Seribu Hari Kurang Satu
dengan selimut cinta
– kau berikan kasihmu
belaian jiwamu
membuatku serba salah
terlena, tapi tak percaya
suapan sayangmu
tak jarang berlalu
tapi, ku sungguh congkak
tak mau terus terang
"Seribu hari kurang satu"
kau ungkapkan rasa
pelan, lirih
namun pasti
leraikan nestapaku
abukan sengsara
"Seribu hari kurang satu"
kau tiupkan angin damai
semilir, menerjang ombak bengisku
goresan kecil
sayatan tajam
kau simpan dalam risaumu
oh,
sayang, sungguh sayang
matiku sudah didekap
simpan saja rasamu
biarkan tenggelam
memang ini gila
sombongku menggilas cinta
tapi, akan kupatri
kasihmu itu:
"Seribu
hari kurang satu"
Malang, 2008
Sang Pecundang Sejati
singsingkan lengan bajumu
angkat mayat orangtua
yang mati di tengah sawah
mandikan, kuburkan
taburi minyak kesturi
balas deritanya dengan olokmu
jangan biarkan mereka berludah
kalau perlu ludahi mereka
agar kakekmu puas
ayahmu puas
kau pun lega
kalau masih kurang
lempari kotoran ayam
kasih kotoran kerbau
bila ada, tahimu sekalian
biar semua senang
tak ada penyesalan
tak ada kecewa
plester mulut adikmu yang sedang rengek
bangunkan kakak yang asyik pulas
kalau perlu siram kepala mereka
ajak semua ke pelataran
bariskan, rapatkan, bekali senapan
bentuk pasukan berani gila
gila untuk negara
gila demi bangsa
buktikan pada mereka:
kalian adalah pecundang
pecundangi mereka
agar menyerah
tanpa syarat
jangan sampai kalian jadi kendaraan
kalau perlu tunggangi mereka
jadikan mereka kuda
lalu kabarkan pada nisan
para pejuang
dan arwah nenek moyang
supaya mereka ikut senang
ikut riang
agar mereka wariskan:
keikhlasan dan kebersahajaan,
bukan pengkhianatan dan kemunafikan
Bojonegoro, 2008
Hanya Satu Kiblat
shalatmu menghadap ke barat
doamu menghadap ke barat
sujudmu menghadap ke barat
pujamu menghadap ke barat
cintamu menghadap ke barat
nikmatmu menghadap ke barat
senimu menghadap ke barat
moralmu menghadap ke barat
bejatmu menghadap ke barat
nafasmu menghadap ke barat
matimu menghadap ke barat
"ada apa di barat?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar