Dalam riwayat manusia,
kata militer rajin memerikan rona
sekaligus nuansa. Buah tutur menyangkut korps bersenjata itu seakan tiada
habisnya. Terkadang dielu-elukan. Acap juga dilaknat dan dikutuki
habis-habisan. Dari era klasik hingga paling modern sekalipun, militer
menyumbangkan pengalaman—manis atau kecut—bagi negara maupun individu di
dalamnya.
Asoka—raja terpenting
dalam peradaban India—dalam 8 tahun kekuasaannya, telah menundukkan Kalinga,
negara di pantai timur India. Namun, saat menyadari korban manusia yang jatuh
akibat kemenangannya, Asoka terguncang. 100.000 nyawa manusia raib sia-sia dan
lebih banyak lagi terluka, menerapnya menyesal dan memutuskan untuk
memansyuhkan penaklukan militer India. Lantas, ia berbalik melawan segala ragam
peperangan. Asoka memungut Buddha sebagai filosofi religiusnya; mencoba untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Dharma, termasuk di dalamnya kejujuran, kasih
sayang, serta anti kekerasan.
Di Sparta, 20 tahun
adalah usia di mana anak laki-laki wajib menunaikan tugas militer. Pada usia
sebelumnya, mereka dilatih dalam sekolah besar. Bukan untuk menenggak gagasan
muluk-muluk menyangkut budaya dan ilmu pengetahuan. Satu-satunya tujuan
pendidikan tersebut yaitu melahirkan serdadu militan sekaligus mengabdi
sepenuhnya pada negara.
Paska terseretnya AS
dalam Perang Dunia II, Florence Van Straten menimbrung dalam jajaran militer
Angkatan Laut Amerika. Ia bertugas memanfaatkan pengetahuan ilmiah guna meramal
keadaan cuaca. Informasi itu harus dilakukan setiap hari, bahkan setiap jam.
Meteorologi berandil besar bagi militer AS. Sebagai contoh yaitu ketika
iring-iringan kapal induk AS akan menuju Pearl Harbour terendus pesawat tempur
Jepang. Usaha menghindar—dengan kecepatan kapal induk lebih rendah dari pesawat
tempur Jepang—adalah dengan pemanfaatan meteorologi, yang dipelajari Florence.
Florence berhasil mengantongi gelar Ph.D dalam Ilmu Kimia Alam, saat berhimpun
dengan Pasukan Cadangan Angkatan Laut Amerika.
Saat terjadi perang antara Jerman melawan Perancis (1867-1868), Friedrich
Wilhelm Nietzsche didaftar sebagai anggota
dinas militer. Tugas yang sebenarnya tak disukai, meskipun akhirnya tetap
dilaksanakan. Di tengah menjalankan tugas, Nietzsche menangkap pengalaman tak
terduga. Ia jatuh dari kuda dan terpaksa dirawat selama satu bulan di Namburg.
Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis dalam perang. Pengalaman ini
melahirkan kegoncangan dalam dirinya dan mulai ingin belajar sesuatu yang lebih
menarik untuk hidup.
Pada tahun 1977, Oscar
Arnulfo Romero didaulat menjadi Uskup Agung, di mana sebelumnya pada usia 24
tahun ia telah dilantik menjadi Imam di Roma. Ia tersohor selaku pejuang
rakyat—yang berpenat-penat dalam melindungi hak-hak mereka—karena mengetahui
pihak militer tega membumihanguskan 20.000 nyawa kala meletus Perang Saudara di
El Salvador. Saban minggu ia berkotbah dengan menyuarakan kepentingan rakyat
yang tertindas. Ulahnya disambut dengan kampanye balasan; Uskup Romero diisukan
mencibir Angkatan Bersenjata, melakukan korupsi, dan melego jiwanya pada iblis.
Sehingga ia dikucilkan dari lingkungan Gereja Katolik Dunia. Bahkan, pada tahun
1980, dua butir peluru menembus kepala dan jantungnya kala menggemakan kotbah.
Harold
Garfinkel—pencetus istilah etnometodologi
dalam sosiologi—mengikuti wajib militer pada tahun 1942 dan bersarang di
Angkatan Udara. Ia dipercaya untuk melatih tentara menggunakan tank di padang
golf dekat Miami Beach, tanpa difasilitasi tank sama sekali. Saat melatih,
Garfinkel hanya mengandalkan gambar tank dari majalah Life, karena seluruh tank tengah berbaris di medan laga. Bisa dibayangkan,
alangkah runyamnya, melatih tentara melempar bahan peledak ke lintasan tank
imajiner; menjaga agar tank imajiner tersebut tidak melihatnya dengan
mengarahkan tembakan ke pangkalan tank imajiner.
Pada tahun 1946,
sewaktu Hatta menjadi Perdana Menteri, dengan pimpinan militernya A.H.
Nasution, diluncurkan perintah melucuti rakyat bersenjata di luar tentara
resmi. Pramoedya Ananta Toer melihat bahwa mereka memberontak, sebab senjata
diperoleh sendiri dengan cara merampas dari musuh. Mulailah Pram jijik mencerap
aksi kekerasan. Sadar bahwa dunia militer bukan tempatnya, akhirnya profesi
tentara ia tanggalkan dan beralih menjadi penulis.
Latar belakang militer
Soeharto terbukti turut memperkokoh kejayaan otoritarianisme. Dalam
pemerintahannya, politik hanya menjadi domain dari sekelompok kecil orang di
sekitar pusat kekuasaan (Jakarta). Sentralisasi mendapat tempat mulia. Hal ini
diwujudkan dengan menelurkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, yang cukup hierarkis dan sentralistik. Akibatnya,
Daerah tidak dapat berkembang secara optimal. Segala kebijakan tentang Daerah
digariskan oleh Pusat. Keleluasan menumbuh-kembangkan potensi Daerah kurang
maksimal, bahkan akhirnya Daerah menjadi “tergantung” dengan Pusat.
Begitulah, militer. Tak
bosan-bosannya membonceng kehidupan manusia. Dahulu, kini, dan mungkin
seterusnya.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar