Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melempar
usulan agar jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) disematkan bagi para staf desa. Di
beberapa daerah, seringkali staf desa silih berganti seiring dengan lengsernya kepala
desa (Kades). Di samping melancarkan penyerapan dana desa, hal ini dilakukan
demi menghindarkan staf-staf desa dari intrik politik saat terjadi hiruk-pikuk pemilihan
Kades.
Alokasi dana desa yang begitu besar
mengharuskan sumber daya manusia (SDM) yang cukup memadai untuk mengurusnya. Jika
hal ini diabaikan, tentu dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan. Akibatnya, para
koruptor tidak hanya lahir di level nasional, melainkan juga di tataran lokal.
Dana desa yang seyogyanya dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat desa
justru menjadi proyek bancakan elite-elite nakal dan oknum-oknum yang kurang
bertanggung jawab.
Oleh sebab itulah, perlu analisis
mendalam mengenai alur birokrasi, prosentase kebutuhan, dan analisis jabatan,
sebelum pemerintah menerbitkan keputusan. Apalagi, tersebar rumor bahwa wacana
pengangkatan staf desa sebagai “pengabdi negara” berawal dari tuntutan mereka
yang mengeluhkan tentang minimnya pendampingan penggunaan dana desa.
Kebijakan pemerintah tidak boleh
didasarkan hanya pada desakan sejumlah pihak. Timbulnya kebijakan mesti
berangkat dari analisis tajam dan pertimbangan rasional. Harus ada latar
belakang, alasan, serta motif kuat mengapa suatu kebijakan diambil. Pemerintah
tidak semestinya mengesampingkan fakta bahwa masyarakat kita saat ini, termasuk
orang desa, sudah mulai berpikir pragmatis.
Boleh jadi, tuntutan sebagai
pegawai negeri hanya demi meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki perekonomian,
dan melarikan diri dari kepungan kebutuhan sehari-hari yang kian mendesak.
Tanpa rasionalisasi, munculnya kebijakan akomodatif dan kompromistis rentan
merusak prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh tokoh-tokoh bangsa
dan negarawan.
Pemborosan Uang Negara
Jika wacana di atas terealisir,
bisa dibayangkan betapa besar uang negara yang dibelanjakan untuk “membayar” staf
desa. Padahal, program-program yang dibebankan APBN tidak selalu berjalan
mulus. Daripada mengangkat staf desa sebagai PNS, lebih baik pemerintah
berusaha memaksimalkan peran dan fungsi pendamping desa. Hal ini juga bertujuan
menghilangkan dualisme kewenangan staf desa dan pendamping desa yang hanya akan
menyebabkan rancunya pemerintahan desa.
Pemerintah dituntut mampu memelihara
struktur desa bercorak unik dan genuine, sehingga memiliki pola, bentuk,
dan karakter yang berbeda dengan kelurahan. Menurut ketetapan regulasi, kelurahan
adalah pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan. Dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi, kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah
sebagai perangkat daerah kabupaten atau kota yang berstatus sebagai PNS. Berbeda
dengan kelurahan, desa bukanlah bawahan kecamatan dan bukan merupakan bagian
dari perangkat daerah. Desa dibekali hak mengatur wilayah yang lebih luas
(meski dalam perkembangannya, sebuah desa dapat berubah menjadi kelurahan).
Identitas desa sebagai gabungan
dari self government community dan local state government mesti
dipertahankan. Hal ini antara lain diwujudkan dengan meminimalisir pencomotan
PNS dari staf desa.
Mengutip La Ode Ida (2012), staf
desa merupakan unit pemerintah dalam civil society yang secara sukarela
menanamkan nilai budaya di daerah tertentu, tanpa sedikit pun berharap imbalan.
Kebutuhan negara bukan dalam rangka membiayai individu, tapi berinvestasi bagi
kepentingan kehidupan rakyat jangka panjang. Sehingga, kreatifitas orang-orang
desa sangat bermanfaat bagi peningkatan pembangunan kawasan perdesaan.
Adapun pendapat bahwa perekrutan
staf desa menjadi PNS adalah dalam rangka membuka lapangan pekerjaan rasanya
kurang tepat. Sarjana-sarjana yang menganggur bisa diberdayakan dengan cara
merevitalisasi BUMDes sebagai katalisator perekonomian masyarakat perdesaan.
Dengan demikian, mereka tidak hanya berpangku tangan, menunggu peluang
pekerjaan yang semakin kecil. Seyogyanya mereka dibentuk sebagai
pribadi-pribadi dengan kualitas mumpuni serta jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
yang tinggi.
Pendapatan Tetap
Meskipun sebagai pengabdi desa,
staf desa selayaknya mendapat penghargaan yang layak berupa pendapatan tetap
tiap bulannya. Penyediaan kompensasi atas waktu, keringat, dan pikiran mereka
tentu dapat melahirkan semangat dan motivasi yang tinggi dalam mengabdikan diri
pada desa. Di samping itu, kinerja mereka lebih maksimal dan terorganisir.
Tidak bisa dimungkiri, ketiadaan
sumber ekonomi yang jelas kerap membuat seseorang mencari pekerjaan di luar
fungsi dan perannya dalam pemerintahan desa. Akhirnya, ia akan lebih sibuk
dengan pekerjaannya dibanding menjalankan kewajibannya sebagai staf desa.
Kondisi seperti inilah yang menjadikan desa dan pemerintahan desa tidak
terurus. Tugas sebagai staf desa hanya dijalani sebagai sambilan yang
sewaktu-waktu bisa dinomorduakan.
Sebagai catatan, sistem pembayaran
dan besaran pendapatan tetap staf desa tidak boleh disamakan dengan gaji PNS.
Harus ada aturan tersendiri yang membedakan antara keduanya. Bagaimana pun,
nominal pendapatan yang terlalu besar rentan menyebabkan munculnya berbagai risiko.
Di antaranya, lahirnya para calo atau makelar yang menyediakan jasa bagi
seseorang yang berkehendak menjadi staf desa. Belum lagi persaingan para warga
desa untuk dapat menjadi staf desa. Sayangnya, persaingan tersebut lebih untuk
pencapaian status sosial dan peningkatan kesejahteraan dibanding pengabdian
diri kepada desa.
Bojonegoro, 2015