Bulan Agustus menjadi sarana mengingat kembali cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh founding fathers. Pada bulan ini, pekik semangat sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur senantiasa dikumandangkan. Bulan Agustus menjadi penanda bahwa masyarakat diajak untuk bersama-sama merawat ingatan kolektif sebuah bangsa. Romantisme perjuangan dalam bentuk solidaritas kebangsaan disuguhkan. Betapa dengan segenap jiwa dan raga, para pahlawan mampu mengusir kaum kolonial dari bumi pertiwi. Pertempuran para pejuang yang heroik senapas dengan wujud kemerdekaan politik, yakni merdeka dari penjajahan bangsa lain.
Pawai kemerdekaan yang gegap gempita muncul sebagai ekspresi kebanggaan warga negara. Perayaan ini merupakan reorientasi nilai kepahlawanan sebagai upaya mengobarkan imajinasi tentang heroisme, nasionalisme, serta revolusi. Harapannya, lahir inspirasi perubahan dan semangat mengisi kemerdekaan menuju Indonesia yang beradab. Refleksi kemerdekaan diletakkan dalam bingkai keharmonisan dan solidaritas. Dalam konteks inilah, ajang perlombaan permainan tradisional digelar dalam rangka menciptakan solidaritas nasional (national solidarity).
Permainan-permainan tradisional seperti panjat pinang, makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, balap kelereng, dakon, layang-layang, gobak sodor, engklek, congklak, serta galah asin dapat mempererat ikatan emosional yang menyatukan pluralitas masyarakat dalam bingkai keindonesiaan.
Dilestarikannya kembali permainan tradisional yang dapat mengembangkan emosi antar personal, memupuk daya kreatifitas, meningkatkan kemampuan bersosialisasi, melatih sportivitas, serta mengembangkan beragam kecerdasan (intelektual, logika, spasial, kinestetik, dan natural) sebagai respons atas munculnya gejala-gejala kapitalisme di hampir semua lini kehidupan.
Globalisasi yang ditunjang derasnya arus teknologi informasi menyulut perubahan terjadi begitu cepat. Di balik perubahan inilah kapitalisme mengambil celah dan keuntungan. Akibatnya, kemerdekaan sekadar dipahami dalam konteks kapitalisme yang menyimpan beragam kepentingan. Seiring dengan mewabahnya demam online, para kapitalis mulai mencetuskan permainan berbasis teknologi sehingga jutaan orang di seluruh dunia bisa menikmati game dengan sistem jaringan, tidak terbatas pada personal computer.
Maraknya game online menunjukkan bahwa perbudakan telah lahir kembali setelah deklarasi kemerdekaan digaungkan 70 tahun silam. Padahal, demokrasi modern bertumpu pada prinsip kemerdekaan yang membebaskan seseorang dari hegemoni dan dominasi pihak lain. Pilar kesetaraan mendasari berjalannya mekanisme demokrasi sehingga otonomi sebagai warisan alam (natural endowment) layak dijunjung tinggi.
Mengutip Sahal (2014), negara bukan entitas yang mendahului individu. Negara lahir atas dorongan kontrak antarindividu yang berusaha melindungi kemerdekaan semua orang. Pemerintah tak memiliki lisensi untuk memberangusnya, sebab kemerdekaan bukan anugerah dari negara, tetapi melekat dalam diri tiap manusia. Alhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan merupakan dua sisi koin demokrasi yang saling melengkapi.
Pada dasarnya, proklamasi kemerdekaan adalah sebuah declaration of independence. Kebebasan merupakan urat nadi dan napas kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Hadirnya game online dalam kehidupan anak barang tentu bertolak belakang dengan prinsip kemerdekaan yang merefleksikan keteguhan komitmen, cita-cita, harapan, dan perjuangan membentuk kebebasan sebagai pribadi mandiri dalam kesadaran inklusif.
Menjamurnya game online mengindikasikan bahwa nuansa penjajahan di negeri ini telah berubah dalam bentuk lain. Penindasan dan pemasungan baru lahir dengan ditelannya tradisi dan permainan tradisional oleh serbuan hiburan media dan barang pabrikan. Fenomena ini menandakan di samping gagap membaca identitas diri, kita juga cenderung meneguhkan arti kemerdekaan yang bias. Padahal, kemerdekaan yaitu kepedulian untuk memberdayakan manusia dalam memahami dirinya sendiri serta mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun bangsa dan negara. Kemerdekaan bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom. Kenyataannya, meski kita sudah merdeka, arti kemerdekaan lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan kolektif, formalistis, dan simbolistis, bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu di dalamya (Susetyo, 2014).
Pemantik Nasionalisme
Ajang perlombaan permainan tradisional setiap Agustus menjadi sarana mengelaborasi potensi generasi muda dan memupuk nasionalisme. Digelarnya event ini juga sebagai penangkal bahaya game online yang tampak di depan mata. Game online memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan kognisi dan afeksi anak dengan prestasi belajar yang rendah, sekaligus telah mengeksploitasi kelemahan individu warga negara.
Sayangnya, terbatasnya ruang publik menjadikan anak-anak tertarik bermain game online. Mereka lebih gemar menghabiskan waktu dengan permainan yang terbatas, tertutup, dan berbayar, daripada permainan tanpa biaya yang mengadu ketangkasan dan menguras keringat.
Efek game online bagi anak-anak sangat dahsyat. Game online rentan merusak simpul saraf anak-anak. Perilaku kompulsif anak yang kecanduan game online akan mengikat secara negatif dan terus-menerus sehingga kehilangan kontrol dan kemampuan dalam membatasi penggunaannya (Baedowi, 2013). Hal yang perlu diingat, entertainment event bernuansa “merah putih” yang berwujud permainan tradisional semestinya tidak terjebak pada nasionalisme musiman. Jangan sampai nasionalisme tereduksi sekadar menjadi ritual tahunan yang serba banal dan dangkal makna.
Digelarnya ajang perlombaan permainan tradisional bukan sebatas seremonial, melainkan sebagai momentum spesial guna mengembalikan spirit dan marwah hari kemerdekaan. Permainan tradisional harus mampu mewariskan nilai-nilai patriotisme dan jiwa kebangsaan daripada sekadar menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past). Di tengah laju kebudayaan yang semakin kencang, kita dituntut memikirkan bagaimana tradisi dan permainan tradisional kelak bisa diwariskan kepada generasi mendatang.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar