Para lelaki tinggi
besar, putih aneh, dengan bulu-bulu menggelikan itu melempar sauh di pelabuhan.
Gemerigi mereka yang semringah seolah menawarkan keramahan. Mereka melantingkan
tabik begitu hangat. Layaknya saudara kandung terpisah, kami pun menyambut
mereka seberinda perasaan. Ikan-ikan bakar kami suguhkan. Anak-anak perawan
menadah titah untuk menyajikan minuman khas ternikmat. Sungguh, benak kami malu
dihinggapi curiga. Sebutir rasa yang pantas dipelihara oleh musuh manusia. Ya.
Hanya setanlah makhluk yang berbangga hati bila menaruh prasangka nista pada
sesama.
Dalam meniti jalan
kehidupan, kaul Eyang Razaq—bernama asli Abdul Razaq— senantiasa kami timbang.
Masih lekat di cuping kami, sepemakan sirih sebelum sesepuh itu mangkat, ia
berpesan untuk selalu memulyakan tamu yang bertandang. Sebengis apa pun, tamu
layak mereguk penghormatan sekaligus kenyamanan. Atas dasar itulah, keyakinan
kami menggumpal. Keyakinan yang memekik lantang bahwa nasib bakal mengunyah
balasan setimpal, jika gerombolan kaum jantan berdada bidang itu kami
mulyakan—sebenar-benar kami mulyakan: entah rejeki berlipat, atau ajal yang
enggan mendarat.
Di pangkal abad XV,
Eropa bukanlah wangsa terdidik dan berkembang. Hanya sok pintar, barang kali.
Bukan berarti, kemajuan peradaban tengah dipanggul negeri kami. Namun, untuk
disebut terpuruk, rasanya jauh dari benar. Alam genap menyediakan semua. Lautan
menyimpan harta karunnya. Hutan memuat kehijauan dan kesuburan tiada tara. Dan,
atas petunjuk nenek moyang, kami leluasa memanfaatkannya. Buah-buahan jadi
penyumpal lapar. Dedauan diracik, dipakai ramuan pengokoh badan. Kekuatan yang
sedang berkibar di dunia saat itu adalah Islam; pada tahun 1453, orang-orang
Turki Utsmani berhasil menekuk lutut Konstantinopel, dan beberapa dasawarsa
kemudian mengembangkannya menjadi pusat navigasi. Di pucuk timur, agama yang
turun di padang gersang itu memuncratkan cahaya gilang-gemilang.
Merenungi
ketertinggalan, Eropa enggan dijuluki si terbelakang. Orang-orang Portugis
membuktikannya dengan mengetam kemajuan di bidang teknologi tertentu, sehingga
mengantar mereka menjadi petualang hebat dalam mengarungi luas samudra. Wawasan
geografi dan astronomi mereka mengagumkan. Dan, patutlah mereka menghunus
banyak terima kasih kepada para sarjana Yahudi yang dengan tekun memetik
khazanah keilmuan dari bangsa Arab dan menyebarkannya di kalangan Kristen
Eropa. Adapun kami, sekadar tertambat, dengan tiada segelintir hasrat pun
mencapai pertumbuhan.
Portugis melahirkan
mualim-mualim handal dan cekatan. Berbekal kelihaian, layar berbentuk segitiga
dan persegi empat mereka padukan. Dengan melakukan pembenahan pada konstruksi,
orang-orang berbola netra biru itu menganggit kapal dengan laju lari luar
biasa. Tentu disertai kemudahan dalam mengoperasikannya. Dunia pun
menghunjamkan pandangan pada Portugis. Betapa negara yang awalnya kurang
dikenal itu tengah menebar daya pikat.
Berbekal sarana yang
memadai, orang-orang Portugis mengantongi kepercayaan diri dalam menjelajahi
samudra. Kini, merekalah yang berhak didaulat sebagai pelaut ulung. Dan, demi
mempertebal kewibawaan, mereka menghiasi kapal dengan meriam. Aih, aih, aih…
selain balai terapung, kapal-kapal tersebut juga dijelmakan selaku benteng
perkasa yang lekas membuat musuh gemetar.
***
Urita kekayaan Malaka
berseliweran. Entah angin jenis apa yang tega membagul urita tersebut ke serata
loka. Raja Portugal mengendusnya. Segera, Diogo Lopes de Sequeira ia
perintahkan untuk menemukan tanah yang dianggap sebagai cipratan dari surga
itu. Layaknya gula, Malaka gemar memancing semut-semut untuk mengerubunginya.
Pada hari entah apa,
sekelompok delegasi asuhan Diogo Lopes de Sequeira berlabuh. Sebagaimana tamu
pertama, kami pun memperlakukan rombongan lelaki yang tampak bersahaja itu
dengan baik. Tanda-tanda kejahatan sama sekali tak tampak dari tampang mereka.
Melihat hal demikian, jalinan persahabatan tunai diulurkan oleh penguasa kami,
Sultan Mahmud Syah.
Selaku rakyat jelata,
malas benar kami mencerna tujuan apa yang sebenarnya terpendam rapat dalam
kepala mereka. Kami hanya menempatkan diri selaku tuan rumah; melindungi agar
hubungan antara pendatang dengan empu rumah enggan berkarat. Tiada lebih.
Itulah mengapa tatkala komunitas niaga Islam Internasional di kota kami
melontarkan peringatan kepada Sultan untuk merawat jarak, kami tercekat.
Terlebih lagi, tatkala berhamburan desas-desus yang mencoba meyakinkan bahwa
tamu-tamu itu merupakan ancaman besar yang wajib ditumpas. Didorong berbagai
pertimbangan, Sultan Mahmud Syah mengoyak posisi Diogo Lopes de Sequeira.
Betapa khawatir ia. Jika lamban mengambil tindakan, kedudukannya sendiri bakal
tumbang. Begitulah hukum alam berbicara. Dan, naga-naganya ungkapan homo homini lupus berlaku bagi sesiapa
yang menghajatkan maupun melanggengkan kekuasaan.
Diogo Lopes de Sequeira
merasa ada yang kurang beres dengan pendirian Sultan Mahmud Syah. Pasalnya, tak
mungkin sultan keras kepala itu oleng lantaran ditampar urusan sepele. Pasti
ada penghasut! Benaknya menggumam. Keheranannya kian membuntang ketika
mengetahui beberapa anak buahnya ditawan, sedangkan nyawa beberapa lainnya melayang.
Harus lahir keputusan cerdik! Lantas dengan sigap, ia meloloskan diri beserta
empat kapal ke laut lepas, usai mencium usaha penyerangan yang dilancarkan oleh
sang Sultan. Atas masukan dari beberapa penasihat, ia memungut sebulir
kesimpulan: guna menundukkan Malaka, perdamaian bukanlah hal yang tepat. Cara
kekerasan barang kali lebih menjanjikan.
Adapun di otak dungu
kami, terselip sebiji pertanyaan: “mengapa tamu agung itu diusir oleh Sultan?”
Pertanyaan yang kian hari kian sumbang, sebab tiada segelintir pun dari kami
menjemput jawaban memuaskan.
***
Berkekuatan sekitar
1.200 orang serta 18 buah kapal, pada tahun 1511, Albuquerque melakukan
pelayaran dari Goa Portugis menuju pelataran kota kami. Demikianlah Malaka,
kawasan yang mencadangkan kesejahteraan dan mendesak manusia terperangah.
Buntungnya, keistimewaan yang dikandung Malaka jangkap mengundang malapetaka.
Benar. Setiba kawanan Albuquerque di pelabuhan, peperangan besar sukar
terhindar. Selama hampir dua bulan, kami memeras darah demi menghadang
kenekatan Albuquerque beserta para begundalnya. Segala senjata kami kerahkan
guna menghindarkan tanah kelahiran kami direnggut orang asing. Apa yang
berhembus dari lidah Sultan merupakan suatu kebaikan. Sehingga terpaksa kami
mendurhakai petuah Eyang Razaq. “Maafkan ketololan kami, Eyang! Sungguh, jika
ini tergolong kesalahan, engkau boleh menuntut, tapi hanya kepada Sultan.”
Diterpa serangan
mendadak, kami kedodoran. Parahnya, kondisi internal di selingkar keluarga
kerajaan turut memperburuk suasana. Terbit pertikaian sengit antara Sultan
Mahmud Syah dengan putranya, Sultan Ahmad. Memang, pikiran kawula muda acap
kali berbenturan keras dengan minda orang tua. Sejenak setelah menerima
limpahan kekuasaan atas negara, ia merombak beberapa kebijakan yang pernah
digariskan sang ayah. Wajah Sultan Mahmud Syah merah bara. Darahnya memanjat
ubun-ubun. Betapa hatinya tercabik-cabik dengan langkah yang digencarkan lelaki
penerus tampuk wewenangnya itu. Celaka! Rivalitas berbau politis tersebut
ditangkap seraya dimanfaatkan oleh pihak Portugis. Setangguh apapun rakyat
Malaka, perpecahan ringan menyodok ke jurang kehancuran. Itulah sebabnya, meski
beberapa meriam kami gelontorkan, nyatanya armada Portugis lebih unggul dalam
mencengkeram keadaan.
Khatamnya, kami menelan
penderitaan; Malaka ditundukkan. Albuquerque masih bergerak dan urung tinggal
diam. Rencana apa pula yang sedang dibangun? Agenda suram apa yang bakal
menyapa nasib kami? Sampai pengujung tahun 1511, pejantan misterius itu
memperkuat barisan di Malaka demi membendung setiap serangan balasan yang
mungkin timbul dari orang-orang Melayu.
Meskipun Malaka berada
di bawah penguasaan, orang-orang Portugis disergap kecemasan. Kecemasan tentang
kecakapan mereka yang sangat terbatas dalam mengatur perdagangan Asia.
Ujung-ujungnya, keperkasaan mereka melumat tanah kami belum menghibahkan
keuntungan yang berarti. Bahkan, Portugis dicecar rimbun masalah. Betapa
kesusahan selalu menghampiri, ketika mereka kurang mampu mencukupi kebutuhan
dan menyandarkan tubuh pada pemasok bahan makanan dari Asia. Kekeringan dana
serta sumber daya manusia merupakan problem utama yang sulit terpecahkan.
Diperkeruh lagi dengan korupsi merajalela; Gubernur-gubernur mereka sendiri
ikut berdagang di pelabuhan Malaya, Johor. Dengan membanting harga barang,
terang saja merusak monopoli yang seyogyanya mereka jaga. Para pedagang Asia
dengan mudah mengalihkan sejumlah alur perdagangan ke pelabuhan-pelabuhan lain
demi menjauhkan diri dari monopoli Portugis.
***
Penaklukan Portugis
terhadap Malaka meletakkan sendi-sendi kerapuhan bagi kejayaan kami di lingkup
Asia. Kota yang kami sanjung-sanjung itu mulai kembang kempis. Administrasi
Portugis yang amburadul menjadikan pelabuhan Malaka megap-megap. Tiada lagi
pelabuhan yang menjadi induk di mana kokohnya perekonomian menjadi kebanggaan,
begitu pula kekayaan Asia ditukargulingkan.
Mengamati apa yang
dilakukan orang-orang Portugis, lekas kami mafhum, bahwa sesungguhnya mereka
telah lama membidik Maluku, daerah yang tersohor dengan “kepulauan rempah”.
Itulah sebabnya, sesudah merebut Malaka, pada tahun 1512, mereka mengirim
Francisco Serrao—selaku delegasi terpercaya Portugis—mengangkut beraneka bahan
pangan serta menebus rempah-rempah.
Lintasan-lintasan
peristiwa menggugah kesadaran. Memergoki beberapa kejadian, nyatalah kami
paham; apa yang pernah bertiup dari bibir Eyang Razaq tidak sepenuhnya dapat
dibenarkan. Mengapa demikian? Sebab, orang-orang jangkung yang mula-mula kami
anggap sebagai tamu itu ternyata berniat melahap habis keuntungan dengan
memborong rempah-rempah sebanyak-banyaknya ke negeri mereka. Dan, dengan
kondisi yang amat lemah, tiada hal yang sanggup kami perbuat, kecuali… kecuali
menuruti keinginan mereka. Sementara, atau bahkan selamanya.
Yogyakarta, 2012
Keterangan:
Cerpen ini diadaptasi dari buah pena Prof. M.C.
Ricklefs, Ph.D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar