Adonis, penyair Arab kontroversial paska Perang Dunia Kedua (dalam ADONIS, Arkeologi Sejarah-Pemikiran
Arab-Islam, terj. Khoiron Nahdliyin, LKiS, 2012), melontarkan bahwa puisi
melambangkan sarana ideologis: dipakai untuk membela dan memberikan kabar
gembira (madh), atau mengkritik dan
menyerang (hija’).
Berdasarkan pendapat Adonis di atas, tujuan penciptaan puisi adalah dalam
rangka mengajak manusia memeluk kebahagiaan serta menghidangkan teguran
terhadap realitas yang sedang sakit. Dalam pengertian inilah, puisi-puisi
Muhammad Asqalani Eneste (MAE) mendapati eksistensinya.
Selain fungsi alamiahnya: menghibur diri dan lingkungan sembari menanam
benih-benih perubahan, puisi-puisi MAE memanggul kesan bahwa ekstase puisi bisa
direngkuh tanpa mengobral jamak kata. MAE seolah berhasrat memekikkan secara
lantang bahwa dalam merekacipta puisi, penyair tidak harus menghamburkan
kata-kata. Pengorbanan banyak kata, tanpa dibuntuti kekuatan makna, menyebabkan
keberadaan puisi sia-sia belaka.
Dari sinilah timbul kecurigaan bahwa MAE adalah penyair yang berat tangan,
atau bahkan pelit. Pelit dalam arti enggan melepas kata dari sangkarnya.
Berbagai ragam perhitungan ditimbang secara matang sebelum menyelipkan seekor
kata dalam puisinya. Namun, meskipun puisi-puisi MAE termasuk ‘kikir kata’, ia
tetap menjanjikan kemurahan, kenyamanan dan kemewahan bagi penikmatnya. Hal ini
sejalan dengan pepatah Arab klasik: “khairul
kalaami maa qalla wa dalla” (sebaik-baik perkataan ialah yang sedikit tapi
efektif).
Tidak semua hasil maksimal diperoleh dengan mengeluarkan jumlah yang besar.
Penggunaan kata seirit mungkin, nyatanya mampu menyajikan efek kejut luar
biasa. Hal tersebut menjadi salah satu pijakan MAE dalam membesarkan ‘anak
ruhani’nya—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer. Ini dijumpai semisal dalam
puisi Kania I, Kania II, dan Kania III (semuanya membicarakan tentang
Adam), di mana ketiganya terdiri dari dua larik dan kurang dari sepuluh kata.
Berikut disajikan secara utuh ketiga puisi dimaksud. Puisi ‘Kania I’: Adam, aku ingin tetap menjelma
rusukmu…/ hingga waktu jadi debu//. Puisi ‘Kania II’: Adam, mata kelerengmu berputarputar di retinaku/ wajahmu
membelenggu//. Puisi ‘Kania III’:
Adam, berikan aku waktu mencengkram bayangmu/ hingga lelah menemu kantukku//.
Tentu melahirkan puisi yang ‘padat berisi’ demikian bukanlah urusan ringan.
Diperlukan usaha ‘berdarah-darah’ guna memilah kata agar puisi-puisi tersebut
menyimpan ruh. Merugilah seorang penyair yang genap menetaskan puisi, yang
memiliki raga, namun tiada ditopang oleh jiwa!
Selugu apa pun kata, ia tetap tergolong keras kepala, malas diatur, dan
mempunyai karakter tersendiri yang membedakan dengan kata lainnya.
Seringkali penyair dibuat muntab dan putus asa ketika kata
berhasil mengelabui dan mengecohnya. Atas dasar itulah, penyair dituntut
waspada. Mengapa? Kata yang ditempatkan secara serampangan bakal membalas
dendam dengan melukai dan membunuh pelan-pelan puisi yang dihasilkan. Lantas,
pada masanya, puisi itu akan kejang-kejang dan mati mengenaskan. Dengan
demikian, hanya kepada para pengrajinlah (baca: penyair), kata mau bertekuk
lutut. Barang tentu pengrajin yang bukan asal-asalan. Pengrajin yang sudah
‘menjadi’ dan bosan ‘makan garam’.
Mengurai Tema dengan Airmata
Penentuan judul merupakan hak prerogatif penyair dalam upaya mencakup
keseluruhan tema puisi yang dirangkai dalam satu kesatuan. Bukan hal yang mudah
untuk menetapkan judul yang sanggup memuat segala hal (baca: puisi) di
dalamnya. Terkadang, bagi penyair, setelah mengumpulkan ceceran puisi dalam
satu wadah, ia ditikam kesukaran untuk mengambil judul yang pas. Judul yang
mewakili aspirasi unsur-unsurnya. Tak ayal, dibutuhkan rimbun waktu, tenaga,
juga pikiran, demi sekadar mendaulat judul yang relevan.
Kumpulan puisi ini bertajuk ‘Tangisan
Kanal Anakanak Nakal’. Memang di dalamnya, pembaca tidak akan menemukan
puisi dengan judul tersebut. Hal yang tak perlu dianggap ganjil, bahkan
dirisaukan, karena sejumlah penyair juga melakukan hal serupa: melabeli buku
kumpulan puisi mereka dengan titel tertentu—yang berbeda dengan judul-judul
puisinya. Sebut saja Epri Tsaqib dengan buku puisinya ‘Ruang Lengang’ (Penerbit Pustaka Jamil), yang jangkap dua kali
naik cetak.
Kenakalan dalam mengolah imajinasi dan menyajikan pesan merupakan faktor
utama mengapa MAE mencomot judul di atas. Dalam puisi berjumlah 125 ini, MAE
ingin memosisikan diri selaku anak kecil yang gemar melakukan sesuatu seenak
udelnya. Dalam tarafnya sebagai sang kreator puisi, hal tersebut diwujudkan,
baik dalam pengelanaan jagat metafora maupun pengembaraan makna tanpa batas.
Sehingga apapun yang dipendam, bisa diungkapkan sebebas-bebasnya. Layaknya
burung yang terbang tinggi di angkasa.
Selain itu, sesuai dengan sifat anak kecil, merengek dan meronta-ronta
adalah hal yang lumrah. Ketika keinginannya urung dituruti, maka ia akan
menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ya apalagi, yang memeras airmata adalah anak
badung, yang tak hanya menerap sesiapa di sekitarnya menggelengkan kepala, akan
tetapi juga tersungut-sungut di buatnya. Atas dasar itulah, dengan cara
memerankan diri selaku bocah nakal, kepada siapa saja—dalam kondisi
apapun—penyair leluasa meluapkan segala perasaannya. Contoh yang baik
ditunjukkan pada puisi ‘ciuman candu’: /1/ bara bibirMu
membakar kerontang bibirku /2/ air liurMu jatuh ke lidahku. Sebenarnya,
dalam puisi tersebut tiada ungkapan tersirat yang menyampaikan bahwa saking
nikmatnya, aku lirik mengharap agar anugerah yang telah mendarat bisa terus
dihisap. Dalam puisi ini, aku lirik sebagai hamba memohon supaya yang di ajak
bicara (Tuhan) bersedia senantiasa menggelontorkan cinta-Nya. Kemesraan
hubungan antara makhluq (yang
diciptakan) dengan khaliq (yang
menciptakan) diekspresikan dengan kata ‘ciuman’.
Sedang ‘candu’ mengisyaratkan bahwa makhluq—dalam konteks ini aku lirik—merasa ketagihan dengan apa
yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.
‘Trial
and Error’ Puisi
Di antara tantangan berat bagi penyair adalah menjinakkan kata. Oleh sebab
itulah, MAE terdorong untuk mengetahui bagaimana cara menundukkan dan
mengalahkan kata. Pada proses kreatif MAE, hal tersebut salah satunya ditandai
dengan indikasi bermain-main diksi. Semisal pada puisi ‘bagai aku’, di mana di dalamnya terdapat frasa melangkahi batubatu bisu/ dan di celah tubatuba waktu/. ‘Batubatu’ disulih rupa menjadi ‘tubatuba’. Bandingkan dengan puisi Joko
Pinurbo (2006) ‘Ranjang Kecil’: Tubuhmu
tak punya lagi ruang/ ketika relungmu menghembuskan raung//.
Memperhatikan puisi di atas, terdapat gejala ‘trial and error’. Sebuah langkah yang tidak boleh
dihalang-halangi, bahkan oleh kritikus sekalipun. Sebab, kadang kala hal
tersebut menjadi pemantik timbulnya karya agung (masterpiece). Namun jika kurang hati-hati, ulah ‘coba-coba’ itu
justru mengantar puisi ke keranjang sampah.
Hal sama juga menjangkiti puisi ‘Hi-La’:
La latah Jan menelanjangi rupa//, yang diselipi keterangan: Hi-La
= halo jangan, Hi (Inggris) = halo, La (Arab) = jangan, Jan (Minang) = jangan. Dalam puisi tersebut, tersua usaha MAE yang
serius guna menghasilkan puisi agak nyeleneh dengan corak puisi pada umumnya.
Sungguhpun demikian, MAE patut mengantongi apresiasi setinggi-tingginya,
sebab dengan gencarnya upaya ‘trial and
error’ tersebut, ternyata tidak lantas menjadikan MAE meninggalkan gaya
puisinya—seperti puisi-puisi lama—yang mempunyai keteraturan rima. Misalnya,
puisi ‘langkah tertahan’ (Magfiroh Az-Zahra): kita bertengkar sehabis
getar/ lalu kau menggulung tikar/ ingin pulang/ tak tahu jalan pulang//.
Demikianlah, sekelumit pembacaan terhadap puisi-puisi MAE—yang diakui sendiri
sebagai puisi-puisi singkat. Puisi-puisi yang meski giat memerah airmata, namun
tetap membujuk manusia untuk tertawa. Dan, tentunya, masih terbuka ruang yang
begitu luas bagi para pembaca lain untuk merabanya dengan pandangan tajam serta
paparan yang lebih mendalam.
Yogyakarta, 2012
(di bawah cahaya surya yang baru bangun dari dengkurnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar