Pagi
itu, setelah embun merayap ke angkasa, cahaya mentari menerobos ke seluruh
pori-pori. Aorta, otot, juga otakku merasakan belaian cahaya itu penuh hangat.
Ciuman mesranya membekas pada keningku yang dingin seusai disapu malam.
Rambutku yang terurai juga disisir penuh sayang. Angin pagi menyentuh ubun-ubun
seraya berbisik bahwa sudah saatnya aku terbangun: menyambung mimpi esok hari,
serta beraktifitas seperti hari-hari kemarin yang sangat membosankan.
Seperti
hari-hari biasa, pada hari minggu yang cerah itu, wajah kumalku mengajak untuk
memelas dan memeras kasih sayang mereka yang berlalu-lalang. Sambil membawa
alat musik yang tersusun dari beberapa tutup botol minuman, aku nyanyikan
sebuah lagu idola para kawula muda. Juga idola pengamen jalanan sepertiku. Lagu
"Walau habis terang", telah membuat orang terperdaya dan tersihir,
sehingga merekapun rela menerogoh saku dan menyumbangkan beberapa rupiah.
Sebenarnya, aku tak hafal benar lirik lagu itu. Toh, tanpa menghafal
seluruhnya, aku sudah bisa berkicau seperti kicauan burung beo yang baru saja
mandi.
Dengan
bermodal suara ala kadarnya, ku tunjukkan bakat yang sebenarnya tak pernah ku
pendam sejak lahir. Ini adalah sebuah keterpaksaan, sekaligus jalan kehidupan
yang harus ku telusuri. Menjadi pengamen jalanan adalah impian terburuk semua
orang. Juga bagi diriku sendiri. Tapi apa boleh buat. Yang penting lambung
masih bisa diajak kompromi.
Maklum,
aku hanya bisa berharap agar orang-orang tak pernah merasa bosan untuk
menyisihkan uang receh. Uang sisa beli koran atau tagihan listrik. Aku sadar,
bahwa di mata mereka aku ini hina, bahkan sangat hina. Akan tetapi aku tak mau,
hanya karena mencuri atau menodong, badanku meringkuk di penjara selama
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Perempatan
jalan raya dan lampu merah ini telah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi teman
terbaikku dalam mengarungi hidup yang serba rumit, sempit, dan pahit. Aku tak
tahu, mungkin inilah garis takdir yang harus ku jalani. Entah sampai kapan.
Yang pasti otakku hanya berpikir kalau tiap hari aku butuh makan. Tanpa
berpikir berganti penampilan atau mengikuti mode, layaknya anak muda sekarang.
Mungkin,
minggu itu adalah hariku yang paling ungu dibanding minggu-minggu yang lain.
Betapa tidak, ketika aku ngamen di depan sebuah mobil berplat merah, ada
sorot mata tajam yang menatapku. Sorot mata yang belum pernah kulihat
sebelumnya. Ya, sepasang mata yang bisa menghayati lagu indahku. Sepasang mata
gadis seusiaku yang duduk disamping sopir mobil itu, yang mungkin juga adalah
ayahnya. Detak jantung yang sebelumnya berjalan normal, tiba-tiba gelagapan. Karena
saking cepatnya, akupun dibuat kerepotan. Keringat dingin menetes dari kedua
pelipis dan membasahi kedua pipiku yang lugu. Bibir tipisku tak bisa
melanjutkan perjuangan. Otakku kehilangan kesadaran. Nyanyianku berhenti
sebelum saatnya. Kedua tanganku terasa diikat dari belakang. Aku tak habis
pikir. Ada apa gerangan? Apa hanya karena tatapan matanya yang begitu silau itu
yang akhirnya membuatku seperti kehilangan kenormalanku.
"ini
mas, makasih ya. Lagunya enak banget."
Dengan
mengulurkan tangannya yang lembut. Juga jemari yang lentik. Ia memberikan uang
seribu rupiah dan senyuman manis, yang sampai saat ini masih membekas pada
dinding hatiku. Senyuman itulah yang membuat gairah hidupku muncul kembali dan
bisa bertahan melawan kerasnya kehidupan kota yang begitu sangar. Tapi,
senyuman itu pula yang menghancurleburkan kehidupanku, hingga relung yang
terdalam.
Sepatah
katapun tak bisa ku ucapkan. Pada waktu yang sama, tangan kananku memaksakan
diri untuk menyambut tangannya. Secepat kilat, uang itu ku sahut. Tanpa
sengaja, tanganku yang lusuh itu menyentuh tangannya yang sangat halus. Terasa
ada getaran dan sengatan yang belum pernah ku rasakan. Akupun tak sadar dengan
apa yang telah ku perbuat.
Setelah
peristiwa itu, setiap hari aku banyak melamun. Hanya karena ingin bertemu
kembali dengan gadis yang membuat hati bergetar. Hingga usiaku yang ke-20 ini,
belum pernah aku merasakan sebuah rasa yang begitu dahsyat. Rasa yang sempat
mengguncang jiwa. Apakah ini yang dinamakan cinta?. Ya, aku yakin itu adalah
cinta. Cinta sejati. Bukan cinta monyet yang pernah aku alami ketika masih
ingusan. Tapi, sering kali otak kiriku juga berpikir dan berontak. Ia tak
setuju kalau pengamen jalanan sepertiku layak mendapatkan cinta. Otakku hanya
memikirkan makan. Enggan memikirkan cinta.
Setiap
hari aku duduk membayangkan gadis itu melintas di depanku. Aku hanya ingin
melihat senyumannya dengan gigi-gigi yang mengeluarkan cahaya. Juga matanya
yang berbinar-binar. Setiap ada mobil yang berplat merah, aku langsung menyambutnya
dengan sebuah lagu. Aku berharap agar gadis impian berada di dalamnya.
Bersanding dengan seorang sopir, yang mungkin juga ayahnya. Sudah berapa ratus
mobil berplat merah yang ku tengok. Tapi tak satupun yang memberi isyarat bahwa
di dalamnya ada gadis berkulit putih dan berwajah bulat telur itu. Sampai pada
akhirnya, hatiku merasa sangat lelah dan putus asa. Padahal, sudah ku siapkan
sebuah surat yang menceritakan keadaanku selama ini. Sudah ku karang kata-kata
yang ditulis oleh anak kelas 6 SD. Maklum, sampai sekarang, aku tak pernah
makan sekolah. Jadi, hanya karena ingin mengungkapkan perasaan, aku memaksa
anak kecil yang rumahnya tak jauh dari tempatku menjajakan suara itu untuk
menuliskan surat. Itupun dengan memberinya uang saku. Sisa setoran pada preman
tua yang setiap pekan harus aku bayar. Surat yang akan membuatnya tertawa
terjungkal-jungkal sekaligus menangis sesenggukan. Surat yang mengungkapkan
cinta pengamen jalanan kepada gadis manja anak pejabat konglomerat. Saking
payahnya, aku robek surat beramplok pink itu. Kurang puas, kedua kakiku ikut
bertindak. Aku injak-injak surat itu layaknya ulat yang menjijikkan. Mulutku
bersumpah serapah. Menyumpahi surat, menyumpahi cinta, juga menyumpahi gadis
manis berrambut lurus.
Keesokan
harinya. Di pagi yang menggigil, langit terlihat masih gelap. Padahal jarum jam
sudah menunjuk arah 8. Ada mobil berplat merah melintas di depanku. Mobil itu
berhenti sejenak, karena harus menunggu lampu berwarna hijau. Aku tak
berreaksi. Malah terdiam. Aku enggan menghampiri mobil berplat merah lagi.
Harapanku telah pupus. Tulisan cinta pada dinding hatiku telah ku hapus. Aku
hanya seorang pengamen jalanan yang tak pantas menerima cinta sejati. Tapi,
alangkah kagetnya, ketika lampu sudah berwarna hijau, seorang gadis dalam mobil
berplat merah melambaikan tangannya padaku. Ya, itu gadis impianku. Gadis yang
pernah memberiku uang seribu rupiah dan senyuman manisnya. Tapi, apa daya bagi
seorang pengamen jalanan sepertiku. Tak ada guna mencintainya. Karena di
sebelahnya, sudah ada pemuda tampan yang membelai halus rambutnya. Dan mencium
hangat keningnya. Ya, aku yakin ia adalah tunangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar