Kepada DPR, Presiden
Jokowi menyodorkan 786 Pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) untuk disetujui menjadi KUHP. Dari ratusan pasal tersebut,
terselip pasal mengenai penghinaan Presiden, yaitu Pasal 263 ayat 1 dan Pasal
264 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil
Presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau dikenai denda.
Mengutip pendapat Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (2015), pasal penghinaan Presiden merupakan
warisan feodalisme yang menganggap pemimpin negara sebagai simbol negara.
Padahal, ketika mendapat penghinaan, Presiden bisa melapor ke aparat kepolisian
sebagai individu, bukan sebagai institusi.
Jimly juga mengatakan
bahwa pembatalan pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 mendapat
pujian. Dalam special report, Dewan
HAM PBB menilai Indonesia lebih maju dibanding sejumlah negara lain, termasuk
negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda.
Di mayoritas negara
Dunia Ketiga, dimana kehidupan ekonominya bercorak agrikultur, budaya feodal mendapat
tempat. Fenomena ini turut menumbuhkan jamur-jamur kolonialisme. Kekuatan
kolonialisme telah memperalat para penganut feodalisme untuk memuluskan praktek
penjajahan.
Aldino (2014)
mensinyalir para elit priyayi dimanfaatkan sebagai piranti kekuasaan untuk melakukan
penindasan kepada mereka yang lemah. Ketimpangan sosial muncul dari serangan
kekuatan kolonialisme dan feodalisme, sehingga membagi masyarakat dalam
beberapa kluster atas kepemilikan modal.
Bayang-bayang
Feodalisme
Hal di atas bertolak belakang
dengan sistem demokrasi modern yang menegasikan kultur feodalistik-konservatif.
Hubungan-hubungan paternalistik yang feodal dalam masyarakat mendapat gugatan.
Dalam corak kehidupan demokratis, nilai dan prinsip feodalisme yang sudah
berusia ribuan tahun dianggap kurang rasional, sehingga hak-hak istimewa kaum
feodal, termasuk Presiden, harus dikritik.
Elit-elit kolonial
bersama kaum feodal dibekali hak istimewa dalam kehidupan sosial. Adapun
masyarakat biasa hanya dapat menikmati akses yang sangat terbatas. Sistem
sosial semacam ini menjadikan masyarakat Indonesia memiliki ‘mentalitas
inlander’ yang pasrah terhadap keadaan dan ‘mentalitas amtenar’ yang gila
kehormatan dan mengagungkan kredo ‘asal bapak senang’.
Kedua mentalitas ini merumuskan bahwa kepatuhan
merupakan tolok ukur moralitas. Hegemonisasi kuasa dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya dapat melahirkan segala bentuk ketidakadilan berupa
fanatisme dan kesetiaan membabibuta.
Atas dasar inilah, pasal
penghinaan Presiden harus dihapus. Presiden merupakan institusi yang ritus
kehidupannya tidak lepas dari bayang-bayang feodalisme. Dipertahankannya nilai
dan prinsip feodalisme dalam regulasi pemerintah berimplikasi serius terhadap
ruang sosial masyarakat di mana keluhuran dan keadiluhungan menjadi acuan
utama. Sistem yang diproduksi oleh nilai-nilai kehormatan dan kewibawaan telah
memantapkan “garis darah biru” sebagai trah kekuasaan.
Logika feodal telah
berhasil mengidentifikasi bahwa kemuliaan dan citra kebesaran seseorang
diperoleh melalui “kasta tinggi” yang menutup rapat-rapat kesempatan bagi
masyarakat kecil. Logika ini cenderung driskiminatif dan rasialis, sebab dibebani
watak kolonial yang eksploitatif. Akses kesejahteraan dan kemakmuran lebih
berpihak pada orang-orang yang dekat dengan Presiden dibanding mereka yang jauh
dari kursi kekuasaan.
Pemimpin Berkualitas Pengertian
Beberapa pakar berpandangan
bahwa kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi
sesaat. Pemimpin muncul dari kemampuan dan keterampilannya memecahkan beragam
permasalahan, meski dalam keadaan tertekan.
Dalam “The 21
Indispensable Qualities of a Leader” disebutkan bahwa pemimpin besar
mempunyai 21 kualitas (Maxwell, 2000). Di antara ke-21 kualitas itu adalah pengertian.
Ia merupakan kemampuan seorang pemimpin menemukan akar persoalan berdasarkan
intuisi serta nalar. Pengertian
merupakan kualitas paling urgen bagi pemimpin manapun yang ingin memaksimalkan tugas
dan tanggung jawabnya. Pengertian
akan membantu mengerjakan hal-hal penting, yaitu:
Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin
besar harus bisa mengatasi kekacauan serta kerumitan yang luar biasa setiap
harinya. Seorang presiden tak akan mampu mengumpulkan informasi yang cukup
untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari segalanya. Sehingga ia harus
mengandalkan pengertian yang memungkinkan
seorang presiden melihat sebagian persoalan, melengkapinya secara intuitif, dan
menemukan inti persoalannya.
Mengetahui akar
permasalahan merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Ketika seorang presiden
bisa menggabungkan antara intuisi dan nalarnya, maka bisa dipastikan ia akan
menemukan akar persoalan dengan tepat. Dengan demikian, persoalan bangsa akan
segera teratasi.
Kedua, meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan.
Presiden ibarat seorang dokter yang mampu mendeteksi penyakit bangsa sekaligus
mengatasinya. Ia harus bisa mengobati penyakit tersebut semaksimal mungkin.
Kondisi dan keadaan yang sering berubah menuntut seorang pemimpin mencari
berbagai alternatif dalam memecahkan persoalan yang lebih kompleks.
Ketiga, mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada demi hasil maksimal.
Seorang presiden yang bisa mendeteksi penyakit bangsa dan mengobatinya masih berkewajiban
melihat perkembangan bangsa. Dengan demikian, ia harus mampu menilai apakah
yang ia lakukan telah menambah daya vitalitas bangsa, atau masih terbelenggu
dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi kinerja sangat penting, agar
kesehatan dan stamina bangsa tetap senantiasa terjaga.
Maka, ketimbang
terjebak pada modus penyalahgunaan institusi dan terjebak pada kultur feodalistik-konservatif,
seorang Presiden lebih bijak jika menanggapi serangan pribadi sebagai “alarm” introspeksi
diri demi mengembangkan kualitas pengertian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar