Di malam yang menggigil
ini, Kawan. Ijabkan kusinggung sebagian mungil amal yang suah kubaktikan. Dua
hari ini saja. Biarlah yaum-yaum sebelumnya berlalu. Tentu yang diobral oleh
makhluk terpuji sepertiku adalah tindak-tanduk paling wajar, non-keren, dan
kurang relevan. Walau bagimu, terang bergengsi.
Sehabis itu, hendak
pula kudata amal-amal buruk yang sempat menimpaku. Alamak. Lamun mafhum,
tetangga dan sanak keluarga niscaya menaruh hasad kala memirsa teraju amalku.
“Wah, berat sekali amal
baikmu, Jufry. Pasti jarang sekali kau bermaksiat!”.
Ah, lumrah. Mereka
kelewat tercengang. Aku memposisikan diri belaka selaku hamba. Itu saja. Tidak
lebih.
Kata orang, berburu
pahala minta ampun muskilnya. Walakin, bagiku, menggelar dosa yang luar biasa
runyam. Kok aneh. Merealisasikan kebajikan itu kan gampang. Lha wong,
aku berkicau begini labelnya juga kebajikan. Ya tho?. Takah-takahnya,
aku mesti sadik bila selama ini nyenyai memergoki diri terjerembab dalam
maksiat. Setan saja kalang kabut bertembung namaku. Dalam diary mereka, aku
terlanjur di-blacklist. Maksudnya, aku ini terbilang orang yang tidak
termaktub dalam hitungan. Aku diluluskan dalam usaha penyesatan. Naga-naganya,
mereka sudah terlampau frustasi menggoda imanku. Pernah sih, sesekali
aku diganggu. Ya, terpaksa kutendang pantatnya. Kutebas tanduknya. Terus
kucekik lehernya. Beres, kan? Barangkali orang-orang dungu itu sesekali perlu
menimba ilmuku. Atau aku yang harus meringankan tangan menularkan tips-tips
sederhana. Itu kan kebajikan pula. Sudah kuwartakan, tak kudu repot menimang-nimang
pahala. Yang penting tersua niat, dan pahala bangat mengalir dengan sendirinya.
Agar lebih gamblang,
langsung saja, hendak kulancarkan seputar telatahku dari rasa takzim pada orang
tua.
Mereka berdua merupakan
manusia yang syarif. Bagaimana tidak. Aku ditumbuh-besarkan dengan jutaan kasih
sayang. Dibelai dengan segenap kelembutan. Segala yang mereka punya diberikan,
supaya aku berkecambah menjadi bocah periang, renggang dari luka dan
penderitaan.
Ibu. Ya, perempuan
berrambut senja itu bersigap mati-matian memuat janinku 9 bulan. Tanpa pamrih.
Tanpa merasa letih. Dan tiadalah dalam lubuknya tersembul keinginan meletakkan
kandungan barang sedetik pun. Ia sama sekali tak suah menuntut balas. Oleh
dasar itu, kuhadiahkan kebaya kesukaannya. Kebaya yang sudah ia lamar dua warsa
lampau, dan—sebab otak yang dihajar lupa—aku enteng saja menundanya. Padahal
untuk memborong kebutuhan yang kurang primer, aku langsung menghunus uang,
tanpa bertafakur panjang. Sebetulnya, aku bukan tergolong dermawan, sih.
Akan tetapi, maklumlah. Dompetku sedang lumayan tebal. Dan hatiku masih mentak
dibujuk kompromi. Kalau bukan tarikh muda seperti ini, tentu aku tak bakal
hirau kepadanya. Ini kan cuma ikhtiarku menangkap surga. Dalam sebiji kitab
tertutur bahwa surga terpendam di bawah telapak kaki ibu. Makanya, sejak dini
aku berusaha sekencang tenaga. Jika tersua kebahagiaan berlebih, niscaya akan
kusisihkan secuil untuknya.
Ayah. Lelaki dewasa
yang mengeban tulang dan berpenat-penat demi merawatku, menghibahkan yang
terbaik untukku, memadatkan ruang kehidupanku dengan seribu senyuman. Ia—yang
sejak fajar terbit hingga mega merah berlabuh—mengejar rizki di kolong terik
sang surya, hanya demi mengantongi sesuap nasi. Ia juga yang kebingungan
tatkala aku merengek meminta jajan, mainan, celana baru, sepeda, serta beberapa
keperluan yang sedianya tak terdaftar dalam benaknya. Ia pula yang siap sedia
meleraiku ketika aku bersitegang dengan Pak Guru. Sungguh. Jasanya begitu
agung. Dan kalau tiada aku ini putranya, tentu enggan aku menghadiahkan sarung
Samarinda. Itu pun kutunaikan, setelah warna sarung tersebut kurang pas dengan
kulitku yang sawo matang. Sedang bagi orang seusia ayah, akan sangat klop
sekali. Ia kan tengah lansia. Jadi, tak mungkin lagi menggubris sekadar warna.
Model baru ataupun lama, asal layak, pastilah dipakai jua.
Mencintai kedua orang
tua merupakan sebulir kemuliaan. Bahkan pernah juga kupingku terbuka:
“barangsiapa memuliakan orang tua, pasti masa hidupnya diperlama”.
Sebagai hamba saleh,
selain menghormati kedua orang tua, rajin juga aku melantunkan Al-Qur’an.
Jadwalku sudah kutata sedemikian rupa. Waktunya cocok sekali bagi orang sibuk
sepertiku. Ya, sebagai direktur perusahaan, aku berusaha—meskipun di sela-sela
kesibukan—untuk senantiasa mengikhlaskan teladan bagi semua karyawan. Saban
kali membaca kitab suci, suara kujinjing keras-keras. Idghom, idzhar,
ikhfa’, kubedakan. Panjang-pendek bacaan benar-benar kuteliti. Arti dan asbab
an-nuzul-nya kukaji. Bukan hanya itu. Guna menggenapkan faedah, terlebih
dulu kugosokkan siwak tiga kali ke batang gigi. Dan rasanya kurang afdol, kalau
kebaikan ini tidak diiringi dengan sholat dluha. So, sebelum bertolak,
sang istri membekaliku dengan sajadah, sarung, kopyah hitam, dan surban.
Berdiri empat rokaat kemudian disusul dengan membaca Al-Qur’an tampaknya ibadah
yang cukup istimewa dan terbilang sempurna. Tak terkecuali minggu ini. Ya, di
minggu yang amat padat ini, aku masih menyenggangkan diri mewujudkannya.
Padahal pekerjaan menumpuk. Bahkan, agenda rapat dan meeting tengah
mengharap antri.
Sore kemarin, pengemis
renta menghampiri gapura griyaku. Ya, benar. Pengemis yang bersuluh bulan di
malam hari itu. Bajunya compang-camping. Badannya ceking. Bola matanya
merintih. Bibirnya seperti telaga kering. Aromanya bangkai. Pikirku: “Ini
merupakan suatu kehormatan”. Kehormatan yang tak dimiliki semua orang.
Mempersembahkan sepotong rasa kasihan kepada kaum papa merupakan hal yang
ditugaskan oleh agama. Dan aku—dengan segenap kerendahan—rela mengorbankan
setetes kehangatan. Seribu rupiah cukuplah buat membungkam. Sesungguhnya, itu
sudah kelewat lebih. Karena di hadapan kaum seperti mereka, seribu rupiah tentu
sangatlah berharga. Ya, kalau menurut kita taraf uang sekian amatlah rendah.
Namun, apakah tingkatan kebutuhan manusia itu sama? Adakah nilai kepuasan juga
kembar? Menurut tilikanku, pengemis yang sedang tangan naik itu sudah lebih
dari puas. Dan bisa dipastikan, kala tangan menengadah, batinnya menerawang:
“Jaman susah begini, kok masih ada ya orang
seperti ini? Wah, seribu rupiah kan terlalu besar. Apa anaknya tidak butuh uang
jajan?”
Wahai, kawan. Maaf
saja. Kalau dari tadi kau lopak-lapik mengikuti ekor kata-kataku. Lain kali,
bila mau merenjeng lidah denganku, terlebih dahulu kaucawiskan KBBI. Kau
mengenalnya, kan? Kamus Bahasa Besar Indonesia itu, lho. Asal kau tahu.
Aku ini jebolan sastra Indonesia di kampus ternama. Berpredikat cumlaude
pula. Jangan bengong gitu, ah. Itu kan cuma satu saja prestasi—yang
menurutku—kurang membanggakan. Masih jamak prestasi lain yang singgah ke
tubuhku. Dan rasanya kurang pantas kusebutkan satu persatu. Seperti peraih
delapan beasiswa luar negeri dalam satu masa. Pemenang lomba mengarang Dewan
Sastra. Juara lomba debat tiga bahasa di Amerika. Dan jika kerap kausimak media
massa. Jangan bosan, apabila mencium bau namaku berulang-ulang. Menulis kan
bagian dari hayatku. Buatku, menulis adalah sarana berdakwah. Pesan moralnya
bisa diserap manusia. Bahkan, sanggup menggerakkan dan membangkitkan jiwa.
Bukan semisal segelintir penulis amatiran yang sedang bertebaran. Sejumput saja
karya mereka nongkrong di koran, e.. sombongnya minta ampun. Niat mereka
terkadang salah kaprah. Ada yang ingin masyhur. Ada yang menguber royalti.
Rimbun pula yang berhasrat mengoleksi pujian. Mboh, wes.
O, ya. Tadi malam aku
bangun jam tiga. Ini memang bawaanku semenjak balig. Aku belum sholat isya’
kalau jarum jam tak genap memeluk angka ganjil itu. Dan selepasnya, aku
menyambungnya dengan sholat tahajjud. Sebagai muslim sejati, qiyam al-lail
kan wajib. Tak banyak-banyaklah. 12 raka’at saja dengan 3 raka’at witir
selepasnya. Sehingga kala fajar menyingsing, aku bisa langsung sholat shubuh.
Dalam ibadah, ini kujuluki dengan konsep 3 in 1.
Itu tuh di
antara fakta kebaikanku selama dua hari ini. Sebenarnya, masih banyak amal lain
yang tersembunyi. Tetapi, tak usahlah kurinci semua. Khawatir terjebak riya’.
Kan bisa hangus itu pahala. Manusia kan mesti waspada. Kalau tidak, ia bakal menanggung silap mata kepala pecah.
Untuk keburukanku, hmmm, apa ya? Aku kok kesulitan mengungkap. Mungkin karena
terbiasa berpolah baik, sih. Makanya seuntilpun tak kuingat. Kalaupun
toh ada, mungkin sebab ketiadasengajaan. Atau keterpaksaan. Atau keterlupaan.
Atau kedaruratan. Atau apa sajalah. Yang penting bukan atas motif kebiasaan
atau kegemaran.
Sebentar, sebentar.
Coba kukendurkan dulu bahuku. Sejenak kusingkap memoriku. Hmm, o, ya. Sekarang
aku ingat. Tepatnya satu jam yang lalu dan berlangsung sampai saat ini. Jika
boleh dikata, aku menggelesot di sini sambil menggembor-gemborkan sepenggal
amal baikku inilah keburukanku. Ya, cuma ini. Itu pun kalau kau bersedia
memutuskannya sebagai setitik keburukan. Berarti aku makhluk suci dong. Gak begitu amat, sih. Aku
takut kalau tiba-tiba rasa sombongku membuntang. Meski setan berberat siku
menggodaku. Namun, masih ada satu musuh lagi yang tengah kuhadapi. Ialah nafsu,
yang doyan menginstruksikan tubuhku berbuat yang bukan-bukan. Untungnya, aku
mudah memahami tipu muslihatnya.
***
Begini saja. Jika kau
menghajatkan bantuan. Atau sekadar curhat tentang sukarnya menjinakkan setan.
Hubungi saja nomorku. Ini. Catat, ya; 085649773437. Oke? Sampai bersua
kembali!.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
Menanggung
silap mata kepala pecah =
sebuah peribahasa, yang berarti kalau kurang awas, binasa diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar