Akhir-akhir ini, kasus-kasus
perjudian, seperti judi online, toto
gelap (togel), judi bola, remi, dan sabung ayam, mengalami peningkatan cukup signifikan.
Berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah kasus perjudian pada 2013 menyentuh
580 kasus sedangkan pada 2014 naik menjadi 1.100 kasus atau sebesar 89,65
persen.
Menyikapi keadaan, aparat
kepolisian ‘blusukan’ mengobrak judi dan menangkap orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Akibat ulah mereka, para penjudi harus merasakan pengapnya udara bui.
Fenomena ini menyentil
telinga batin kita yang acap kali abai terhadap problematika sosial. Kita, yang
terlanjur mengidap penyakit egosentrisme tahap akut, menganggap remeh dengan
mengatakan bahwa maraknya perjudian di negeri ini disebabkan rendahnya
moralitas masyarakat. Padahal, dari kasus-kasus perjudian, bisa diambil
hipotesa bahwa ketimpangan sosial yang melanda masyarakat menjadi motif mengapa
orang berjudi.
Perjuangan hidup yang
begitu keras membuat orang-orang kecil berpikir mengambil jalan pintas dengan
mempertaruhkan uang di meja judi. Hal ini tentu saja berbeda dengan orang kaya
dimana berjudi sebagai bagian dari gaya hidup, atau orang Tionghoa yang menggelar
fantan, sik-po, pai-kao, dan mahyong demi berburu kesenangan dan kegiatan
bersama keluarga (Dawis, 2010).
Judi adalah permainan
di mana hasilnya ditentukan oleh kebetulan. Unsur spekulatif inilah yang
menjadi salah satu faktor mengapa judi digandrungi oleh sebagian orang. Ketidakpastian
judi menyebabkan orang untuk selalu mencoba. Ada harap-harap cemas yang selalu
menyertai saat berjudi. Ada semacam garansi bahwa suatu saat seorang penjudi
mampu mewujudkan mimpi yang tak terbeli.
Anehnya, kenisbian judi
menjadi kepastian bagi si penjudi. Di sinilah tercipta oposisi biner antara
relativitas judi dan keyakinan penjudi yang absolut. Sehingga, meskipun tidak menjamin
kepastian, penjudi yakin bahwa judi menjanjikan harapan tentang keberuntungan yang
suatu saat akan diketam.
Bagi orang yang
hidupnya dilingkupi kabut pesimisme, judi merupakan alternatif paling logis. Judi
menjadi jawaban bagi orang-orang bernasib buruk. Judi merepresentasikan ikhtiar
bagi mereka yang bergulat dengan permasalahan klise: ekonomi. Dengan berjudi, target
yang ingin digapai yaitu peningkatan taraf hidup. Dalam konteks inilah judi
memainkan arti penting usaha seseorang dalam meningkatkan status sosialnya. Dengan
demikian, seorang penjudi selalu merasa benar, sebab memanggul cita-cita mulia.
Barang tentu hal ini bertolak belakang dengan pandangan Sigmund Freud, di mana penjudi
adalah masokhis yang diliputi rasa bersalah dan ingin menghukum dirinya.
Meskipun bagi sebagian
orang, fenomena perjudian merupakan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme
(ketiadaan makna), tetapi bagi penjudi, berjudi adalah kegiatan mulia. Apalagi,
judi pernah mendapat pengakuan dari pemerintah. Mengutip buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi (2009: 176), bahwa
dulu marak perjudian Hwa Hwe. Ketentuan dalam judi ini yaitu pembeli kupon
bernomor yang sesuai dengan nomor yang diumumkan berhak atas sejumlah uang. Pajak
judi seperti ini menjadi salah satu sumber dana pembangunan DKI Jakarta.
Saat ini, penjudi
semakin bersemangat lantaran banyak aparat kepolisian ikut terlibat, bahkan
asyik masyuk, di meja judi. Sehingga, seseorang yang terjerumus dalam komunitas
perjudian akan merasa betah. Motivasinya meningkat dan uang taruhan pun berlipat.
Keikutsertaan polisi dalam berjudi mengukuhkan legalitas bagi bandar judi untuk
menggelar aktivitas perjudian.
Penjudi menemukan
pembenaran ketika mendapati banyak anggota legislatif rela menggadaikan harga
diri demi syahwat politik. Undang-undang yang seharusnya mencerminkan
kepentingan rakyat justru diselewengkan sesuai pesanan pemodal dan partai
politik. Sudah tak terhitung berapa anggota DPR yang merasakan pengapnya udara
bui karena terlibat kasus korupsi. Asalkan menerima uang, mereka tidak peduli walaupun
martabat harus dikorbankan. Sikap hedonistis telah menjadikan makhluk ‘pemuja
kursi’ tersebut nekat berjudi: mempertaruhkan kehormatan Ibu Pertiwi.
Ditambah lagi dengan
menjamurnya aksi selebratikal para artis yang mengumbar kemewahan. Demi popularitas
belaka, mereka rela merogoh miliaran rupiah untuk operasi plastik, mobil mewah,
bahkan asuransi kecantikan. Pertaruhan gengsi merupakan hal lumrah bagi siapa
saja yang ingin langgeng di jagat keartisan. Egoisme yang dipupuk telah
melupakan bahwa di balik keglamoran ada penderitaan: korban longsor di
Banjarnegara, korban kezaliman Lapindo di Sidoarjo, serta korban miras oplosan
di Garut. Perjudian harga diri dan gengsi sudah menjadi keniscayaan bagi anggota
legislatif dan artis.
Dalam hal taruhan,
antara anggota legislatif, artis, dan penjudi terdapat persamaan. Hanya saja,
penjudi cenderung dianggap kalah oleh keadaan. Sekalipun seseorang menang di
meja judi, sebenarnya ia tetap kalah dalam realitas kehidupan. Ia tidak sanggup
memenangkan persaingan yang berlangsung, baik sosial maupun finansial. Karena
itulah, saat menang togel, misalnya, seseorang berusaha menghibur diri. Di
hadapan kolega judi, ia bisa mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terbiasa
menundukkan kepala serendah-rendahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar