tubuh telanjang di hadapan penyair mabuk: agar tercatat
dan terkenang sebelum penghabisan di persimpangan//
Sebenarnya tema-tema
dalam karya SC kerap ditemukan dalam puisi-puisi penyair-penyair sebelumnya.
Meskipun demikian, SC tidak sekadar menyentuh tema-tema usang. Ia berusaha memprovokasi
pembaca untuk bersama-sama menghargai apa yang terlanjur menjadi ‘onggokan masa
silam’. Hal ini bisa ditemukan misalnya dalam puisi “Puisi untuk Puisi”: Puisi
adalah ingatan/ Museum bagi jiwa yang kehilangan/ Waktu yang menjelma kenangan/
Agar tak musnah dalam kegilaan/ Dari zaman yang gemar lupa//. Juga puisi “Babak Asmaradana”: Memilih kuda pacu/ Niat hati mau
melaju/ Tapi tunggu dulu/ Bawalah serta masalalu//
Iman Budi Santosa
(2012) menganggap bahwa SC berhasil memoles tema kecil dengan tetap apik dan
menarik. Tema-tema yang digarap SC merupakan tema-tema sederhana yang
berseliweran di sekelilingnya, bukan tema agung yang digarap penuh genit serta
antusias dalam rangka menceramahi pembaca.
Saya menduga bahwa SC
mengangkat tema-tema yang tampak remeh itu bukan sekadar menempatkannya dalam
bingkai kegundahan membabibuta. Dalam puisi-puisinya, SC berusaha menerjemahkan
kekeliruan dalam keseharian menjadi lebih rasional. Dengan upaya tersebut, ada
harapan besar guna merajut kehidupan dengan lebih baik.
Lembut-Garang
Oleh penyair, puisi dipilih
sebagai penanda masa, di mana manusia begitu mudah hanyut oleh riak
globalisasi, modernisasi, asupan ideologi, bahkan oleh tingkah-polahnya
sendiri. Ketika itulah, manusia dituntut sanggup memberikan kepastian juga
peneguhan terhadap jatidiri. Atas dasar inilah, SC mewujudkannya lewat
pemberontakan, meski coraknya tak segarang M. Iqbal, yang menjadi pemantik
tercetusnya proklamasi kemerdekaan Pakistan.
Bermedium puisi, SC
memberontak terhadap diri sendiri maupun lingkungan. SC berupaya berdiri teguh
di atas pijakan dengan ikhtiar menggali kegelisahan terhadap hal-hal yang luput
dari perhatian. Hal yang tak perlu dipertanyakan, mengingat “lahir memberontak dan mati” merupakan motto
hidup pendiri Galeri Buku Jakarta tersebut.
Dalam kadar tertentu,
puisi SC menghadirkan paradoks: ritme yang penuh kelembutan serta pola
pemberontakan yang garang. Ini terlihat antara lain dalam puisi bertajuk “Kepada Segelas Kopiku”: Ia turut menari kini/ Dalam pencarian/
Sampai penghabisan/ Dan diukirnya sebuah nama dan cinta/ Dengan tinta hitam
dari samuderamu// Ia menatap padaku:/ Seorang gila dalam segelas kopiku// Ia,
serupa aku//.
Dari puisi di atas, proses
kreatif SC juga terungkap. Ia memetik beragam fenomena dari kronik hidupnya
secara intens seraya menyisipkan pikiran cerdas dalam menawarkan alternatif. Menariknya,
ia justru menyajikan fenomena-fenomena tersebut ala kadarnya, tanpa bermaksud menyelipkan
efek bombastis. Ia seolah memiliki ‘bakat’ memandang realitas dengan rileks.
Sejumlah
Notasi
Hamdy Salad (2012)
berpandangan bahwa SC mampu menyajikan hal baru dalam kancah perpuisian
Indonesia. Meskipun cenderung memiliki kemiripan dengan pola karya-karya beberapa
dasawarsa terakhir. Sebut saja Laskar
Pelangi (Andrea Hirata) dan Negeri
Lima Menara (A. Fuadi).
Sebagaimana dalam
sejumlah karya prosa yang sedang ‘naik daun’, puisi-puisi SC juga menampilkan memoar.
Inilah yang menjadi kelebihan karya SC, mengingat hal ini masih sangat langka
dalam puisi-puisi Indonesia. Dengan memoar tersebut, SC mengajak pembaca untuk menyimak
apa yang tersaji dalam lembaran kehidupan.
Namun demikian, penyair
adalah manusia biasa yang penuh cacing dalam perutnya. Dalam berkarya,
terkadang ia terpaksa angkat tangan. Celah ini bukan menjadi alibi bagi SC. Dalam
kondisi tertentu, SC meninggalkan puisinya tanpa sentuhan akhir yang manis. Barang
tentu, ini menjadi salah satu kelemahan karya SC. Ini juga yang menjadi alasan
mengapa dalam menetaskan puisi, saya gemar membiarkannya dalam kondisi moncong
menganga. Berkepala, berlengan, berkaki, namun belum tampak separuh badannya.
Akhir kata, sesiapa
yang berhasrat meringkus “hal-hal yang raib dari kehidupan”, tak ada salahnya untuk
mencarinya dalam Memoar Kehilangan.
Selamat menikmati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar