Saat berusia 21 tahun,
kakek merantau ke Bolokebo, sebuah daerah yang kesohor dengan perguruan pencak
silatnya. Di sana ia berguru pada Guru Sewu, tetua yang sangat dita’zimkan,
baik oleh kalangan awam maupun para pendekar. Sang guru berjuluk demikian,
sebab ia satu-satunya orang yang sanggup mengerahkan seribu jurus dalam satu
waktu. Darinyalah, kakek mempelajari 313 jurus dan tenaga dalam. Sumpil Klepek,
Dali Gagak, Sikil Lembu, yang tak asing dalam dunia persilatan, juga ia dalami
dengan serius. Sebetulnya, ia berhasrat menguasai seribu jurus, namun sang guru
melarang, sebab bisa membinasakan dirinya sendiri.
Setelah empat tahun
menggali ilmu, kakek memutuskan pulang. Ia berbaur dengan Jaka Sungging,
organisasi karang taruna desa Kedungadem. Bersama para pemuda, ia ikut meramaikan
desa tiap kali digelar kegiatan. Mulai dari peringatan 17 Agustus, tayuban,
hingga manganan di Sumur Gede.
Keikutsertaannya dalam
berbagai kegiatan menjemput perhatian para warga. Pasalnya, selain rajin
membantu kegiatan warga, pemuda satu ini dipandang lebih daripada yang lain.
Tak jarang, orang-orang bersoal kepada kakek perihal jurus dan tenaga dalam
yang baru dikantongi. Semisal, saat memotong bambu untuk Upacara Brobosan,
sekonyong-konyong mulut Kang Jupri bocor:
“Bandi, kata orang kamu
sakti. Dapat ilmu dari mana?”
Bibir kakek hanya
menyungging dan melanjutkan aktifitasnya, membelah-belah bambu buat upacara
penghormatan kematian Mbah Sujak.
Berita kesaktian kakek
begitu cepat meruap di hidung warga. Maklumlah, di desa Kedungadem jarang sekali
ditemukan pendekar. Kalau pun ada, bisa dicongak dengan jari.
***
Selepas surya beringsut
ke arah barat, Mbah Sukir menggelesot di samping ladang tembakau milik Pak
Johar. Ia bernafsu mengecek sendiri ocehan keponakannya. Tangannya gatal, ingin
lekas menjajal kesaktian pemuda yang kondang sanggup mengupas diri menjadi dua
itu. Sebalik dari memancing di kali Nyamat, kakek dihadang.
“Bandi, katanya kau
habis berguru silat di Bolokebo. Sini, biar kucoba ilmumu”
Bagai topan, Mbah Sukir
menerjang ke arah kakek. Pisaunya dikeluarkan. Dan dengan membabi buta, ia
menusukkannya ke perut kakek. Giginya terbentang saat melihat senjatanya
bersarang beberapa centi meter ke jasad kakek.
Rasa heran Mbah Sukir
menyergap. Perut yang disunduk dengan Pisau Kolobenji itu ternyata batal
mengalirkan darah. Anehnya, lubang bekas serudukan pisau tiba-tiba kembali utuh
seperti semula. Tanpa pikir panjang, ia hunjamkan lagi pisau bersisik naga itu
ke perut kakek. Hasilnya nihil. Dan karena bagian perut dirasa musykil
ditundukkan, akhirnya ia mencoba bagian tubuh lainnya. Sekali lagi, darah yang
ditunggu-tunggu berceceran tak juga kunjung terbit.
Kakek hanya mematung.
Memirsa lelaki berumur setengah abad itu menyerang bertubi-tubi, ia urung
melawan. Mbah Sukir tampak ngos-ngosan. Batinnya mendesis:
“Benar juga apa yang
dikatakan Pardi. Tubuh Bandi sakti mandraguna”.
***
Guna menabur ilmu dan
menularkan kesaktian, kakek menumbuhkan perguruan Pendekar Geni. Dalam jangka
dua bulan, beratus pemuda mencatatkan diri demi menimba ilmu kepada kakek.
Magnet kewibawaannya begitu kuat, sehingga beberapa gelintir perempuan juga
tertarik bergabung.
Saking jamaknya
pendaftar, kakek memaruh waktu berlatih dalam dua gelombang. Kakek menjadwalkan
malam Senin dan malam Sabtu bagi gelombang pertama. Sedang untuk gelombang
kedua, latihan jatuh pada malam Selasa dan malam Minggu. Pelataran depan rumah
dimanfaatkan untuk melatih murid-muridnya.
Tiadalah warga
terganggu atau terusik dengan suara gedebukan murid-murid Pendekar Geni.
Bahkan, malah terhibur. Mereka gemar menyaksikan kakek menularkan jurus-jurus
dan tenaga dalam. Apalagi kalau berbarengan dengan malam Bengi Sakti, yang
biasanya jatuh pada malam Kamis Legi. Biasanya, selepas magrib, rumah kakek
sudah dibanjiri banyak orang. Sebagian dari mereka berpunca dari desa-desa
sebelah. Pada malam itu, kesaktian para murid diuji. Dari jam delapan sampai
jam satu, ada sepuluh murid yang bertarung. Jadi, terdapat lima pertarungan
dalam semalam. Dan setiap pertarungan dipatok maksimal satu jam.
***
Hari berebut senja.
Angin mengucur begitu deras. Petang bersiap-siap merayap, hendak menyapa warga
Kedungadem.
Tak seperti biasanya,
saat itu malam Jum’at, kakek menghimpun semua murid. Dalam pertemuan sekitar
lima belas menit itu, intinya kakek menugasi mereka untuk memburu dan
menghabisi orang-orang PKI. Tak peduli. Siapa saja. Tetangga, sanak kerabat,
saudara, teman. Semua dilibas. Nyawa mereka halal. Dan jika di antara muridnya
ada yang dicurigai, orang berjanggut putih itulah yang bakal menggoroknya.
Di atas gundukan tanah
loka berlatih, suara kakek menggelegar bak petir menyambar.
“Orang-orang yang
terlibat, kudu digorok. Siapa pun yang membangkang, aku gak sudi mengakuinya
sebagai murid. Dan dalam dua hari, kesaktiannya akan hangus”
Berbondong-bondonglah
murid-murid asuhan kakek melacak orang-orang yang tercium PKI. Beberapa orang
yang dulu terbalut dalam Jaka Sungging turut ambil bagian. Mereka bersepakat,
dalam sepuluh hari, Kecamatan Dosorejo harus bersih dari orang-orang yang dianggap
tersangkut dalam partai berlambang palu dan arit.
Belum genap seminggu –
dari enam desa – mereka berjaya meringkus sekitar tiga ratus orang. Kebun
jagung Pak Sangit menjadi saksi bisu atas kekejaman mereka. Di tempat itulah,
orang-orang dikumpulkan dan disembelih satu persatu layaknya kambing.
Dalam tempo relatif
singkat, kecurigaan menyebar. Rasa percaya antara teman, tetangga atau keluarga
luntur. Perkelahian di mana-mana. Permasalahan sepele bisa dengan mudah
menyebabkan mereka saling tuding dan berakibat pembunuhan.
Hampir setiap orang
menanam parang di pinggang. Mereka merasa tak ada lagi lokasi aman. Bahkan di
rumahnya sendiri. Untuk yang terakhir, contohnya adalah Mbah Kasmo, yang
meninggal dalam kamar. Orang yang setiap pagi dan sore menyapu surau kecil
dekat sawah itu mendapat perlakuan istimewa dari cucunya sendiri. Sebatang
parang membenam di dada. Ususnya berceceran di tanah. Sedang kepalanya
terpisah, dan baru tiga hari ditemui di samping kakus.
***
Suatu sore yang hangat,
seorang dokter dipanggil ke rumah kakek. Menurut diagnosa dokter, kakek diserbu
penyakit, karena terbebani masalah. Ia mengusulkan kepada kakek untuk
beristirahat yang cukup dan menenangkan pikiran.
Benar. Memang kakek
diganduli sebongkah masalah. Masalah yang dari dulu sukar diusir. Masalah yang
ketika berusaha dilupakan, malah menyembul ke permukaan dan menggumpal dalam
ingatan. Kenangan akan masa lalu terus saja berloncatan di otaknya. Dosa-dosa
yang dilakoni sewaktu muda belum sanggup dilalaikan. Dosa yang sangat sukar ditebus,
meski dengan kematian.
Dua tahun kakek
meringkuk di kamar. Mbah Sukinah, istrinya, selalu setia menjaganya. Juga
menjaga Gelang Balung Kethek dan Sabuk Inten Kuning kepunyaan kakek. Guna
menyelamatkan dua benda bertuah itu dari manusia tak bertanggung jawab, nenek
menguburnya di kolong ranjang kakek.
Nenek jualah yang
menghibur warga kala mereka membesuk kakek, sebab kakek enggan ditemui. Nenek
sebenarnya mengerti kalau kedatangan mereka sekadar ingin menyimak kesaktian
kakek saat muda.
Perempuan berkaki tiga
itu mafhum, bahwa cerita kesaktian kakek hanya akan menarik kenangan masa lalu.
Sehingga dapat mempertebal penderitaan dan membuat sakit kakek semakin parah.
Ia jengkel, apabila ada cucu yang merengek minta kakek berkisah tentang
kesaktian suaminya.
Guna menyembuhkan sakit
kakek, berpuluh kali ayah berinisiatif menerbangkan kakek ke rumah sakit.
Walakin, kakek menolak. Ia memilih di rumah saja dan menikmati penyakit yang
hinggap di tubuhnya.
Di dalam kamar, dengan
sakit yang kian akut, kakek terus-terusan berpikir cara terbaik menebus segebok
dosanya. Dalam batinnya, pernah terlintas untuk mengkhatami hidup dengan
menggantung leher di kebun jambu. Akan tetapi, ia merasa itu bukan merupakan
penebusan dosa yang sempurna.
Dan, ikhtiar kakek ternyata
berbuah. Akhirnya ia berhasil menjumpai cara terbaik dan paling tepat untuk
menebus dosa-dosanya.
Suatu pagi, nenek
diajak ibu melihat sapinya yang baru melahirkan. Ketika situasi lengang, kakek
mengambil parang. Sejurus kemudian, ia memotong-motong tubuhnya sendiri. Ya,
tubuh yang dalam hatinya sesak dengan dosa itu diceraikan menjadi delapan
bagian; Dua betis, dua paha, tangan sebelah kiri, dua kuping, dan hidung.
Terkecuali tangan kanannya, yang memang digunakan untuk menyiksa daging segar
itu. Dan usai kedua bola matanya dicongkel, ia menggorok lehernya sendiri.
Darah memuncrat. Bau anyir menyeruak.
Sepulang dari rumah
sang anak, Nenek melongok ke kamar dan menemukan tubuh kakek tergolek tanpa
nyawa. Nenek tersenyum. Sembari menudungi mayat kakek dengan sarung, katup
bibirnya menghembuskan kata-kata. “Kakek akan menuju surga. Seluruh dosanya
sudah lenyap”.
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar