Asosiasi Pedagang Kaki
Lima Indonesia (APKLI) menemukan gejala-gejala kemerosotan omzet dalam setahun
terakhir. Menjamurnya toko modern mengakibatkan pasar tradisional kelimpungan
bahkan gulung tikar (Koran Jakarta, 27/07). Padahal, di samping sarana kota dan fasilitas umum, pasar
tradisional juga sangat karena merupakan salah satu mata rantai perekonomian
rakyat tumpuan masyarakat kecil.
Pasar tradisional juga
sebagai pranata sosial yang merawat kohesi dan harmoni sosial antar komunitas
dan terbukti mampu menyangga dinamika sosio-kultural masyarakat dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Di sinilah pasar tradisional berperan meredam
konflik beragam kepentingan. Berlangsungnya peleburan masyarakat lintas kelas
dan etnik bisa dilihat dalam mekanisme pasar tradisional.
Inilah yang menjadi
pembeda dengan pasar modern sebagaimana rumusan Cyril S Belshaw. Faktor nonekonomi
mempunyai peran penting dalam pasar tradisional. Sedangkan dalam pasar modern,
ekonomi adalah satu-satunya faktor keberhasilan. Adanya harga yang sudah
dipatok (fixed price) mengindikasikan
hubungan aktor-aktor yang terlibat bersifat mekanis, bukan lagi humanis (Bre
Redana, 2015).
Namun demikian, sebagai
produk kebudayaan, pasar tradisional terdesak laju modernitas. Gempuran pasar
retail modern sebagai alarm terbukanya keran liberalisasi ekonomi mengakibatkan
tersingkirnya pasar tradisional. Perdagangan tanpa moralitas (commerce without morality) memunculkan
egoisme pelaku-pelaku bisnis yang hanya menghamba uang dan keuntungan semata. Akibatnya,
usaha kecil menengah (UKM) tergencet pedagang besar, preman, rentenir, serta
jaringan pemasok produk berskala besar. Hal ini menjadi penanda lahirnya
peradaban baru yang cenderung pragmatis-kapitalis.
Keberadaan pasar
tradisional tidak mungkin dipisahkan dari PKL. Keduanya ibarat dua sisi mata
uang yang saling melengkapi. Dalam jagat urban, pasar tradisional bak oase di tengah
keringnya peradaban manusia. Di samping barang-barang yang ditawarkan memiliki ciri
khas tersendiri, interaksi sosial-budaya juga melandasi setiap relasi jual-beli.
Menyitir Clifford
Geertz dalam buku Penjaja dan Raja
(1977), pasar adalah pranata ekonomi sekaligus cara hidup yang memuat beberapa
aspek sekaligus. Sebagai entitas dengan fungsi dan tanggung jawab kompleks, pasar
tradisional tidak sekadar menopang fondasi ekonomi kerakyatan dengan
mempertemukan penjual dan pembeli.
Dia menjadi “melting pot” serta lokus perjumpaan
aneka warna budaya. Di dalamnya melebur beragam corak mata pencaharian, religi,
serta sistem sosial kemasyarakatan. Sehingga dia mempunyai makna, identitas,
dan sejarah. Pasar lebih berkarakter dan unik dibanding yang modern karena
cenderung seragam.
Dilema
Hadirnya PKL di
kota-kota besar selalu menampilkan sebuah dilema. Di satu sisi, mereka
menawarkan komoditas dengan harga terjangkau. Bisa dibayangkan jika mereka
tidak ada. Masyarakat harus mengeluarkan banyak uang untuk sekadar mengganjal
perut. Biaya hidup di kota lebih tinggi, sehingga menghasilkan efek berantai
yang menyentuh semua pemangku kepentingan (Imanuel More Ghale, 2014).
Di sisi lain, ketertiban
dan kenyamanan publik terganggu. Keberadaan PKL identik dengan gejolak sosial
dan kriminalitas. Tak heran, publik menaruh sinisme terhadap PKL karena
dianggap sebagai biang keladi munculnya problematika perkotaan, seperti polusi
suara, kemacetan lalu lintas, amburadulnya ruang publik, serta minimnya
keindahan.
Sisi terakhir inilah
yang menjadikan upaya penataan dan penertiban ruang kota di sejumlah daerah
kerap diwarnai bentrok fisik antara PKL dan Satpol PP. Ruang kota terbukti tak
berpihak pada PKL, sektor informal, dan kaum miskin kota. Mereka kerap digusur,
relokasi, hingga kriminalisasi. Dalam
ruang kota, dominasi kelas pemodal begitu kentara. Kepentingan ekonomi kelas
ini terjamin, sebab sejumlah kota besar di Indonesia lebih sibuk membangun mal daripada
menata pasar tradisional.
Fenomena membludaknya PKL
bisa dipahami dari konteks perencanaan tata kota yang belum mengalokasikan
lebih banyak ruang bagi orang-orang dengan skill
dan pendidikan kurang mumpuni. Bagi penganut konsumerisme materialistis dan
rasionalisme sekularistis, mengintegrasikan orang-orang yang tergolong unskilled worker, sebab miskin ekonomi
dan kapabilitas, dalam sektor formal merupakan ikhtiar “pembusukan ruang publik”.
Itulah mengapa, hingga hari ini, transformasi informalitas masyarakat urban belum
berhasil diwujudkan.
Padahal, berkembangnya
PKL dan sektor informal tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang bersedia
menata, membina, dan mengintegrasikan sektor informal ke dalam kebijakan ruang
kota yang visioner dan komprehensif. Bahkan, dengan komitmen yang kuat, PKL sebenarnya
bisa ditampilkan sebagai identitas kota, potensi ekonomi, serta daya tarik
wisatawan.
Pemberdayaan PKL
merupakan upaya peningkatan akses rakyat atas pembangunan di perkotaan. Pemerintah
daerah yang memberikan perhatian terhadap keberlangsungan PKL tidak hanya memupuk
kepercayaan terhadap pemimpin dan birokrat, melainkan juga menumbuhkan kemampuan
rakyat kecil sebagai warga. Dengan demikian, produktifitas masyarakat bisa
berkembang.
Eksistensi pasar
tradisional dan PKL sebagai aset perekonomian bangsa perlu didukung dan
dipertahankan agar terhindar dari gejala-gejala eksklusivisme. Aktor-aktor yang
bergerak di pasar tradisional tidak boleh menyalahkan perilaku konsumen yang
memilih pasar retail modern dengan penampilan lebih bersih, pelayanan lebih
prima, dan tempat yang lebih nyaman. Maka, demi menggait konsumen, daya tarik
pasar tradisional perlu diperkuat.
Revitalisasi fisik pasar
tradisional merupakan kebutuhan mendesak. Modus bertahan yang cenderung
konvensional dan kurang responsif terhadap perkembangan zaman di antara faktor
mengapa pasar tradisional semakin ditinggalkan. Yang perlu dicatat, revitalisasi
harus disertai target dan prosedur yang benar. Mengingat, akhir-akhir ini,
revitalisasi justru dijadikan modus ’bancakan’ proyek beberapa oknum.
Meroketnya harga los baru membuat tak terjangkau pedagang kecil. Belum lagi
pembakaran pasar yang dilakukan secara sengaja supaya para pedagang tradisional
tergusur dan mal bisa didirikan tanpa halangan.
Lokasi dan waktu
kegiatan pedagang kaki lima (PKL) juga perlu diatur sebagai bagian dari strategi
penguatan ekonomi. Setiap pemerintah daerah menyusun data jumlah PKL dan peta
sebaran mereka guna didistribusikan ke dalam pasar tradisional. Jika langkah
ini berhasil, selain menjadi ruang publik di mana masyarakat berkumpul dan
bertransaksi, pasar tradisional dapat menyediakan lapangan kerja yang besar. Kota
yang ramah bersedia menampung dan menggali potensi PKL. Kekuatan dan
partisipasi mereka selalu dibutuhkan dalam pengelolaan kota. Negara harus mampu
mengelola perekonomian rakyat ini.
Jakarta, Aktual.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengucapkan selamat kepada Said Aqil Siradj yang kembali terpilih menjadi Ketum PBNU.
BalasHapusMenurut JK, Selain memiliki pengalaman yang luas, Said Aqil dinilai sebagai sosok yang baik, sehingga dinilai pantas memimpin kembali PBNU.
“Saya kira pak Said Aqil kan punya pengalaman, orang baik. Jadi ulama, NU kan kebangkitan ulama otomatis. Ulama, pantaslah sebagai ketuanya dipilih lagi,” kata JK, di Jakarta, Kamis (6/8).
BACA SELENGKAPNYA DI :
JK: Said Aqil Siradj Pantas Dipilih Kembali