Judul : Kemaharajaan Maritim Sriwijaya
dan Perniagaan Dunia
ISBN : 9789793731346
Penulis : O.W. Wolters
Cetakan : I, Oktober 2011
Penerbit : Komunitas Bambu
Halaman : 376
Harga : Rp. 85.000,-
Sriwijaya merupakan
kemaharajaan maritim luar biasa pada abad VII sampai dengan abad XIII. Akan
tetapi, anehnya, pengetahuan tersebut baru tergali pada abad IX. Hal ini
sebagai akibat langsung diaplikasikannya ilmu sejarah kritis dalam upaya “merajut
kembali” masa lalu yang raib. Tak ayal, sebiji ungkapan Ranke—sejarawan yang
memberikan reaksi terhadap aliran Romantisisme—“wie es eigentlich gewessen” (history as actually happened),
menjelma landasan ortodoksi sejarah.
Dalam memaparkan
kroniknya, O.W. Wolters berusaha melakukan pembatasan yang tegas tanpa ampun.
Objektivisme dan subjektivisme diposisikan selaku dua ufuk yang senantiasa
dijauhkan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian, bagaimanapun juga,
pendekatan ini masih bersifat selektif dan elitis. Hal ini merupakan sebagian
dari hak prerogatif penulis guna menentukan mana peristiwa yang perlu
disebutkan dan mana yang tidak.
Mulanya, Sriwijaya
adalah kerajaan berbasis agraris. Demi mengubah status menjadi kerajaan
maritim, ada empat tahap yang dilalui, yaitu: tahap pertama (683-750), Sriwijaya masih sangat kental dengan
kegigihannya dalam bidang pertanian (agraris). Tahap kedua (750-1000), Sriwijaya mulai menampakkan diri selaku
kerajaan maritim. Meskipun demikian, aktifitas agraris masih tetap
dilaksanakan. Tahap ketiga
(1000-1200), Sriwijaya genap menjadi kerajaan maritim internasional dengan
kegiatan utamanya perniagaan. Pada masa inilah, Sriwijaya menggapai masa
keemasan. Tahap keempat (sesudah
1200), Sriwijaya mengalami kemunduran drastis, dan pada tahun 1377 kerajaan ini
dipecundangi oleh Majapahit.
Sriwijaya telah
berhasil menunjukkan kedigdayaannya. Hal tersebut dilandasi oleh ketajaman visi
kemaritiman serta kesadaran yang tinggi terhadap keunggulan strategis letak
geografi wilayah bahari Nusantara. Kerajaan ini sanggup menjadikan perniagaan
sebagai titian menggapai kebesaran. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan seorang
utusan Cina ke Sriwijaya pada tahun 683 M yang dapat dianggap sebagai pertanda
bahwa hubungan resmi antara Cina dan kerajaan dagang itu telah dimulai. Setelah
itu, beberapa delegasi pun mulai dikirimkan pada 702, 716, 728, dan 742 M (halaman
285).
Buku ini begitu
menarik. Mengapa? Sebab, selain berkutat pada hal-ihwal Sriwijaya pada umumnya,
penulis juga menyelipkan beberapa hal yang barangkali dinilai remeh oleh
beberapa sejarawan, seperti kajian mengenai mur. Tepatnya pada halaman 125,
dituturkan bahwa semasih zaman kuno, mur dikenal sebagai bdellium. Saking berkasiatnya, ia menggantikan guggulu sebagai obat pengasapan bermutu tinggi. Dalam hikayatnya,
mur disebut oleh Hsu Piao selingkar tahun 500 M, dan seabad kemudian khasiat
pengobatannya diketahui Chen Ch’uan.
Selain itu, penulis
juga menyertakan sirih (chavica aurculata
miq). Tanaman yang kaya dengan kandungan zat, di antaranya hidroksikavicol,
allylpyrokatekol, caryophyllene, cadinene, serta berkhasiat merangsang syaraf
pusat, merangsang daya pikir, dan meningkatkan gerakan peristaltik tersebut
sangat cocok dikonsumsi di daerah iklim dan tropis Asia Tenggara.
Studi mendalam tentang
Sriwijaya yang dilakukan O.W. Wolters akan sangat berguna bagi para akademisi,
praktisi, maupun kaum penggandrung sejarah. Keintiman penulis dengan sejarah
mengantarkan buku ini sanggup menghibahkan wawasan komprehensif mengenai
kerajaan Sriwijaya serta gambaran awal perdagangan laut Nusantara yang
berkecambah dan tumbuh pada abad III hingga abad VII.
Menggelitik memang,
jika kesuksesan niaga maritim Sriwijaya yang masyhur di serata dunia itu bukan lantaran
perdagangan rempah-rempah, melainkan karena beraneka ragam jenis getah pohon
yang mengantongi rimbun manfaat dalam bidang medis. Sesuatu yang membedakan
buku tebal ini dengan beragam referensi lain, yang selalu mengaitkan antara
kejayaan Sriwijaya dengan perdagangan rempah-rempahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar