Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) mendiskusikan beragam konflik untuk menemukan solusi atas
problematika adat. Ini dilakukan dalam Festival Nusantara bertajuk
"Merayakan Peradaban Matahari". Mereka bersepakat menjadikan adat
Bali sebagai salah satu referensi.
Komunitas adat di Bali dianggap
sebagai simbol toleransi dan kerukunan. Keselarasan, keseimbangan, dan
keharmonisan di Bali tidak terlepas dari penghormatan masyarakat terhadap norma
adat. Berlandaskan pada ajaran Tri Hita Karana, awig-awig menjadi pedoman warga Pulau Dewata sebagai implementasi
teologi dalam relasi sosial. Demi mendatangkan kebahagiaan, masyarakat
dianjurkan menjaga keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia, serta manusia dengan lingkungan.
Dalam awig-awig dijelaskan adanya sanksi bagi mereka
yang melanggar. Bagi warga Bali, Tri Dana merupakan konsep tiga sanksi bagi pelanggar.
Mereka merasa malu karena menyalahi aturan. Hukuman lain dendan uang dan harus menyucikan
diri dalam upacara ritual. Sanksi-sanksi diterapkan sesuai dengan dosa dan kesalahan.
Anom B Prasetyo (2012)
menyatakan, realisasi awig-awig
merupakan alternatif kebuntuan hukum positif. Kegagalan negara membangun
kesejahteraan dan keamanan direspons positif oleh masyarakat dengan mensubtitusikannya
dalam hukum adat.
Masyarakat Bali minim
konflik karena kuatnya komitmen komunitas adat memegang teguh Pararam, sebuah
aturan yang lahir atas kesepakatan masyarakat desa adat. Ini disusun dalam
kondisi dan waktu tertentu guna merespon persoalan yang dihadapi. Kesepakatan tersebut
dinilai mampu menjawab perkembangan zaman.
Urgensi
Desa Adat
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa mengakui eksistensi desa adat sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat yang menggabungkan unsur-unsur genealogis dan teritorial.
Sepanjang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh
negara.
Sebagai street level bureaucracy, desa adat dibekali
hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur kepentingan masyarakat dan
wilayahnya. Hak adat yang selama ini dirampas mulai mendapat ruang. Maka, masyarakat
hukum adat dapat memanfaatkannya sebagai modal pembangunan desa adat dan
kawasan perdesaan.
Berbekal hak adat, desa
adat dapat mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan memperkuat
ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global. Dengan pengelolaan
berbasis budaya lokal, desa adat bisa meningkatkan intensitas interaksi masyarakat
dalam ikatan sosial yang harmonis.
Sayang, desa adat kerap
diwarnai beragam konflik, seperti menjamurnya industri yang memangkas tanah
penduduk, kaburnya batas wilayah antar desa, pemanfaatan lembaga musyawarah
adat untuk kepentingan pribadi, klaim kepemilikan lahan oleh pihak swasta dan
pemerintah. Kemudian rebutan dana desa, kapitalisasi warisan leluhur, involusi
sumber-sumber ekonomi, kriminalisasi atas nama hukum, serta pelanggaran norma
adat.
Maraknya konflik tidak
terjadi secara tiba-tiba, karena sebagai akumulasi peristiwa yang berlangsung
sebelumnya. Mulai dari kurang seriusnya pemerintah daerah memfasilitasi program
penguatan kapasitas lokal dalam kerangka tata kelola pemerintahan hingga klaim
kebenaran masyarakat adat yang akhir-akhir ini semakin menguat. Boleh dibilang,
beragam konflik di perdesaan seringkali disulut hal-hal sepele.
Selama ini, pemerintah
daerah sebagai supra-desa, yang mestinya melindungi justru lebih berpihak pada
penguasa dan pemodal. Kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dan berdasar
kepentingan sektoral, kelompok, agama, adat atau suku rentan memicu konflik
horizontal. Pemerintah daerah juga cenderung melihat segala sesuatu dalam optik
legal, tanpa memperhatikan aspek sosial. Padahal, di desa-desa adat, ikatan dan
pergaulan masyarakat kerap berlandaskan kesadaran sosial. Hubungan emosionalitas
terbangun dari rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Klaim kebenaran muncul
dari usaha setiap komunitas adat memperjuangkan hasrat dan kehendaknya. Desa adat
menjadi kumpulan aneka suku di mana mereka mengklaim sebagai paling benar. Klaim
ini diyakini sebagai kebenaran tunggal. Sayangnya, klaim yang merujuk pada mitos
tersebut bersifat parsial. Di satu sisi, merupakan kebanggaan karena berkisah
tentang keperkasaan diri. Namun di sisi lain, ia menjadi pemantik lahirnya
disharmoni dan ketegangan sosial.
Jika konflik-konflik
ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan kearifan lokal, keunikan, serta keragaman
pada desa adat bukan menjadi “madu pembangunan”, melainkan “racun” yang dapat
menghabisi nyawa perubahan. Kebinekaan yang semestinya menjadi kekayaan justru
menjadi bahaya laten. Dampaknya, berbagai bentuk kekerasan lahir dalam dinamika
konflik.
Konflik dan integrasi merupakan
siklus dalam kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali di desa adat. Konflik yang
terkontrol dengan baik dapat menimbulkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang kurang
sempurna rentan menghasilkan konflik. Konsep inilah yang harus dipahami dalam
meredam letusan intensitas konflik masyarakat hukum adat.
Upaya integrasi sosial
perlu guna menyelesaikan berbagai perselisihan secara damai. Untuk
merealisasikannya, desa adat yang merupakan basis terkecil dan ”ujung tombak”
otonomi mesti dibekali dengan kepiawaian meresolusi konflik. Masyarakat hukum
adat diajak untuk mendeteksi konflik dan merancang strategi agar konflik
tersebut tidak melebar (Robert Bala, 2014).
Sebagai solusi
pencegahan dan penyelesaian konflik, simbol-simbol masyarakat adat juga harus
dihargai. Misalnya, pamabakng di
Dayak Kanayatn untuk mengakui kesalahan. Ini merupakan simbol kedaulatan hukum
adat. Pamabakng menolak perilaku yang
bertentangan dengan prinsip dan ajaran nenek moyang.
Pembahasan RUU
Kebudayaan harus mendapat kawalan ketat. Panitia kerja (panja) seyogyanya
menjaring masukan dari semua pihak, terutama akademisi dan budayawan. Kelak, lahirnya
UU Kebudayaan tidak lantas memasung kreatifitas, tapi memberi keleluasaan berekspresi,
seperti komunitas adat, masyarakat tradisi, dan penghayat kepercayaan.
RUU Kebudayaan dinilai memiliki
daya tawar dan isu strategis. Legalitas kebudayaan diperlukan guna memayungi
aturan-aturan lain yang segaris dan senafas. Undang-undang menjadi induk perundang-undangan
lain yang lebih praktis. Maka, UU Kebudayaan akan menjadi cantolan bagi UU
Cagar Budaya, UU Perfilman, dan UU Pariwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar