Di
pagi yang berbaju embun. Seperti biasa, Joko menggembalakan kerbau milik Pak
Sukra. Dari kerja itulah, ia, ayah, dan ibunya sanggup meruncit beras.
Maklumlah. Ia mustahil meranggi diri lagi. Apalagi melantamkan harta yang
dipunyai sang ayah.
Joko
tak habis pikir, kenapa wajah takdirnya berbelok seratus delapan puluh derajat.
Dulu, meski anak seorang petani tulen, ia nyenyai nyemplung di ladang. Sebagian
besar warga mengenal Joko selaku pemuda berat tangan dan pemakan keringat orang
tua. Berbeda jauh dengan ayahnya, yang disebut-sebut sebagai petani pekerja
keras.
Situasi
berubah sejak Diran merasai lumpuh berat. Sebagai anak pertama, Joko terdesak
mengurus sawah ayahnya. Karena tiada terbiasa menggarap sawah, ia memburuhkan
orang lain.
Berulang
kali lelaki berusia 59 tahun itu berobat, tetapi sembuh tak kunjung terbit.
Tersebar desas-desus, Diran lumpuh sehabis memamah singkong bakar pemberian
Sumantri, tetangga RT. 12, yang hasad dengan kesuksesannya. Penyakit kutukan
itu membuahkan Diran melego berhektar-hektar sawahnya, yang bertahun-tahun
menjadi tumpuan hidup. Usai berobat ke sana kemari, penyakit bukannya kabur,
justru mengendap dan mengantarkan tubuhnya semakin lemah.
***
Matahari
bangkit dari tidur panjang. Saritun, anak tunggal Paijan, bergegas keluar rumah
guna memasok sarapan ayahnya di ladang. Telinganya tersenyum dan
mengangguk-angguk perlahan tatkala menyimak tiupan seruling Joko yang terlalu
merdu dan membius. Dan ia akan menghadiahkan senyum tipis selagi bersemuka
dengan Joko di pematang sawah.
Trisna
jalaran saka kulina. Begitulah
cara menggambarkan apa yang dilakoni oleh Joko dan Saritun. Saking jamaknya
bertembung, dua remaja ini terjebak dalam jaring asmara.
Tiap
kali mengirim nasi ke sawah, Saritun selalu menyelipkan nasi bersarung daun
pisang. Tentu, nasi itu akan dimakannya bersama sang pujaan hati. Nasi hangat
disertai lauk tempe, lima iris mentimun, dan sambal terasi merupakan menu
istimewa tiada duanya. Joko bakal tertentang begitu lahap saat menyikat masakan
sir-sirannya. Melihat kedua remaja yang seia sekata, si kerbau, gembalaan Joko,
turut merasakan kehangatan cinta mereka.
***
Suatu
petang bersanggul dingin, Bambang mengangkat kaki ke griya Saritun. Ia ingin
membuktikan sendiri kecantikan Saritun, yang selama ini hanya ia dengar dari
Lubiz, sahabat sekaligus keponakannya. Dengan berbekal sedan mengkilap, rambut
licin, sepatu kinclong, jas hitam dengan kancing logam yang dibeli dari Eropa,
serta beberapa bingkisan, ia hendak menampakkan siapa dirinya sebenarnya.
Setiap
kali Bambang beranjangsana, Saritun berberat hati menemui. Meski bermuka tampan
dan berdompet tebal, tiadalah ia perempuan yang mudah bertukar bulu. Hatinya
masih tertambat pada Joko. Entah apa yang membuatnya terlampau mencintai lelaki
miskin, berburuk rupa pula. Namun, lagi-lagi ayahnya yang berkepala batu selalu
memaksa untuk sekadar menghidangkan sedikit basa-basi. Hal demikian terjadi
bertukas-tukas, hingga akhirnya menerap gadis berlesung pipit tersebut menadah
pinangan Bambang.
Paijan
amat girang mendapati keputusan anaknya. Ia tahu benar latar kehidupan Bambang.
Lulusan kampus luar negeri. Direktur perusahaan besar di Surabaya. Dan ayahnya
termasuk saudagar kaya yang cukup disegani. Menjabat sebagai mertua, tentu
lekas menjadikannya dipandang berat di masyarakat. Orang-orang tidak mungkin
lagi mencercanya sebagai juragan tikus, karena seringnya mengejar tikus yang
berlalulalang di sawah. Tiada pula ia perlu menambah utang pupuk pada Kang
Sukri. Perkara hati Saritun yang sama sekali tak terjerat pada lelaki berjanggut
tebal itu bukan jadi soal. Asal rimbun uang, pasti kelak putrinya akan segera
menurut kepada suami.
***
Kabar
buruk itu mendarat di tubuh Joko. Selasa depan adalah hari di mana Saritun naik
ke pelaminan. Joko mulai merakit rencana. Baginya, lebih baik mati membusuk
daripada menanggung malu seumur hidup. Ia acap membayangkan, bagaimana jadinya
bila Saritun berhasil dinikahi teman semasa kecilnya di SD Pembangunan itu.
Sungguh, seluruh waktunya akan dihabiskan untuk meladeni ejekan dari tetangga: “Benar saja, Saritun pasti lebih senang
hidup dengan Bambang daripada menderita dengan teman kebo”.
Tertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri. Peribahasa itulah yang pantas kita todongkan pada Joko. Tega nian.
Ia membujuk Sumi, tetangga Saritun, untuk memetik minimal tiga helai rambut
Saritun. Usahanya pun berbayar. Guna melancarkan kelicikan, terlebih dahulu
Joko menyelipkan beberapa lembar uang ribuan ke kantong Sumi.
“Awas, jangan sampai ketahuan orang lain. Kalau
kesulitan menemukan rambutnya, coba kamu lihat sisirnya. Pastikan. Jika ada
rambut yang menempel, ambil saja.”
Pesan
itu disampaikan Joko ketika Sumi hendak mengayunkan kaki ke rumah Saritun.
***
Barangkali
nasib Joko sedang tercabut di kartu mati. Bukan Saritun yang terkena jampi-jampi.
Melainkan ibunya, Paniem. Tiap tengah malam hingga fajar menyingsing, perempuan
paruh baya itu meruah nama Joko. Ditambah lagi dengan tangannya yang
mencakar-cakar baju dan segala benda di sekitar. Paijan membentur-benturkan
kepala ke tembok. Ia sungguh berang dan melacak alasan mengapa pedusinya
tiba-tiba tergila-gila pada pemuda melarat.
Desa
Kedungkandang gempar. Orang-orang yang bermukim di sana harus menudungi kuping,
jika mereka ingin sekadar istirahat atau memejamkan mata. Jeritan Paniem yang
memanggil-manggil nama Joko menyeruak. Para jabang bayi pun rela mengantri
menangis, sebab terganggu dengan suara melengking dari rumah Paijan.
Joko
bingung bukan kepalang. Belum kesampaian maksud, ia sudah didera bencana. Ya,
bencana yang singgah dari ulahnya. Ternyata tujuh helai rambut yang dikutil
Sumi adalah rambut Paniem yang memakai sisir anaknya selesai keramas. Ia
membodoh-bodohkan Sumi dan dirinya sendiri. Kenapa bukan rambut Saritun saja
yang menjadi sasaran, tetapi sisirnya. Namun, apalah daya. Nasi terlanjur
menjelma bubur. Ia mulai khawatir. Bisa jadi, ia bukan hanya beradu kening
dengan Paijan, bahkan semua warga.
Kekhawatiran
Joko terjawab. Para warga mengamuk. Dari tindak-tanduk Paniem, menunjukkan
bahwa dirinya terhantam jampi-jampi. Tudingan warga mengarah ke arah Joko,
sebab cuma namanya yang dipanggil saban malam.
Ups, kisah kita
belumlah mogok sampai sini. Setelah bermufakat di balai desa, warga sepakat
untuk mengusir pemuda pembawa malapetaka itu, supaya angka musibah tak
bertambah. Dengan menundukkan pandangan dan menyembunyikan rupa, ia pun
meninggalkan kampung halaman menuju hutan Rumbuk Kidul yang terkenal
seram.
Joko
mengajun bersarang di hutan dengan menabung seribu dendam. Dendam kepada
Saritun yang sampai hati menumbalkan cinta mereka. Dendam kepada Bambang yang
telah merampas alur kebahagiaan yang baru saja direnggut. Dendam dengan Paijan
dan semua warga yang tega menundungnya dari rumah.
Gigil
malam, tamparan angin, auman macan, pekik burung hantu, desis ular, menjadi
santapannya. Demi membungkam lambung, ia melumat dedaunan dan buah-buahan yang
tersua di hutan. Sesekali ia juga berburu kijang. Kalau sedang bosan, perutnya
pun bersedia menampung daging tikus dan ular.
Ketika
sibuk membopong kayu, ia melihat sesosok renta duduk bersila di bawah pohon
besar. Joko mendekat. Sekedip kemudian, ia tertegun. Jantungnya berhenti
berdegup. Ternyata si kakek melungguh di hamparan udara. Dalam benaknya, baru
ini kali ia menyaksikan manusia sakti. Tanpa diminta, si kakek bersoal:
“Ada apa anak muda? Kenapa kau ada di sini?”
Suara
serak menyentak ke ubun-ubun Joko.
“Saya kualat, Mbah. Ini karma yang harus saya
tanggung.”
“Tidak. Aku yang akan membalaskan dendammu.”
Tiba-tiba
kakek berjenggot putih dan bertongkat itu memotong kalam Joko. Seolah ia telah
mengetahui hal-ihwal yang dialami Joko.
***
Malam pekat. Awan menggumpal. Angin liar
berhamburan. Dari arah hutan Rumbuk Kidul, menyembul tikus-tikus raksasa.
Tikus-tikus berkulit kasar, berbulu lebat, berkuku lancip dan bertaring tajam
menyerbu desa Kedungkandang. Ribuan tikus mengusut
mangsa. Mereka bukan tikus yang kerap mengganggu sawah Paijan, melainkan tikus
jadi-jadian.
Para
jejantan meluncurkan senjata. Pisau, sabit, celurit, parang, pedang. Segala
sesuatu yang tersusun dari besi atau baja dihembuskan. Tikus-tikus dibabat,
dicincang, ditusuk, dibacok. Tetapi sungguh aneh. Ketika berhasil mengenai
sedikit saja tubuh mereka, tikus-tikus itu langsung terbelah dan melahirkan dua
tikus kembar yang lebih besar. Sehingga jumlah tikus tidak menyurut, malah
semakin membludak.
Semua
orang kelabakan. Tikus-tikus menyerang warga tanpa ampun. Ada yang tangannya
putus. Ada yang lehernya terluka parah. Ada yang jemarinya hilang. Ada yang
bola matanya menggelinding ke tanah. Tak terkecuali dengan sepasang pengantin
baru, Bambang dan Saritun, yang tengah bersembunyi di hangatnya selimut. Seekor
tikus mengganyang pantat bambang, dan seketika darah memuncrat. Sedangkan
Saritun tampak tenang. Saat pahanya dikerutak tikus seukuran kambing, bibirnya
melenguh: “Kau tikus kiriman Joko,
bukan?”.
Yogyakarta,
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar