Setelah empat warsa
bergelut dengan wacana, akhirnya ia berhasil tamat dengan nilai tinggi. Bahkan
terhitung mahasiswa berprestasi. Sewaktu diwisuda, ia mengantongi beberapa
piagam penghargaan dari rektor. Sinar kebahagiaan terpancar pada senyumnya. Pun
dengan bapak dan emaknya.
Tanpa bertafakur
panjang, Hartono memutuskan untuk mudik ke desa Sumberrejo. Sebuah loka di mana
ia dibesarkan. Daerah alit, yang dalam benaknya, menghajatkan seorang
cendekiawan semisal dirinya. Ia berat siku bermukim di kota, yang semakin padat
dengan orang-orang pintar.
“Aku akan membangun
desa”
Desis itulah yang
menguap bertukas-tukas dari dua katup bibirnya.
Beberapa bulan di
rumah, ia nyenyai keluar. Hanya ongkang-ongkang kaki dan sesekali pergi ke
ladang. Ijazahnya masih tergolek di lemari. Ia memupuk keyakinan, bahwa sececah
lagi akan ada kepala sekolah yang bertandang ke rumah dan melamarnya sebagai
guru.
“Har, apa kamu gak
pengen kerja?”
Emaknya bersoal ketika
ia asyik menonton sepak bola di televisi.
“Ah, tenanglah, Bu.
Nyantai saja, sebentar lagi Hartono akan dicari-cari orang. Tak usahlah
cari-cari pekerjaan. Lha wong mereka yang butuh.”
***
Menunggu merupakan hal
menjenuhkan. Dan anehnya, bekas mahasiswa yang aktif berorganisasi itu ikhlas
menanti pekerjaan dengan sengaja menganggur. Sampai-sampai, ketika program
pembuatan KTP menyembul, ia malah absen. Hartono khawatir bilamana dalam kartu
identitas, pencahariannya ditulis ‘wiraswasta’. Hal demikian belumlah seberapa.
Lebih parahnya—karena ia memang benar-benar belum kerja—jika terpahat kata-kata
‘penganggur’ atau ‘mencari kerja’.
Ia dirundung stres.
Pasalnya, para tetangga mengendus fakta; Hartono, seorang sarjana yang
menganggur. Terang saja, mereka menggunjingnya habis-habisan.
“Tuh, lihat anaknya
Sukiman! Habis kuliah malah nganggur. Padahal, buat biayanya, Sukiman jual dua
sapi dan sawah sebahu”.
Bu Mijah menggagas
percakapan.
“Iya, ya. Apa ia gak
kasihan dengan orang tua. Kan karena ia kuliah, adiknya putus sekolah”.
Mbak Parti merapat.
Sejurus kemudian, Bu
Sukinah menyambung lidah:
“Benar-benar gak tahu
balas budi! Apa semua yang lulus kuliah seperti itu. Kalau begitu, lebih baik
anak saya sekolah sampai SMA saja”.
Hartono jengah campur
bosan. Bongkahan-bongkahan cerca amat kerap mendarat di kupingnya. Saking
jengkelnya, ia cawiskan beberapa bungkus kapas di atas ranjang. Jika tak kuasa
mencerap cacian-cacian itu, ia akan membubuhkannya di kedua liang telinga.
***
Genap setahun,
pikirannya berubah. Idealisme yang ia bangun mulai luntur. Ia enggan lagi
menanti pekerjaan. Ia urung lagi percaya bahwa kepala sekolah akan bersambang
ke rumah dan meminangnya sebagai guru. Ia tidak lagi mengizinkan ijazahnya
mendengkur di lemari. Tiba saatnya ia menggelundung. Dan, alamak. Bagai
petani yang menebar benih, ia menyebar lamaran ke semua sekolah yang terbujur
di desa Sumberrejo.
Jawaban tak kunjung
terbit. Dengan terpaksa, ia mengayunkan kaki ke rumah kepala-kepala sekolah.
Sebagai lulusan berpredikat cumlaude, sesungguhnya ia wirang
menjalankannya. Hal itu tak ubahnya dengan merendahkan martabat. Akan tetapi,
apabila dipikir-pikir, ia akan lebih malu lagi bila orang-orang menyebutnya
pengangguran.
“Maaf, dik. Guru-guru
di sini sudah banyak. Kami tak mau lagi menambah. Apalagi, sekarang kan ada
sertifikasi. Jadi, mereka dituntut mengajar sekian jam dalam seminggu.”
Hatinya getir. Mulutnya
nyengir. Sungguh, tiadalah ia menyangka, bahwa semua kepala sekolah akan
mengalirkan jawaban serupa.
Jebolan pendidikan
bahasa Arab pada salah satu kampus ternama di Malang itu tercenung di kamar. Ia
melenguh sendiri:
“Sialan. Mereka anggap
aku ini siapa. Apa mereka tidak tahu kalau aku ini sarjana unggulan.
Jangan-jangan mereka tidak melihat transkrip nilaiku.”
Ia kembali menganggur.
Namun, situasinya berbeda. Ini bukan idealisme, melainkan sebutir keterpaksaan.
Hartono kehabisan rasa percaya diri. Saban hari — sejak surya terbit hingga
fajar menampak — ia hanya mematung di kamar.
“Ini kan takdir, Nak. Yang
penting kamu berusaha”.
Sambil menyajikan ubi
rebus kesukaan sulungnya, Warni mencoba melipur.
***
Matahari beringsut ke
arah barat. Angin berjalan gontai. Hartono memindai fotonya kala dilantik
menjadi sarjana. Lantas bunyi ketukan terdampar di pintu rumah.
“Har, keluarlah
sebentar. Ini ada Pak Guru yang punya perlu denganmu”.
Hartono menuruti kaul
emaknya. Ia keluar dan menjabat tangan Pak Samiji.
Bak pahlawan, guru
matematika itu, hendak mengentasnya dari jurang penderitaan. Jurang yang tengah
menjebak tubuhnya selama setahun lebih. Jurang yang sepemakan sirih lagi ia
tinggalkan.
Sang tamu mewartakan
bahwa Hartono akan didarmabaktikan sebagai staf pengajar di MI Nurul Jannah. Ia
juga menakrifkan, bahwa sebetulnya Hartono berstatus guru sulih. Ah, tepatnya
menggantikan Bu Sari yang beranjak ke Samarinda. Hartono akan mengambil alih
posisi guru yang capek mengabdi dan memilih transmigrasi.
Hartono, kini, adalah
guru dengan sejuta semangat. Jam enam pagi ia sudah nangkring di kantor. Ada
saja tingkahnya; Melihat-lihat daftar hadir. Menata meja. Membenahi pigura yang
terpasang kurang rapi. Ya, begitulah. Namanya saja guru baru.
Saat mengajar di kelas,
suaranya bak petir menggelegar. Saking berapi-apinya, siswa-siswa di
kelas-kelas lain juga mendengar. (Mereka bisa memastikan bahwa itu suara Pak
Hartono, guru baru yang rona bajunya tak pernah ganti). Dan sewaktu bel
istirahat bergetar, ia pasti menghabiskan tiga gelas air untuk membunuh rasa
haus yang menusuk-nusuk tenggorokan.
***
Gajinya sebulan cuma enam
puluh ribu rupiah. Sungguhpun demikian, ia tak berkecil hati. Sebab, apa yang
dilakukan adalah demi mendidik generasi bangsa. Awalnya, ia santai-santai saja.
Ia menganggap karier guru sebagai profesi mulia. Gaji kecil bukanlah jadi soal.
Toh berkah yang bakal diraih di alam selanjutnya lebih agung.
Selama hampir tujuh
bulan, Hartono bertahan. Namun semuanya berubah, semenjak bapaknya terserang
tumor.
***
Demi melihat kesembuhan
suami, Warni melego semua sawah yang tersisa. Dan situasi kian menjepit, ketika
Sukiman harus bermalam di rumah sakit. Setelah enam hari dirawat, kondisinya
belum membaik. Sedang seluruh harta ludes terjual, termasuk juga kalung
perkawinan Warni.
Hartono, selaku anak
tertua, angkat tangan. Ia tak sanggup mengasung apa-apa untuk sekadar
meringankan biaya pengobatan sang bapak. Gajinya yang baru tercicil tiga bulan
saja tidaklah cukup menebus ongkos rawat inap Sukiman untuk semalam.
Hingga pada suatu
senja, pertolongan itu menyapa. Semasih duduk-duduk di teras Rumah Sakit, ia
meringik pada tukang parkir, yang kebetulan sedang menggelesot di situ.
“Waduh, pak. Susah.
Emak bingung begini, saya malah gak bisa bantu apa-apa. Mana gaji mengajar
sangat kecil.”
Tukang parkir yang
berusia sekitar 40 tahun itu pura-pura berpikir. Ia menyimak apa yang
dilenguhkan pemuda di sampingnya. Sembari menenteng peluit, lidahnya
menghembuskan kata-kata.
“Jadi tukang parkir
saja. Gimana?”
Hartono menggedumal.
Keningnya berkerut. Alisnya berjingkat. Dan sekonyong-konyong batinnya
menggumam:
“Edan! Mana ada, guru
jadi tukang parkir”.
***
Dengan rimbun
pertimbangan, akhirnya ia berprofesi ganda; Seorang guru swasta sekaligus
tukang parkir. Bujang lapuk itu tak habis pikir, kenapa nasibnya begitu tragis.
Meski Warni mafhum dengan profesi barunya, Hartono berpesan agar tidak
membocorkannya pada sang bapak. Ia khawatir. Jika ketahuan, penyakit bapaknya kian
bandel diobati.
Hartono membelah-belah
biji waktunya. Pagi sampai siang: mengajar di sekolah. Sehabis itu, ia pulang
dan membaringkan badan sejenak. Sore: menengok bapak di rumah sakit. Selepas
magrib, ia kenakan kostum oranye menyala; Warna yang setia menyertai saat
menjalankan profesinya di alun-alun. Ia tak akan balik ke rumah, jika irama
adzan dari masjid jamik belum menggema.
Seminggu menjalani dua profesi itu, ia masih sanggup
bertahan. Akan tetapi, perlahan-lahan ia mulai merasa letih. Mulutnya
megap-megap. Encoknya pegal-pegal dan terserang rematik. Sehingga ia rajin
menenggak jamu tradisional dan STMJ di kios Seger Waras.
Sejalan dengan
kesibukan, badannya mengempis. Pemuda yang semasa kuliah biasa dipanggil
gentong itu menjelma wayang kulit. Tak hanya itu, ia juga sering tidur di
kelas. Tak jarang, anak-anak membangunkannya ketika bel pulang meraung.
Dengan adanya situasi
runyam tersebut, Hartono dituntut segera mengesahkan mana yang ia pilih: jadi
guru swasta atau tukang parkir. Supaya anak didiknya tidak menjadi korban.
***
“Kapan ya ia kawin?
Keburu umurnya membusuk. Mungkin itu yang membuatnya memilih jadi tukang
parkir. Hitung-hitung buat menyiapkan mas kawin.”
“Betul, betul. Ia nekat
berhenti jadi guru kan karena gajinya ringan. Tak cukuplah buat kawin. Ya,
lebih baik fokus pada satu pekerjaan dan menghasilkan uang.”
Gunjingan yang ia
pungut makin bertubi-tubi. Celakanya, bukan hanya dirinya yang makan cibiran
dari masyarakat. Warni juga kerap memetik perlakuan serupa. Lambat laun, Sukiman
mengetahui keadaan sebenarnya. Dan menyebabkannya harus menginap lebih lama di
rumah sakit.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar