Pembunuh Bayaran
memalukan!
membunuh pujangga saja tak berani
serahkan urusan ini
biar tanganku sendiri
yang menghabisi
tapi sebelum berangkat menuju lokasi
bekali aku dengan sebilah puisi
Bojonegoro, 2010
Alasan
bukan maksud kami
mengutil sarung anda, tuan
tapi karena memang
kain lusuh itu sering
anda telantarkan di jemuran
Bojonegoro, 2010
Kakek
mana cucuku
suruh ia kemari
masa dari dulu
main sama kelinci
ini ada teman baru:
seekor puisi yang
ditinggal mati sang ibu
Bojonegoro, 2010
Balsem Kakek
sudah dua hari berpuasa
hari ini ia ingin berbuka
menelan ludah
memendam amarah
memang sungguh menderita
sehabis fajar
ia pelototi tungku besar,
wajan bundar
membayangkan telur dadar
bebutir nasi, secuil ikan
yang kerap dirindukan
sambil menguap, menggelepar
ia olesi perut, sekujur pusar
dengan balsem warisan kakeknya
yang ia simpan di saku celana
lama-lama
ia makin setia
dengan kembung
yang tak mau rampung
setelah diserbu panas
ia pun merasa puas
balsemnya tinggal setengah
tapi tak ada kata menyerah
dengan bersahaja
ia berkata:
“semoga aku bisa jalani
wasiat kakek sebelum mati
: memberikan obat mujarab ini
pada mereka, empunya hati”
Malang, 2010
Saudara
aku ingin bersatu
denganmu
kata ibu,
kita berasal dari satu wadah
yang telah lama dijajah
lihat,
wajah kita sama
hidung agak terbuka
bibir agak ke muka
rambut kita berwarna
tapi anehnya
hati kita berlainan
yang satu kelam
yang lain bersinar terang
itu tak mengapa
yang pasti
kau sudah tahu
bahwa kita: satu ibu
meski semua mengerti
kita punya ayah tiri
Malang, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar