Ia berpunca dari udik.
Teman-temannya meruahnya Ratu Udik. Karena memang perangainya yang
kekampung-kampungan. Tampang dan tingkahnya yang lugu, tak sanggup
menyembunyikan tabiat orang desa. Ditambah lagi dengan kebutaannya dalam hal
teknologi. Sehingga, suara-suara sumbang kerap ditenggak. Joni dan Fiko, adalah
dua di antara mereka yang mencibirnya terang-terangan. Pasalnya, semua tugas ia
tunaikan dengan menulisnya di atas kertas folio. Tak terkecuali, tugas
berbentuk paper ataupun makalah.
Ratu Udik termasuk
korban. Ya, tepatnya korban ketidaktahuan. Karena ketidaktahuannya, ia
mengambil jurusan sastra. Sebuah jurusan, yang dalam benaknya, kelak
mengirimnya menjadi seorang guru.
“Nduk. Besok kamu jadi
guru, ya. Dulu emak ngebet jadi guru, tapi gak bisa. Enam hari setelah lulus
SD, bapak langsung melamar emak”.
Pesan emaknya terpacak
dalam-dalam. Sehingga ia berazam menjadi pengajar sekolah di kampungnya.
Kekecewaan menyergap.
Ketika menginjak semester dua, Ratu Udik baru mafhum bahwa sebenarnya, bila
bercita-cita guru, maka kudu bersila pada jurusan pendidikan. Bukan sastra
Indonesia. Makanya, ia agak heran, mengapa di jadwal kuliah, sama sekali tidak
tercium mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan. Dan dugaannya selama
ini, bahwa setiap sarjana bisa langsung jadi guru dan mengajar di sekolah,
harus lekas-lekas disingkirkan. (Barangkali persangkaannya benar, menurut
konteks masa lalu. Lulus SMP saja, boleh jadi guru. Namun sekarang, sarjana
pendidikan kian membludak. Mereka saja terancam tidak mendapat jatah kursi
guru, apalagi jebolan non-pendidikan).
Nasi terlanjur menjelma
bubur. Penyesalan harus dihapuskan. Penyesalan yang berlarat-larat hanya akan
menerbitkan penderitaan. Akhirnya, Ratu Udik nekat menyambung jalan yang kadung
ia tempuh.
“Maaf, Mak. Bukan
bermaksud mendurhakaimu. Aku akan menapaki jalan yang terlanjur kupilih.
Sesulit apapun”
Bertukas-tukas batinnya
bergumam.
***
Berawal dari tugas Pak
Janu, dosen Pengantar Ilmu Sastra, ia berkenalan dengan puisi. Kenal dalam arti
sesungguhnya. (Karena semasih belajar di SD, jika bertemu dengan halaman yang
memuat puisi, Bu Nanik langsung melewatinya). Guna menggenapi tugas Pak Dosen,
Ratu Udik menggarap puisi cinta. Ya, cinta. Tema yang sangat dekat dan akrab
dengan remaja.
Dari tugas itu pula, ia
mulai bergaul dengan dunia maya. Tulisan tangannya tentu tak akan berfaidah.
Sebab, Pak Dosen bersedia menerima kalau puisi dioper melalui email.
“Rob, nanti habis
kuliah tolong ajari aku ngirim email, ya!”
Katup bibirnya
menghembuskan kalam itu kepada Robet. Untungnya, mahasiswa yang baru dua hari
bertukar nama dengannya itu mengekor saja.
***
Bukanlah Ratu Udik anak
orang berpunya serupa teman-temannya yang lain. Jamak kali ia mengutang kepada
Dewi, kalau kiriman dari emak ludes. Parahnya lagi, jika tempo pemberesan uang
semester tiba. Demi sekadar memungut uang, ia rela mengasongkan kerudung dan
asesoris milik Bu Atin. Juga menunggu kios pulsa di sebelah kos.
Dalam kegetiran hidup
seperti itu, ia mencari tempat buat membocorkan perasaan. Dan ternyata puisi
menjadi medium terbaik baginya. Saat mandi. Belajar. Melungguh di WC. Makan.
Mau tidur. Bahkan ketika ngelindur pun semua syarat puisi. Tak ketinggalan pula
ketika dosen berceramah.
“Daripada ngantuk, kan
lebih baik bikin puisi”
Alasan yang kurang jitu,
memang. Ketika kupingnya menangkap teguran dari dosen.
Hari-harinya, selain
mengerjakan tugas kuliah, juga dipadati dengan memproduksi puisi. Dengan puisi,
ia jelmakan rasa kesal pada Danu, yang kerap menyematkan permen karet di
bajunya. Mendeskripsikan sebagian dosen yang minta ampun killer-nya.
Juga kegalauannya tatkala menyambut tarikh penertiban utang.
Setelah puisi berhasil
ditelurkan, Ratu Udik menjemurnya di
kamar kos. Makanya tak heran, bila ia selalu mengunci pintu kamar. Sebab, bila
ibu kos memergoki dindingnya dijejali kertas, maka marahnya bisa tiga hari tiga
malam.
Kebiasannya itu
menggelinding sampai sekitar delapan bulan. Kemudian, atas saran Mbak Jeni,
redaktur media kampus, ia mulai berani mempublikasikan karya. Berbekal
pengetahuan mengirim email dari Robet, Ratu Udik menerbangkan
puisi-puisinya ke beberapa media massa. Bahkan, tiap minggu, sembilan sampai
sepuluh media massa diserang. Tentunya dengan puisi-puisi yang berbeda.
Jadwal mengirim karya
ke media massa jatuh pada hari Jum’at. Oleh dasar itulah, maka Kamisnya ia
wajib berpuasa, agar bisa menyisihkan uang untuk online di internet.
***
Meski belum satu pun
puisinya tersangkut, harapannya sukar tumbang. Perjuangan terus berlanjut. Dan
ketika mengetahui bahwa para redaktur koran lebih terpikat dengan karya-karya
orang lain, ia tak ambil pusing. Dalam pandangannya, menulis puisi dan
mempublikasikannya merupakan keniscayaan. Sedangkan dimuatnya puisi di media massa
adalah keberuntungan.
Karena acapnya
bertarung dengan media massa, akhirnya pada pertengahan semester empat,
beberapa puisinya termaktub di segelintir koran.
“Puisimu ada di Jabung
Post, Mbak”
Leni, adik semesternya,
menenteng koran dan menunjukkannya kepada Ratu Udik.
Alamak.
Meski baru termuat di koran daerah, ia
begitu bungah. Hatinya melonjak. Semangatnya bercabang-cabang. Rasa cintanya
terhadap puisi kian menebal. Bahkan, sugesti yang baru terbangun yaitu apabila
ia berbuat baik kepada puisi, maka puisi bakal membalas kebaikannya.
Atas dasar itulah, ia
berhasrat mengangkat puisi sebagai sahabat.
***
“Qobiltu nikaahaha wa
tazwijaha bi almahri almadzkuur”
Pernikahan kedua
mempelai berjalan lancar. Selain mahar berupa cincin emas dan uang 6.000.000
rupiah, Robet juga mempersembahkan selembar kertas yang bertuliskan puisi.
Ratih menatap lama dan mengeja puisi tersebut. Ia terhenyak lantas tertegun,
sebab puisi itu sangat mirip, bahkan kembar, dengan puisi yang diciptanya tujuh
tahun silam. Usut punya usut, ternyata Robet mengarsip karya pertama mantan
Ratu Udik itu. Ia berkisah, bahwa sebelum melayangkan email ke alamat
Pak Janu, terlebih dahulu ia menyimpannya ke dalam flashdisk. Ia
menggembala puisi Ratih sebagaimana ia menggembala perasaannya. Dalam ingatan,
masih terrekam jelas bagaimana ia harus bersitegang dengan satpam. Ia hampir
diusir. Sebab, saban malam pembacaan puisinya kerap membangunkan pak RT.
Sebulan seusai mengikat
janji dengan Robet, Ratih dipercaya menjadi dosen sebuah kampus ternama di
Malang. Sesungguhnya, kualifikasi akademiknya kurang memenuhi syarat. Akan
tetapi, karena kredibilitasnya sebagai penyair sudah diakui. Terlebih,
kualitasnya dalam berkarya begitu mumpuni. Maka ia pun dipinang sebagai tenaga
pendidik di kampus. Ia diminta mengampu beberapa mata kuliah. Walakin,
kepalanya menggeleng. Demi memelihara kualitas karya, ia hanya bersedia
menggepit mata kuliah Sastra Indonesia.
Karena track-record-nya
bagus, berulang kali Pak Rektor hendak mengangkatnya sebagai dekan fakultas
sastra sekaligus mengantongi SK PNS. Namun, perempuan berjanggut pedang itu
menangkis. Baginya, hal tersebut bakal memangkas waktunya dalam berkarya.
***
Hari berebut senja.
Aroma obat-obatan berseliweran memadati ruangan.
Di sebelah kanannya,
berdiri sang buah hati, suami, bapak, dan emak. Sedang di sebelah kiri ada
sejumlah sanak famili dan tetangga.
Dari ke sekian
pengunjung, Robet tampak paling tegang. Gerahamnya mengait. Betisnya menggigil.
Dan pandangannya menerawang. Dalam situasi darurat seperti itu, ia agak
menyesal, kenapa dulu Ratih menolak tawaran Pak Rektor. Jika bersedia, pastilah
gajinya akan membantu meringankan biaya operasi. Biaya yang sukar ditanggung
oleh lelaki yang cuma guru swasta. Mana penjualan bukunya seret. Siapa pula yang
sudi membeli buku puisi, selain kalangan sastrawan sendiri. Belum lagi,
puisi-puisi Ratih kian nyenyai nangkring di koran. Tak semisal masa emasnya
dulu. Sebulan bisa nongkrong tujuh kali. Ya, maklumlah. Para redaktur mulai
melirik penulis muda, yang jumlahnya seabrek. Dan pastilah mereka juga
memerlukan eksistensi dan pengakuan.
Tujuh orang dokter
bersiap-siap mengoperasi penyakit Ratih. Kanker yang hinggap di payudaranya
selama setahun terakhir itu sudah saatnya dihabisi. Berada di atas ranjang,
wajah Ratih amat tenang. Sepi dari kegelisahan. Giginya juga terbentang,
menandakan tak ada secuilpun kesedihan. Padahal semua orang yang bersua di
selingkarnya cukuplah cemas.
Sejurus kemudian,
sebiji pena berkelebat dalam pikirannya. Ya, pena. Hanya pena. Bukan nasibnya
yang gawat dan tinggal menunggu keajaiban. Pena yang diperoleh dari penyair
besar Yogyakarta itu berloncatan dalam otak Ratih.
“Mas, tolong ambilkan
pena keperekan yang ada di lemari”.
Ahai. Siapa yang
mengira bahwa dalam kondisi genting demikian, Ratih malah ingin bermain imajinasi. Siapa juga yang menduga kalau pena
lusuh itu hendak dipakai memahat puisi. Padahal, dokter menyarankan untuk
beristirahat total. Apalagi, karena sebentar lagi dioperasi, maka segala
aktifitas, baik yang berhubungan dengan fisik maupun pikiran, harus dikucilkan.
Awalnya, Robet
melarang. Ia amat kawatir dengan keadaan istrinya. Akan tetapi, karena
keinginan Ratih urung dibendung, maka dibiarkan istrinya itu melancarkan
hobinya; Mendekap dan memeluk erat sahabat. Ya, puisi adalah sahabat yang
begitu lekat dan dekat dengan kehidupannya.
Jemari kanannya
menari-nari di atas kertas. Tujuh bait dihasilkan. Sampai sini, tak ada sesuatu
yang mencengangkan. Tiada hal yang istimewa. Semua berjalan biasa saja. Namun,
selepas pena bergerak-gerak sepuluh menit. Tiba-tiba alat tulis itu
menyembulkan cahaya. Merah. Ah, bukan. Sahihnya merah bercampur kuning. Semua
mata terpaku. Segala yang hadir terpukau. Kepala mereka geleng-geleng,
mengisyaratkan keheranan. Bagai amuba, cahaya tersebut terbelah, berganda, dan
melahirkan rona lain; Biru, hijau, dan ungu. Usai menampilkan keindahan yang
tiada tara, cahaya itu lekas menjalar ke tulang Ratih. Sehingga muka dan serata
tubuhnya menjadi terang seperti neon yang baru saja dinyalakan.
Dan, wow.
Mengetahui kondisi terbarunya, Pak Heru, kepala tim operasi, mengatakan bahwa
operasi dibatalkan. Penyakit Ratih lenyap entah ke mana.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
Qobiltu nikaahaha wa tazwijaha bi
almahri almadzkuur = Akad
yang diucapkan oleh pihak suami ketika menikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar