Minggu, 29 Desember 2013

Perginya Pendengar yang Setia (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 29 Desember 2013)

Tidak seperti biasanya, subuh itu, di meja makan genap tercawis sarapan. Secangkir kopi siap diseruput. Sepasang sepatu fantovel usang mengkilap, tanda seseorang sudah menyemirnya. Norman berdecak heran. Ia tahu bahwa yang melakukan itu semua adalah Marni. Akan tetapi, bukankah sejak perkawinan, segala pekerjaan rumah tangga dilahap sendiri oleh Norman, sebab Marni—yang dikenal selama ini—termasuk istri durhaka? Apalagi, ya apalagi, gajinya tak sanggup menyewa tenaga pembantu paling murah sekalipun.
Norman mencium bau wangi di seluruh ruangan. Lantai dan kaca-kaca jendela kinclong. Bunga-bunga di halaman basah kuyup oleh siraman tangan lembut. Jikalau memang benar Marni yang melakukan, pastilah perempuan yang pernah keguguran itu menunaikannya sebelum fajar bertandang. Atau bahkan, tengah malam. Tengah malam? Benar. Mustahil, jika pekerjaan seabrek itu rampung dalam satu dua jam.
Antara terkagum-kagum bercampur bingung, Norman mondar-mandir di ruang tengah, sambil berjamak kali meruah nama istrinya. Akan tetapi, tak sekeping jawaban pun menghiraukannya. Ia memanggil lagi. Memanggil, dan memanggil. Dan, nihil.
Sungguh, Norman tak menyangka bila sang istri akan meninggalkannya begitu saja. Meninggalkan tanpa terlebih dulu menghibahkan firasat apa-apa. Meninggalkan dengan melahirkan beribu pertanyaan di kepala. Padahal, Norman mengaku berbahagia. Meskipun menurut tetangga, Marni adalah sosok istri yang tak tahu diri, akan tetapi bagi Norman, perempuan yang dinikahi baru setahun itu pendengar yang setia. Dan tentu saja mencari pengganti sepertinya sangatlah sulit. Atau bisa jadi mustahil. Bukankah di dunia ini jarang sekali perempuan yang dengan tekun menyimak kata-kata lelaki jika sedang berbicara?
Norman lebih senang bila Marni mau mendengar celotehnya saja daripada jika istrinya itu mengunyah segala jenis pekerjaan rumah tangga, namun tiada waktu untuk sekadar diam, pura-pura menghiraukan buah cakapnya. Selaku karyawan toko buku kecil, kerap ia mendengus kesal sebab perlakuan kasar dari sang senior atau pembeli yang tingkah lakunya kelewatan. Apabila mendapati hal demikian, ia akan mengungkapkannya kepada Marni, sesampai di rumah. Dan, dua lembar telinga Marni bersigap menadahnya, disertai anggukan kecil atau tampang muram. Serampung melempar unek-uneknya, Norman bisa tersenyum puas. Dengan menularkan kedongkolannya itu, Norman merasa beban yang berbaring di dadanya musnah. Buat Norman, yang mampu menjadi pendengar yang baik hanyalah Marni seorang. Ya, hanya Marni!
***
“Barangkali Mas Norman akan terkejut setelah mengetahui bahwa selama ini Marni memperalat Mas Norman. Marni cuma menumpang hidup dan makan dari keringat Mas Norman. Walaupun demikian, Marni heran dengan sikap Mas Norman yang begitu perhatian dan selalu memberikan segenap kasih sayang. Padahal Marni tidak pernah menunaikan tugas sebagai istri, kecuali saat nafsu Marni memuncak.
Sebenarnya, dalam diri Marni tiada perasaan cinta sedikitpun kepada Mas Norman. Marni cuma menuruti kata-kata ibu. Ibu bilang kalau sebelum meninggal, ayah berwasiat agar Marni dijodohkan sama Mas Norman. Jika tidak, maka anak-cucunya akan penyakitan tujuh turunan. Marni kurang percaya dengan takhayul itu, Mas. Tapi mau bagaimana lagi. Bila enggan mematuhi wasiat tersebut, Marni takut penyakit asma ibu bakal kambuh.
Pernikahan ini amat berat, Mas. Setiap hari Marni berusaha sekuat tenaga untuk pelan-pelan mencintai Mas Norman, tapi ternyata tetap tidak bisa. Masih ada bayangan seorang lelaki yang sampai sekarang Marni simpan dalam hati. Dan untuk melupakannya, rasanya tidak mungkin.
Kini, setelah ibu meninggal, tiada lagi yang Marni khawatirkan. Terus terang, Marni bertahan karena tidak ingin melihat ibu susah. Sudah banyak kesedihan yang telah dialaminya. Dan Marni berusaha supaya kesedihan itu tidak bertambah karena ulah anak satu-satunya ini.
Terserah Mas Norman mau bilang apa. Memang Marni kurang layak jadi istri lelaki yang baiknya setengah mati kayak Mas Norman. Kalau terlalu sulit memaafkan dosa Marni yang terlanjur segunung, Marni cuma mohon agar Mas Norman merelakan kepergian Marni. Itu saja. Marni akan menyusul seseorang yang Marni cintai. Di sebuah tempat. Tempat yang jauh di sana.”
Nafas Norman kembang kempis. Bola netranya berkaca-kaca. Jemarinya gemetaran. Jantungnya bergetar hebat, seakan mau meledak. Kata-kata dalam surat lusuh yang ia temukan di meja kamarnya menghunjamkan tombak-tombak lancip ke relung dada.
Tunai mengeremus bebulir abjad dari istrinya, Norman menelepon salah seorang atasannya. Memberitahukan bahwa saudaranya tertimpa kecelakaan dan sedang kritis, sehingga ia terpaksa absen kerja. Untuk ini kali, ia berbohong. Maklumlah. Kalau bukan sebab alasan darurat, loka yang menyediakan buku-buku sekolah itu urung mendermakan dispensasi kepada para karyawan untuk meliburkan diri.
***
“Norman, apa kau bercerai dengan istrimu?”
Sanusi, lelaki setengah baya, buruh bangunan di Sumatra itu sekonyong-konyong bersoal kepada Norman.
Norman bungkam. Atau lebih tepatnya sekadar menggeleng.
Sanusi malas menyerah. Entah apa untungnya ia mendedah hal yang bukan urusannya itu, hingga nekat bertanya lebih jauh. “Terus, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu?”
Sekali lagi, Norman mematung. Bibirnya kian mengatup. Andai pun ia bocorkan kabar hubungannya dengan Marni, lelaki di depannya itu dikira tidak akan sanggup membantu.
“Dua minggu yang lalu aku lihat Marni.”
“Apa?”
Norman terpancing. Pundaknya terangkat. Keningnya bergelombang. Dengan lihainya, Sanusi berhasil menerap lawan bicaranya bertekuk lutut.
“Aku lihat istrimu bersama lelaki jangkung.”
“Di mana kau melihatnya?”
“Di dalam bus, saat mau mudik. Istrimu tak sadar kalau kuawasi dari belakang.”
Sanusi berhenti berkotek. Menyedot kreteknya dalam-dalam. Lantas ia lanjutkan, “emm.. Aku sengaja tak menegurnya.”
“Sebutkan ciri-ciri lelaki yang bersamanya!”
“Berambut cepak, berkumis runcing, tubuhnya ceking. Ada tato kepiting di lengan kanannya.”
“Eko!”
Semula, Norman berjanji untuk mengikhlaskan keputusan Marni memungut kembali cinta lamanya. Namun, ternyata ia kurang terima jika lelaki itu, lelaki yang dipuja-puja istrinya itu adalah seseorang yang dari dulu menjadi bebuyutannya. Saat melungguh di bangku SMA, Ekolah yang merusak jalinan asmaranya dengan Dewi, gadis primadona anak Pak Lurah. Ketika kuliah di sebuah kampus swasta, Eko juga tega memperdaya Lidya, dengan menyelipkan berita bahwa Norman adalah cowok play boy yang murah cinta dan gemar menebar janji kepada kaum Hawa. Dan, tatkala Norman hendak merajut sebetul-betul kebahagiaan, Eko datang lagi untuk menghancurkan.
***
Sehari dua malam Norman mengupas waktu di perjalanan. Kini, ia berada di ujung Sumatra, tempat di mana Sanusi memergoki Marni. Atas petunjuk dari beberapa teman istrinya, Norman menuju sebuah rumah berdinding batu bata yang belum dijangkapi cat. Kacanya kusam, seolah membocorkan kalau si empu rumah jarang mengelapnya.  
Sore yang agak mendung itu paling cocok buat bercengkerama. Tentu sayang kalau dilewatkan. Itulah mengapa, Marni dan Eko bertukar canda di beranda, ditemani biskuit cokelat dan teh hangat. Layaknya suami-istri, mereka berdua terlihat mesra.
Marni tampak bersemangat memunguti kata-kata yang Eko suguhkan. Sambil bertutur, sesekali Eko mencubit dan membelai pipi Marni. Demikian pula Marni, yang memukul manja pundak Arjunanya itu. Alangkah bahagianya! Bak burung kepodang yang baru saja menemukan sirsirannya.  
Tanpa permisi dan salam, Norman masuk ke dalam. Kebetulan pagar tidak terkunci. Sesetel kaki Norman bergontai ke arah kedua manusia yang dirundung renjana. Setiba di hadapan Marni, ia berujar lirih, “kau memang pendengar yang setia.”


Yogyakarta, 2012

Rabu, 18 Desember 2013

Tongkat Si Buta (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Inilah Koran" edisi Minggu, 15 Desember 2013)

Mata Sugino merayapi gerak-gerik lelaki berumur tiga puluhan tahun di depannya. Maklum. Baru itu kali ada orang buta makan di warung Mbok Kinah. Kopi yang ia pesan dibiarkannya terbuka, dikerubungi lalat, demi memuaskan hasratnya memerhatikan obyek gratis di tempat ia membanting bosan. Hiburan menarik, yang minimal dapat mengurangi beban pikiran. Pagi-pagi benar ia sudah mengunyah mentah-mentah gunjingan dari istrinya yang menuntut uang belanja. Padahal, di sakunya tergolek tiga ribu rupiah. Uang yang hanya cukup untuk membeli secangkir kopi. Ditambah sebatang kretek paling murah.
Dengan menu kare ayam dijangkapi tiga biji kerupuk, rupanya membuat orang buta tadi makan begitu lahap. Sugino mengulum ujung jakun. Liurnya pasti menetes, jika saja tak segera disusuli dengan menyeruput kopi. Bagi Sugino, lauk ayam adalah lauk paling istimewa di dunia. Mengingat ia dan istrinya selalu berlauk tempe atau tahu. Kalau ingin ganti menu, maka pilihan jatuh pada ikan asin. Menurut catatan otaknya, istrinya menghidangkan opor ayam sudah tiga bulan lalu. Itupun cipratan syukuran dari Mbak Atin, tetangganya yang melahirkan. 
Cara memungut nasi dengan sendok, melumat lauk, dan mengeremus kerupuk si buta sama sekali tak luput dari indra penglihatan Sugino. Ketika tinggal tersisa segenggam nasi di piring si buta, sekonyong-konyong pikirannya bersoal: dari mana si buta memperoleh uang? Pekerjaan apa yang menyebabkannya mengantongi uang dan leluasa memilih menu ternikmat di warung Mbok Kinah? Kelebihan apa yang dipunyai orang yang satu matanya tertutup sedang lainnya terbuka dengan warna putih semua itu? Ah, pertanyaan-pertanyaan yang ringan menyebabkan Sugino menaruh iri dan kian penasaran.
Didorong pertanyaan-pertanyaan tersebut, terbesit keinginan Sugino untuk membuntuti si buta. Oleh dasar itulah, ia menanti si buta rampung dari makan siangnya.
Sugino begitu bungah, mengetahui bahwa seusai minum segelas teh hangat, si buta langsung menanyakan kepada Mbok Kinah berapa jumlah yang harus dibayar. Berarti muncul tanda kalau sebentar lagi si buta keluar. Tak seperti dirinya yang suka duduk berjam-jam, ngomong ngalor-ngidul, sering juga ketiduran, meski hanya membeli secangkir kopi. Itu pun Mbok Kinah masih beruntung apabila Sugino mau melunasi seketika. Terkadang, kalau lagi kering, lelaki berambut keribo itu memperpanjang kontrak utangnya.
***
Tongkat itu berjamak kali dipandangi Sugino. Meski tunai mengutilnya, ia belum tahu betul apa yang hendak dilakukan dengan benda berbahan alumunium tersebut. Sesungguhnya ia kurang tega ketika mengambilnya diam-diam, waktu si buta beristirahat di bawah pohon nangka dekat rumah Pak Lurah. Barang tentu, tanpa memegang tongkat, si buta bakal kelabakan. Untuk sekadar berjalan, atau membedakan apakah di selingkarnya terdapat batu, pecahan kaca, kaleng, ataupun benda lain. Tapi, bagaimanapun juga Sugino terdesak melakukannya. Dalam otak kecilnya, ia percaya bahwa karena tongkat itulah ia akan dengan mudah meringkus rejeki, layaknya si buta. Meski berbeda jauh dengan wujud tongkat Mbah Wondo, yang dimandikan setiap bulan Syuro, Sugino menabung keyakinan, tongkat si buta mengandung tuah.
Malamnya, Sugino tak bisa tidur. Ah, tepatnya tak ingin tidur. Menemukan apa yang akan diperbuat dengan tongkat curiannya lebih penting daripada merebahkan badan guna melepas letih. Ia berpikir, berpikir, berpikir. Dan, berhasil.
Genap menimbang pikiran semalam suntuk, paginya, Sugino berkata pada istrinya:
“Marni, hari ini aku mau ke Surabaya.” Walaupun agak ragu, nyatanya Sugino membocorkan ludahnya.
“Apa?” Istrinya pura-pura tidak mendengar dan terus memukul-mukul kasur yang dijemur di samping rumah.
“Aku mau ke Surabaya. Aku ingin mengadu nasib di sana.”
“Sama siapa ke sana? Apa Mas Gino sudah punya tujuan?” kali ini istrinya agak serius menanggapi.
“Sendirian. Kemarin aku diberi tahu Nardi kalau tempat percetakan Pak Ali sedang butuh karyawan. Katanya, ada salah satu karyawan yang pulang dan tak kembali.”
Istrinya menatap wajah Sugino tajam. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang terlontar dari mulut suaminya itu bukanlah bualan belaka. Ia melihat wajah Sugino merengut, ditambah dengan netra yang berkaca-kaca.
***
Plastik hitam yang berada di tangan itu terayun-ayun mengiringi langkah Sugino yang kian lemah. Ia masih menyisir daerah mana yang pas untuk memulai aksinya. Jika kurang cermat menentukan tempat, bisa-bisa apa yang akan ditunaikan merengkuh kegagalan. Padahal, uang yang ia pinjam dari Beno sudah ludes buat ongkos kendaraan dan meneguk es blewah di dekat terminal.
Menggelundung belasan kilo meter, akhirnya ia menemukan surau tua. Bergenteng bocor dengan dinding yang catnya mengelupas. Ia clingak-clinguk ke sekeliling, memastikan bahwa sekitarnya sepi orang. Lekas ia masuk ke dalam, mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana bolong-bolong disertai tambalan di sana-sini. Kaos partai bergambar beringin dan celana komprang yang bosan dipakai keluyuran itu disulap menjadi busana gembel. Dua hari Sugino mengerjakannya, tanpa sepengetahuan istrinya.
Sugino tidak pernah latihan drama atau ikut pementasan teater. Apalagi syuting sinetron di TV lokal. Akan tetapi, dalam dirinya terpendam bakat untuk berperan sebagai aktor. Buktinya, kepura-puraan yang ia simpan baik-baik pada raut wajahnya enggan diendus sang istri. Benar. Berangkat ke Surabaya untuk bekerja di percetakan Pak Ali merupakan siasatnya. Sebetulnya, ia pergi ke sana guna melancarkan niat yang ia tanam semalam.
Kini, Sugino berubah menjadi tokoh idola yang ia bayangkan. Mengambil tongkat dari plastik yang dari tadi ditenteng, ia siap memerankan aksi orang buta yang beberapa hari lalu ditemui di warung Mbok Kinah: bermuka melas dengan keringat berhamburan, berjalan gemetaran dengan kaki kanan diseret. Nyaris sempurna. Sayang, Sugino hanya berpura-pura memejamkan mata, karena mustahil sanggup menyamakan dirinya dengan orang buta yang satu matanya tertutup sedang lainnya terbuka dengan warna putih semua. Kecuali, ya kecuali ia nekat menyiramkan cairan aki ke mata kirinya, agar warna hitam di tengahnya lenyap.
Tertatih-tatih, dengan bimbingan tongkat, Sugino mendekati kerumunan orang di pasar. Ia mengincar perempuan berbedak dan berlipstik tebal di sebelah pos ojek. Rasanya, target seperti itu urung membuatnya kecewa.
Sesampai di hadapan perempuan pesolek tersebut—dengan tetap menjaga penampilan yang memprihatinkan—ia menjulurkan kedua tangannya, mirip si buta saat meronta-ronta memohon sumbangan. Pastilah pengemis buta yang digenapi kondisi mengenaskan lebih memancing belas kasihan ketimbang mereka yang meminta-minta dengan tubuh segar-bugar. Batinnya mendesis.
Dan, benar. Dari usahanya pertama kali itu, Sugino diganjar lima ribu rupiah. Jumlah yang lebih dari lumayan bagi manusia yang baru terjun dalam dunia pengemis. Bersuara serak-lirih layaknya orang kehausan, sambil membungkuk-bungkuk, ia berulang-ulang menyampaikan terima kasih.
Merasa semangatnya berlipat-lipat, ia mengemis lagi. Ia malas mengiba-iba pada sembarang orang. Entah mengapa yang selalu menjadi korbannya adalah perempuan. Barangkali, meski terkesan pelit, makhluk Hawa dianggap memiliki perasaan lebih peka dan kurang tega mengetahui orang lain susah dibanding kaum Adam.
***
Sore bertudung mendung itu, ia menghitung uang hasil jerih payahnya. Seratus ribu! Seratus ribu cuma dalam waktu tiga jam! Lebih dari cukup untuk sekadar memborong semua persediaan kare ayam Mbok Kinah.
Sungguh, ia begitu mujur diperjumpakan Tuhan dengan si buta, sehingga menemukan profesi barunya. Profesi yang kerap dicerca banyak orang, namun justru mendatangkan rimbun uang. Ia tak perlu lagi menjadi tukang pijit atau tukang gali sumur yang pernah dilakoninya selama empat tahun dan hanya dapat uang jika ada panggilan. Atau tukang parkir, yang baru lima hari bekerja, ia sudah babak belur sebab tepergok mencuri helm teropong yang terapit di motor Kawasaki Ninja milik Pak Bupati.
Selepas membersihkan badan, ia masuk ke masjid alun-alun guna melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Tentu tanpa berwudlu, sebab sejak kecil ia tak tahu cara berwudlu yang benar. Sengaja Sugino meluangkan waktu untuk menghadap ke Penguasa semesta, sebagai rasa syukurnya yang mendalam. Padahal, sudah lima tahun ini ia jarang sekali menunaikan perintah Tuhan. Jangankan shalat lima waktu, shalat Jum’at yang seharusnya ditunaikan seminggu sekali saja ia sering absen. Yang belum pernah ditinggalkan hingga sekarang adalah shalat hari raya, khususnya Idul Adha. Mengapa? Karena sehabis shalat yang didirikan setahun sekali tersebut, biasanya takmir masjid mendata para jama’ah untuk kemudian pada siang atau sore harinya mereka menerima kiriman daging kurban. 
Keluar dari masjid, di depan kios jamu tradisional, lelaki yang mencium bau sekolah cuma lima bulan itu melihat Joko. Ya, Joko. Hei, itu kan pemuda yang dulu berbuat kurang ajar terhadap istriku! Tunggu! Akan kuhajar kau sampai mampus. Batinnya meraung.
Ketika hendak menumpahkan dendam, langkahnya tiba-tiba tertahan. Terpaksa ia mengubur maksudnya dalam-dalam. Sayang, jika demi membalas apa yang dulu dilakukan Joko pada sang istri, Sugino harus mengorbankan profesinya. Belum lunas melampiaskan amarah, bisa-bisa kedoknya selaku pengemis buta terbongkar. Wah, malah runyam urusan!
Sugino menghindar, berjalan berlawanan arah dari Joko. Dan, tergeragap. Di depannya tengah berdiri seseorang berumur tiga puluhan tahun. Ialah lelaki yang ditemui di warung Mbok Kinah, yang makan begitu lahap dengan menu kare ayam dijangkapi tiga biji kerupuk. Lelaki dengan satu mata tertutup sedang lainnya terbuka dengan warna putih semua. Lelaki yang bermuka melas dengan keringat berhamburan serta berjalan gemetaran dengan kaki kanan diseret saat meminta-minta. Akan tetapi, anehnya, lelaki tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya cacat. Bahkan, ia nampak amat sehat.
Mata lelaki yang dikira Sugino buta itu membelalak. Tanpa diberitahu pun, Sugino mafhum kalau lelaki yang pura-pura menjadi pengemis buta semisal dirinya itu sedang dihinggapi kemarahan. Kemarahan membabibuta yang mudah mencelakakan keselamatan nyawanya.
Sugino memandangi tongkat yang dicuri dari lelaki di depannya. Tongkat itu. Tongkat yang membantunya mengetam uang seratus ribu dalam waktu tiga jam itu. Sungguh, ia ditikam gamang: memohon maaf dan menyerahkan tongkat kepada pemiliknya ataukah kabur tunggang langgang seraya mengumpat sekenanya.  

Yogyakarta, 2012