“Bahaya!” Abdul Rasyid tergopoh-gopoh, nafasnya kembang kempis.
“Kenapa? Ada maling lagi?” Kakaknya ikut gugup.
“Bahaya!” Dalam pikiran Abdul Rasyid hanya terselip satu kata.
“Apa yang akan dicuri dari kita? Tenanglah! Kita ini sudah tak punya apa-apa.” Dalam kondisi paling runyam, sejumlah orang justru memanfaatkan keadaan. Tidak, tidak. Tepatnya, mereka terdesak. Munculnya para pencuri karena butuh makanan dan benar-benar kelaparan.
“Di jalanan banyak orang membawa senjata.”
“Senjata? Bambu runcing maksudmu?” Harun menebak sekenanya. Maklum. Selama ini di dalam maupun belakang rumah para warga banyak bambu yang diraut ujungnya.
“Tidak.”
“Lantas?” Sepasang alis Harun mengait. Keheranan.
“Senapan.”
“Senapan burung? Ah, mungkin orang-orang Belanda mau berburu. Mereka butuh hiburan.”
“Aku tak tahu senapan apa. Yang pasti aku belum pernah melihat sebelumnya. Dan, mereka akan menyerang kita!” Lidah Abdul Rasyid tampak lebih berat.
Terpancing dengan apa yang dilontarkan adiknya, Harun segera memeriksa keadaan. Celaka! Serdadu Belanda yang dianggap sebagai teman sendiri—karena berjasa mengusir Portugis dari tanah kami—sedang mengepung serata kampung.
Dan, dari Harun-lah kami mengetahui kondisi sebenarnya. Benar. Itulah waktu pertama kali orang-orang Belanda menunjukkan gelagat sebenarnya. Beberapa bulan selanjutnya, orang-orang berludah pahit itu ternyata kian beringas.
Sungguh. Kekhawatiran yang selama ini kami pendam akhirnya menyembul. Kami baru sadar, apa yang dulu didengung-dengungkan nyatanya sanggup mereka wujudkan. Sebelumnya, kami mengira mereka cuma menyebar kegelisahan, sehingga kami pun meyakini hal itu sebagai omong kosong belaka. Tiada lebih. Rupanya, kata-kata mereka terkadang ada benarnya. Lihatlah kemajuan luar biasa telah dipetik Belanda! Entah apa yang genap dilakukan, sehingga dengan mudahnya fondasi-fondasi militer untuk menguasai perdagangan berhasil mereka tancapkan. Dengan demikian, perniagaan laut di negeri kami sedang dalam kondisi darurat; mendesak diselamatkan.
Ambon. Pulau penghasil rempah-rempah itu terpaksa bertekuk lutut, setelah melakukan berbagai upaya, namun nihil. Tentu, kekuatan orang-orang yang kebanyakan bernama Van itu tak bisa diremehkan. Anggapan yang menuturkan bahwa hanya orang berkulit hitamlah yang kuat, salah total. Kami bukan mengada-ngada. Tengoklah kuli di pasar, buruh, pegawai kasar di pabrik, kuli-kuli tebu, petani, atau para pekerja berat lain. Semua berkulit hitam! Akan tetapi, kenyataannya, orang-orang berkulit putih-aneh seperti mereka, meskipun tampak lemah, justru mengantongi kekuatan yang bersembunyi di kepala. Buktinya, berbekal kelicikan dan politik nista, markas megah di Batavia mampu mereka dirikan. Lengkap dengan begundal-begundal yang sok terlatih dan profesional. Dan, masih banyak contoh lain yang enggan kami sebutkan.
Malaka. Kota yang tersohor dengan pelabuhan dagang itu beralih ke tangan VOC. Ini adalah pencapaian gemilang yang patut mereka rayakan. Tampaknya, dengan apa yang diraih tersebut, mereka menyelenggarakan pesta besar beberapa malam dengan mendatangkan anggur-anggur ternikmat. Perkumpulan yang awal pembentukannya dipicu persaingan sengit antar sejumlah perseroan tersebut semakin menunjukkan taringnya. Namun, kami lega ketika mendengar kabar bahwa pada pertengahan abad XVII, kesatuan VOC agak goyah. Pencetusan beberapa perjanjian perdamaian, pendirian pusat-pusat pertahanan, serta kedigdayaan armada lautnya diterka belum mampu menegakkan sendi-sendi kegagahan VOC. Ditambah lagi, kerajaan-kerajaan di negeri kami masih menebar ancaman dengan menerbitkan beragam pemberontakan. Tentu, hal ini bertujuan salah satunya agar kecongkakan VOC merosot tajam. Agar VOC malas menganggap kami semua sebagai boneka. Ya, hanya boneka!
Menyadari gencarnya gertakan dari beberapa kerajaan, VOC melanting tindakan dengan menelurkan kebijakan yang terkesan membabibuta. Benar. Lagi-lagi kekuatan militer diberdayakan untuk membungkam semua orang yang dianggap pemberontak. Kaum pengacau layak dilibas. Golongan pendurhaka pantas dibersihkan. Otomatis, dengan munculnya keadaan yang kurang nyaman, para pengecut dan pengkhianat memilih bergabung dalam kebijakan tersebut. Dan, tak berselang lama, lahirlah dasar-dasar bagi imperium Belanda di negeri kami. Hal yang ringan membuat kami gentar, dengan bulu kuduk berloncatan disertai tubuh menggigil.
Antonio van Diemen, Joan Maetsuycker, Rijklof van Goens, dan Cornelis Janszoon Speelman. Keempat lelaki inilah di antara para Gubernur Jenderal yang leluasa menudingkan telunjuk agar diikuti perintahnya. Di bawah arahan merekalah, kaki militer VOC berjalan. Daerah mana yang ditunjuk dalam peta, di sanalah akan turun neraka. Ya. Bersiap-siaplah bagi seluruh penduduknya untuk berwasiat kepada keluarga. Atau menebar pahala sebanyak-banyaknya. Atau berdiam saja sambil menunggu kapan bersua ajal. Karena, sebentar lagi, genangan darah bakal menyebabkan parit berwarna merah dan berbau anyir.
Sasaran pertama orang-orang berbulu menggelikan itu adalah Maluku. Di sana. Di tempat Francisco Serrao—delegasi terpercaya Portugis—pernah mengangkut beraneka bahan pangan serta menebus rempah-rempah itulah Belanda memasang siasat. Produksi pala dan cengkih dimonopoli sedemikian brutalnya. Orang-orang yang mulanya berprofesi membudidayakan tanaman yang mendarat dari surga tersebut tersisih. Permainan harga seolah menjadi pemandangan biasa. Dan, terjadilah apa yang dinamakan penyingkiran dan pelecehan dalam negeri sendiri.
“Benar-benar biadab! Setelah dapat tempat, mereka memperlakukan kita seperti sampah.”
Begitulah raung salah seseorang yang merasakan kepahitan tersebut.
Selaku kaum bertuhan, kami selalu berharap atas pertolongan ajaib-Nya. Kami mafhum bahwa apa yang tunai ditetapkan menyimpan bebongkah kebaikan. Namun, maafkan. Maafkan, Tuhan! Bila kami belum sanggup menghadapi cobaan berat ini. Cobaan yang rajin mencabik-cabik bukan hanya badan, hati, tapi juga jiwa kami. Di tengah penderitaan menyesakkan seperti ini, tiada yang bisa kami lakukan kecuali hanya berdoa. Ya. Berdoa, bagi kami, merupakan hiburan tersendiri. Karena dengannyalah, kami masih sanggup merawat sinar kehidupan.
Dan, terkabul. Seorang bernama Kakiali diturunkan. Sejak balita, tiada sebiji tanda apapun menempel di tubuhnya, yang memberitahukan bahwa kelak ia merupakan pemimpin sejati. Ibunya, ketika hamil, tak pernah bercerita jika suatu hari bermimpi ada cahaya bergerak-gerak dalam perutnya. Hanya saja, seorang lelaki di antara kami—kami lupa siapa namanya—menduga, anak kecil tersebut akan menjadi orang yang berguna. Entah bagi orang tua, bangsa, ataupun agamanya. Atau bahkan ketiga-tiganya.
Yang kami mengerti, bukanlah ia malaikat, jin, atau nabi. Bukan, bukan. Kakiali hanyalah pemeluk syariat teguh. Kalau tidak salah, ia termasuk murid Sunan Giri di Jawa—anggota wali songo yang giat menyebarkan Islam, agama yang tumbuh di padang gersang dan memuncratkan cahaya gilang-gemilang di pucuk timur.
Di usianya yang masih hijau, Kakiali nekat membentuk persekutuan dalam rangka memprotes kesombongan Belanda. Bagaimanapun juga, orang-orang kafir itu tak ubahnya dengan majikan yang menuntut pelayanan penuh, gemar ongkang-ongkang kaki dan meludah sembarangan. Melihat tindakan Kakiali, tak ayal, sebagian besar di antara kami ditikam keheranan. Pasalnya, di balik tampangnya yang lembut, janggal bila benih-benih perlawanan menumpuk dalam dirinya.
Kakiali memperoleh jalan. Bermodal sokongan kerajaan bangsa Makassar, Gowa, ia berhasrat memandu kami—kaum Muslim Hitu—beserta pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal guna melancarkan aksi pemberontakan. Dengan mengobarkan semangat anti-VOC, si keras kepala itu berniat menanamkan arti perlawanan. Benar. Perlawanan yang digaungkan demi merenggut kebebasan.
“Kalian tahu apa yang akan kita lakukan?” sambil berdiri, Kakiali memekik lantang. Penampilannya meyakinkan, didukung terutama oleh kumisnya yang gagah.
Sebagian dari kami menggeleng. Lebih banyak lagi mematung.
“Kita akan menggorok leher orang-orang bermata biru itu satu per satu.”
Tiba-tiba kebingungan menghinggapi wajah kami. Kami bertukar pandang antara satu dengan yang lain. Serasa ada ribuan jarum menusuk cuping kami. Serejang kemudian, “Dengan apa?” seseorang memaksakan diri bertanya.
“Dengan keberanian.” Begitu tenang Kakiali melanting jawaban. Katup mulutnya tampak lebih hitam. Lantas menyambungnya dengan ketus “untuk mengusir para calon penghuni neraka itu dari tanah kita, cuma ada satu jalan: pemberontakan!”
Kami tergeragap. Suara-suara yang berseliweran sebelum perkumpulan tersebut lenyap. Debu-debu yang dibuntingi udara jatuh ke tanah. Pohon-pohon turut memasang telinga, hendak menyimak apa yang selanjutnya menyembul dari lidah Kakiali.
“Kalau gagal?” lelaki itu, lelaki berjambang tipis itu lagi yang nekat menggerakkan moncongnya. Seakan tiada sama sekali orang di sampingnya.
“Hidup mulia atau mati syahid”. Kakiali menjawabnya singkat; dengan wibawa yang memancar dari tubuhnya.
Dan, jauh dari sangkaan kami sebelumnya, pewaris gelar Kapitein Hitoe tersebut bukanlah lelaki dungu yang ingin mati konyol. Ia begitu cerdas, sehingga kerap kali kami dibuat heran dengan apa yang dilakukan. Cara berpikirnya yang berbeda merupakan tanda bahwa otaknya lebih encer. Bayangkan! Ia pura-pura bersahabat dengan Belanda. Padahal, di saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa VOC adalah musuh yang laik diluluhlantakkan. Hampir setiap hari, kami terngiang-ngiang dengan kata-katanya yang dilontarkan di satu pagi yang mendung: “hidup diperbudak lebih hina daripada mati diterjang pelor. Atau bahkan meriam sekalipun.”
Apa yang diperbuat Kakiali menyebabkan kepercayaan diri tumbuh di pundak semua orang, terutama sekali kaum pejantan. Entah mantra apa yang dibaca, sehingga apapun yang keluar dari bibirnya, seakan menjanjikan kebaikan. Dan, demikianlah, pada khatamnya kami berbulat hati hendak memperjuangkan tanah kami hingga titik darah penghabisan.
Terkena lecutan, kami segera membangun benteng-benteng pertahanan di pelosok. Belum sebanding memang, jika gedung-gedung sederhana itu disandingkan dengan markas VOC. Sunggguhpun demikian, kami anggap hal tersebut sebagai upaya agar VOC urung memandang kami sebelah mata.
Para pembesar VOC naik pitam. Darah mereka memanjat ubun-ubun. Pasalnya, selain harus membabat ulah kami sekaligus membuat kami jera, kali itu penyelundupan cengkih yang melanggar peraturan-peraturan VOC kian menjalar. Jika tidak segera diatasi, mereka khawatir akan timbul persoalan lebih pelik. Dan, mereka menaruh curiga, jangan-jangan seseorang di balik semua ini adalah Kakiali.
Kakiali tersenyum lebar, melihat gerakan penyelundupan cengkihnya berjalan sesuai harapan. Merasa tidak tahan, ia pun melepas kedok persahabatannya dengan VOC. Bagaimanapun juga, menyamar menjadi karib VOC bukanlah persoalan mudah. Kerap ia dituntut untuk memungut satu di antara sekian pilihan yang sama-sama menyakitkan.
Sebagaimana dirinya sendiri, kami pun percaya dengan segenap keputusan Kakiali. Kami yakin bahwa apa yang ditentukan lelaki bijak tersebut senantiasa melahirkan kebahagiaan. Sayangnya, sekali lagi sayangnya, kebahagiaan yang baru kami ketam nyatanya harus lekas menghilang. Benar. Pagi itu, tak biasanya Kakiali telat ke masjid. Ia selalu datang lebih awal; berdiri di shaf pertama untuk lebih dulu menunaikan dua raka’at shalat fajar sembari menanti para jama’ah lain.
Usai menunggu begitu lama dan tiada tanda kemunculannya, terpaksa salah satu di antara kami menjadi imam. Padahal, selama ini, Kakiali, orang yang memiliki bacaan al-Quran paling fasih itulah yang bertindak sebagai imam masjid Bait al-Qahhar.
Membaca wirid, konsentrasi kami buyar saat Abdul Rasyid berteriak berulang-ulang.
“Bahaya! Bahaya!”
Geram, Harun bergegas keluar, hendak menanggapi ulah adiknya yang jarang ikut berjamaah dan sepagi itu sudah membikin ribut. “Bahaya apa? Tak perlu lagi ada yang dirisaukan. VOC masih takut menghadapi Kapitein Kakiali. Kau tahu? Sebuah desa yang berkompromi dengan VOC berhasil diserang.”
“Bahaya!” Apa yang dialami Abdul Rasyid hampir serupa dengan kegugupannya ketika mengetahui serdadu Belanda menyerang kampung kami.
Penasaran, orang-orang di dalam masjid berhamburan keluar. Syarif, pemuda yang bertugas mengumandangkan adzan, langsung bersoal. “Ada apa?”
“Kapitein Kakiali semalam dibunuh ketika tidur.” Abdul Rasyid menjawabnya tangkas.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Benar apa yang kau ucapkan?”
“Orang Spanyol kiriman VOC menusukkan pisau ke tubuhnya bertubi-tubi!”
Dalam waktu agak lama kami terdiam. Ya. Kami sangat terpukul dengan apa yang dikatakan Abdul Rasyid. Nyaris kami tak percaya bahwa seseorang yang mendermakan keberanian serta mengajarkan arti harga diri tersebut akhirnya harus meregang nyawa, setelah berjuang habis-habisan. Benak kami bertanya-tanya “adakah Kapitein selanjutnya yang mewarisi darah Kakiali?” dan kami sendiri menjawab “sepertinya tidak akan pernah ada”.
Yogyakarta, 2012