Dalam hikayat perjalanan manusia, surat tidak hanya diyakini sebagai secarik kertas dengan luapan tinta di atasnya. Surat merupakan hasil pemikiran sekaligus ikhtiar dalam rangka menggayuh tujuan. Surat merupakan hasil pemikiran sekaligus ikhtiar dalam rangka mengayuh kerja hingga tujuan. Di dalamnya juga bergumul berbagai isi hati atau perasaan hingga ekspresi spiritual.
Surat bahkan sebenarnya salah satu cara vital manusia untuk mengadabkan dirinya, setidaknya secara literer. Bagi sebagian kalangan, surat bias menjadi arsenal dalam melakukan negosiasi dan diplomasi, bahkan solusi. Bagi kalangan lain, surat menjadi media terefektif mengekspresikan keseluruhan jati diri.
Sepucuk surat pernah dilayangkan Dante Alighieri (1265-1321) kepada para Kardinal yang tengah menggelar Conclave (sidang para Kardinal untuk memilih Paus baru), setelah Paus Clemens V wafat tahun 1314. Dalam surat itu, Dante melempar usul kepada para Kardinal agar Paus baru dipilih di antara calon dari Italia. Tindakan ini sungguh berani dan dinilai kurang sopan oleh Gereja, mengingat seorang “awam” ikut campur dalam pemilihan Paus—yang menjadi hak prerogratif para Kardinal.
Gereja melanting tindakan keras dengan menangkap serta mengasingkan Dante ke Ravenna. Pengasingan ini ternyata mendatangkan berkah bagi Dante, sebab ia punya segudang waktu guna mengucurkan perhatian pada bidang tulis menulis. Hasilnya adalah buku yang bertajuk Comedia (oleh penerbit pada tahun 1555, disulih menjadi Divina Comedia), yang dinilai sebagai karya terbesarnya.
Dari masa al-Hallaj, beberapa kelompok sufi mulai mengombinasikan disiplin-disiplin praktis dengan ide-ide yang dipungut dari Neoplatonisme. Dengan tersebarnya surat-surat dari Ikhwan as-Safa (Epistles of the Pure Brethren), tendensi filosofis ini menguat selama dua abad hingga masa al-Ghozali dan melahirkan satu aliran filsafat Neoplatonis muslim, yang menegaskan bentuknya di tangan Ibnu Arabi (1240 M). (A. Zainul Hamdi, 2004: 29).
Biarawan muda dari Jerman bernama Martin Luther (1483-1546) pernah membuat geger kalangan Gereja. Ia diwartakan memaku surat berisi pernyataan sikapnya pada pintu masuk gereja biara kota Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517.
Selama hidupnya, Rene Descartes (1596-1650) sadar akan banyaknya kritik yang ia tampung. Ia gemar menulis surat kepada orang-orang berpengaruh yang selalu mengacunya dalam diskusi. Pun ia biasa menerima surat dari mereka termasuk dari Putri Elizabeth (Linda Smith & William Raeper, 2000: 31).
Surat dan Nuklir
Buah pikiran Antonio Gramsci (1891-1937) dapat dilacak melalui surat-suratnya dari dalam penjara yang berhasil diselundupkan melalui kegigihan iparnya, Tatiana, dan direnovasi menjadi buku bertitel Prison Notebooks. Atas peran surat-surat Gramsci, karya monumental tersebut didaulat menjadi refrensi utama yang mendermakan inspirasi tak henti bagi para pemikir sesudahnya.
Pada abad ke delapan belas, merebak Novel Epistolari. Ditulis sebagai seri yang umumnya berupa surat (epistolary berakar dari bahasa Latin epistola yang bermakna surat). Format epistolari mampu menambah unsur 'nyata' pada cerita, karena merepresentasikan kejadian-kejadian dari kehidupan nyata itu sendiri.
Dalam surat pribadinya bertarikh 27 Oktober 1962, Fidel Castro mendesak Khrushchev untuk meluncurkan serangan nuklir pertama terhadap Amerika Serikat jika Kuba diserang. Kemudian komandan lapangan Sovyet di Kuba melegalkan penggunaan senjata nuklir taktis jika mengunyah serangan Amerika Serikat. Khrushchev setuju untuk melenyapkan missil bila Amerika Serikat menggenggam komitmen untuk tidak menyerang Kuba.
Surat dipilih sebagai media Presiden Iran Mahmoud Ahamadinejad guna melansir pengumuman bahwa peraturan yang mencegah wanita menyaksikan olahraga—dengan pria sebagai pemainnya—akan segera dihapuskan. Surat yang ditujukan kepada wakil presidennya tersebut disambut dengan antusias oleh para feminis dan reformis Iran. Meski, beberapa ulama semisal: Ayatollah Mesbah Yazdi, Ayatollah Agung Nouri Hamedani, Ayatollah Agung Naser Makarem Shirazi, Ayatollah Agung Saifi Golpaygani, Ayatollah Agung Fazel Lankarani, dan Ayatollah Agung Mirza Javad Tabrizi merasa keberatan dan meminta supaya dibatalkan (Robert E.Quick, dkk, terj. Abdul Qodir Shaleh, 2007:92-93).
Di Indonesia, surat diterka berperan dalam menghapus kekarut-marutan yang bergolak. Itulah mengapa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dirumuskan dengan tujuan memberikan kewenangan luar biasa kepada pemegangnya untuk mengambil tindakan apa saja yang dianggap perlu demi menyelematkan bangsa, negara, UUD 45, dan Pancasila. Celakanya, surat itu disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaan Bung Karno dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 S PKI.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar