“Kadang,
saya sampai pada pemikiran bahwa lebih baik dipenjara saja supaya bisa
menghabiskan satu hari untuk membaca buku dengan tenang.”
(Julian Assange, pendiri Wikileaks).
Keterpasungan
Fisik
Penjara merupakan
sebuah sangkar yang menjerat dan membatasi kebebasan manusia. Di sanalah
manusia dilatih agar menjalani kehidupan minim dengan segala fasilitas. Penjara
mengajak penghuninya untuk lebih bersahaja dan hidup ala kadarnya.
Beberapa tokoh nasional
pernah merasakan pengapnya udara penjara. Namun, dengan gerak fisik yang selalu
terbatas, hal tersebut tidak lantas memasung pemikiran mereka. Tengok saja
Soekarno, Hatta dan Tan Malaka—yang menerbitkan gagasan-gagasan besar justru
dari bilik penjara.
Dengan pengawasan
ekstra ketat serta tekanan fisik luar biasa, Mochtar Lubis berusaha bagaimana
agar sanubarinya tetap berkata lantang dan meradang-menerjang. Usai
berpenat-penat menjinakkan waktu dan pikiran, ternyata ia mampu merampungkan
buku Nirbaya: Catatan Harian Mochtar
Lubis dalam Penjara Orde Baru. Nirbaya sendiri adalah nama sebuah penjara
yang terletak di bagian timur Jakarta. Dilukiskan oleh Mochtar, bahwa Nirbaya
berdekatan dengan lokasi Taman Mini Indonesia Indah. Nirbaya kerap menjadi
tempat penahanan sejumlah tokoh penting di masa lampau, termasuk para tahanan
dari peristiwa Gerakan 30 September atau mereka yang dituduh pemerintah Orde
Baru terlibat di dalamnya. Sebelumnya, Mochtar telah menulis Catatan
Subversif sebagai gambaran kondisi penjara yang ia alami pada masa
pemerintahan presiden Indonesia pertama. Naskah ini jauh lebih panjang
dibandingkan dengan naskah catatan penjara pada jaman Orde Baru. Catatan Subversif total berjumlah 402
halaman. Sedang Nirbaya hanya kurang
dari 150 halaman saja. (Mochtar Lubis: 2008).
Penjara:
Awal Sebuah berkah
Sebagian tokoh dunia
mendayagunakan penjara sebagai loka menggayuh tujuan. Sebut saja Boethius,
Sayyid Quthb, Adolf Hitler, serta Antonio Gramsci.
Boethius (475-525),
filsuf klasik sejati, dicemplungkan ke penjara oleh raja Italia, Theodoric,
karena alasan paganisme dan mempraktikkan ilmu hitam. Tidak puas dengan keadaan
kala itu, ia menganggit The Consolation
of Philosophy, di mana ia menolak kebenaran agama Kristen. Ia menuturkan
bagaimana Dewi Philosophia tiba-tiba muncul tepat di depannya di dalam sel guna
“mengarahkannya menuju kebahagiaan yang sesungguhnya”. (Neil Turnbull, terj.
Alfatih Geusan PA, 2005: 85).
Pada bulan November
1954, Sayyid Quthb ditangkap oleh Gamal Abdul Nasser bersamaan dengan
penangkapan besar-besaran pemimpin Ikhwanul Muslimin. Quthb bersama
kawan-kawannya dituduh bersekongkol untuk membunuh Nasser (subversif) dan
melakukan kegiatan agitasi anti pemerintah, sehingga dijatuhi hukuman lima
belas tahun “kerja keras”. Selama bermukim di penjara, ia berhasil merevisi
tiga belas juz pertama Tafsir fii Zhilal
dan menyusun beberapa masterpiece-nya,
termasuk Hadzad Diin dan Al-Mustaqbal Hadzad Diin.
Adolf Hitler
mengantongi kesempatan mengambil jarak dari realitas semasih meringkuk dalam
penjara, sehingga dapat menggariskan visi dan misi politiknya secara lebih
rinci. Hitler mengarang Mein Kampf
(terdiri dari dua jilid. Jilid pertama ditulisnya semasa dipenjara, sedangkan
jilid kedua setelah keluar dari penjara)—yang diamini sebagai kitab suci kaum
Nazi. Penjara merupakan tempat idea bagi Hitler untuk menggodok konsep-konsep
politiknya, mengonsolidasikan pendukungnya, serta menyusun rencana-rencana guna
mencapai ambisinya. Mein Kampf memuat
ide Hitler yang gila. Menurutnya, sejarah merupakan catatan pertarungan ras-ras
manusia. Ia meyakini pandangan Lanz von Liebenfels bahwa ras Arya yang berpusat
di Jerman, akhirnya akan menang dan memimpin seluruh dunia. Dalam buku itu,
Hitler mengutuk bangsa-bangsa yang dianggap sebagai ras rendah—oleh karenanya
layak dimusnahkan. Yang sering disebut adalah bangsa Yahudi dan Slavia. Rencana
ekspansi ke timur—untuk menaklukkan Rusia—juga disebut. Dari sana, ia akan
menguasai dunia dan memerintah atas nama superioritas ras Arya. Ide lain Hitler
yang tidak kalah gila dalam Mein Kampf
adalah Lebensraum (konsep ruang
hidup). Sebagai bangsa yang besar, Jerman memerlukan sejumlah besar wilayah
taklukan. (A. Pambudi: 33-34).
Buah pikiran Antonio
Gramsci dapat dilacak melalui surat-suratnya dari dalam penjara yang berhasil
diselundupkan melalui kegigihan iparnya, Tatiana, dan dibukukan dengan titel Prison Notebooks. Sayang, sulit sekali
memahami karya itu, sebab disusun sangat abstrak dan penuh sandi untuk
menghindari sensor sipir. Gramsci harus mengganti marxisme dengan filsafat
praksis, kelas dengan kelompok sosial
dominan dan bawahan, lalu revolusioner
dengan pangeran modern. Akibatnya,
penelaahan pemikiran Gramsci yang paling gigih pun selalu merasa ragu, apakah
sungguh telah memahami apa yang ia maksudkan. Akan tetapi, setidaknya ada tiga
pokok pikirannya untuk memahami kapitalisme lanjut dan mengaplikasikan
marxisme. Pertama, masyarakat sipil dengan institusinya seperti sekolah, partai
politik, gereja, dan media massa, yang dalam kapitalisme Barat juga
dimanfaatkan sebagai senjata guna menaklukkan masyarakat. Kedua, hegemoni yang
secara genial telah dipraktikkan dan menguasai pikiran masyarakat tanpa
disadari. Ketiga, perang posisi, yaitu kemampuan mengintip untuk melakukan
pukulan balas saat kapitalisme guncang. (Aulia A. Muhammad: 34).
Maka, berbahagialah para
koruptor yang tengah menikmati aroma penjara. Siapa tahu, di tempat itulah
mereka dapat menelurkan karya dan menularkan ilmu kepada generasi selanjutnya.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar