Banjir yang melanda kawasan
perdesaan membuat padi di jutaan hektare sawah terpaksa harus ditanam ulang.
Musibah ini mengakibatkan para petani mengalami kerugian besar. Padahal, selama
ini sawah menjadi lokus utama sektor agraris.
Siklus kehidupan orang desa,
khususnya para petani, kerap dipengaruhi oleh masa panen. Guna menyiasati
keadaan, orang-orang yang tidak memiliki kerja sampingan harus memutar otak.
Pada bulan-bulan sebelum panen, kerap mereka meminjam rupiah dari saudara, tetangga,
bank, atau lembaga keuangan lainnya. Uang ini digunakan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Untuk membeli kebutuhan sekunder, kaum tani harus
menunggu panen. Di masa inilah para petani memegang uang dan menikmati jerih
payah mereka.
Dalam taraf tertentu, sawah
menyimpan hak komunal. Sawah menggambarkan bahwa kehidupan perdesaan dibangun
oleh kebersamaan dan kolektivitas. Sawah menjadi simbol bahwa toleransi, kerja
sama, dan gotong royong menjadi pijakan orang desa dalam bertindak. Selain menyumpal
kebutuhan perut, hasil tanah juga dipakai untuk membiayai pendidikan buah hati
sebagai aset terbaik di masa depan.
Urgensi sawah tampak dari realitas
bahwa negara selalu menuntut petani untuk memasok bahan pangan. Apa yang mereka
hasilkan dari sawah diangkut ke perkotaan. Keringat mereka diperlukan guna
memenuhi kebutuhan makanan pokok. Sayangnya, saat petani berharap uluran
tangan, negara tidak pernah hadir.
Negara enggan berkoar bahwa di
balik kesengsaraan petani terdapat perlindungan pemerintah. Berbagai bentuk
kerugian, mulai dari gagal panen, melonjaknya harga pupuk, hingga merosotnya
harga beras ditanggung oleh petani. Boleh dibilang, secara tidak langsung
terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh negara. Di sinilah muncul tuntutan yang
kurang berimbang. Pengorbanan petani tidak diimbangi oleh kesigapan negara
melindungi hak mereka.
Kultur Agraris
Pada masa silam, saat globalisasi
dan modernisasi belum sepenuhnya menyentuh wilayah pedalaman, rata-rata mata
pencaharian orang desa adalah bertani. Profesi ini digeluti karena pada waktu
itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan alam, demografi, serta kondisi
lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah sebisa mungkin.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 95)
menilai bahwa orang desa memiliki filosofi kerja yang tinggi. Bagi mereka,
bekerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan, tetapi bagian dari
"ritual" menjalani hidup. Seluruh pekerjaan petani dan warga pedesaan
bukan dilakukan karena mereka ingin menjadikan usaha utama dan sampingan
sebagai bagian dari sistem produksi ekonomi. Lebih dari itu, apa yang mereka
kerjakan merupakan cara mengisi waktu kosong yang menjadi penggalan kehidupan
rohani yang bernilai dan mendalam.
Dalam catatan sejarah, kultur
agraris mendarahdaging dalam diri orang Islam. Kuntowijoyo menyebutkan,
transformasi profesi umat Islam dari pedagang ke petani terjadi menyusul
kehadiran Belanda di Nusantara. Demi menghindari kontak dengan pihak kolonial,
sejak abad ke-18 dan ke-19, mereka menjalankan aktivitas bertani serta bermukim
di desa dan daerah terpencil (Lathiful Khuluq, 2008: 4).
Sektor agraris juga mampu menyokong
kekuatan perekonomian negara. Saat menanggung dampak krisis ekonomi untuk
menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor
pertanian terbukti cukup kuat. Itulah mengapa, pada periode 1998-2000, sektor
pertanian menjadi salah satu unsur penyelamat ekonomi Indonesia.
Tiga Prinsip
Dalam rangka memajukan sektor
agraris di wilayah pedesaan, industrialisasi pertanian merupakan keniscayaan.
Setidaknya terdapat tiga prinsip industrialisasi pertanian yang kerap digunakan
oleh negara-negara berkembang (Bustanul Arifin, 2005: 142-143). Pertama, pembangunan berbasis pertanian
yang mengutamakan potensi pasar dalam negeri sekaligus memanfaatkan besarnya
jumlah penduduk.
Upaya memompa daya beli masyarakat
ditempuh melalui peningkatan produktivitas, perluasan peluang kerja,
stabilisasi nilai tukar, serta pembangunan industri yang berhubungan dengan
pertanian dan pedesaan. Kedua,
pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri. Prinsip ini melihat
bahwa lantaran mengandalkan lahan dan tenaga kerja, sumber daya di pedesaan
lebih banyak menunjang produksi pertanian.
Biasanya sumber daya pedesaan lebih
terampil dalam usaha tani di hulu, namun kurang terampil dalam produksi
manufaktur di hilir. Di sinilah industrialisasi pertanian yang membidik daerah
pedesaan akan mampu mengatrol kualitas sumber daya manusia pedesaan dan
pembangunan perdesaan pada umumnya.
Prinsip tersebut menekankan urgensi
keterkaitan ke depan dan ke belakang dari proses industrialisasi yang dapat
menghasilkan nilai tambah cukup besar. Ketiga,
pembangunan daya dorong yang berusaha meningkatkan produktivitas dan daya beli
kaum miskin serta mendorong motivasi kaum berada.
Analogi yang sama dipakai untuk
menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi
pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan).
Prinsip industrialisasi ini memprioritaskan atensi pada kelompok miskin dan
daerah pedesaan, bukan kelompok kaya dan daerah perkotaan.