Minggu, 28 Juli 2013

Gadis Kecil dan Lampu Merah (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jurnal Nasional" edisi Minggu, 28 Juli 2013)

Gadis kecil berambut kepang dua itu diam. Menoleh ke kiri. Memperhatikan lalu lalang orang-orang di depannya. Sebenarnya, melihat mukanya yang lusuh, pantas ia kupanggil pengemis. Tapi, kurang tega aku menyebutnya demikian. Instingku mengatakan, ia tak akan rela jika label ‘pengemis’ melekat di tubuhnya.
Berjalan ke arah penjual es dawet. Tangan kanannya merogoh saku. Menggeleng. Dahi mengkerut. Nampak mengurungkan niat, kembali ia duduk ke tempat semula. Menghindari mimpi yang begitu dekat. Sepertinya, ia tak mungkin dapat menjangkaunya. Ya, menjangkau mimpi menggelontorkan minuman dingin berbahan santan dengan pewarna memikat, melewati pangkal tenggorokan.
Kantong permen bekas di belakangnya, ia pungut. Pura-pura membaca tulisan berwarna kuning yang mulai pudar. Berdiri. Kakinya beringsut, dua langkah. Mundur lagi. Sebongkah keraguan teronggok di sudut hatinya. Ia tancapkan pandang ke atas. Lampu beralih rupa. Hijau. Lagi-lagi, ia menuju trotoar, tempat ternyaman ia baringkan lelah.
Wajahnya mulai dibanjiri keringat. Ujung bajunya yang kumal dan berhias sejumlah tambalan, ia angkat. Perlahan, ia usap cairan asin yang merembes dari lubang-lubang mungil tubuhnya itu. Dan, tiba-tiba sepasang matanya tertusuk silau mobil hitam-mengkilat yang berhenti, dua meter darinya.
Ia mendongak.
Merah.
Tanpa ragu sedikit pun, ia mengajak kakinya bekerja. Menjemput belas dan kasih.
Kali ini, ia bersemangat. Mengetuk kaca mobil. Sopan. Tiga kali. Masih tertutup. Meskipun agak samar, anak itu mengerti bahwa di dalam kendaraan mewah terdapat seorang perempuan berlipstik tebal sedang asyik bercengkerama bersama lelaki jangkung di sampingnya. Tentu bukan sopir. Apalagi bodyguard. Lebih cocok kalau ia adalah suami, atau pacar, atau teman selingkuh, atau entahlah. Dan, hai! Lihatlah! Di kursi belakang, duduk anak perempuan seusia dengannya. Bermain boneka beruang raksasa dengan sesekali menjilati es krim bertabur cokelat.
***
“Dapat berapa, Raisa?”
Hening.
“Ditanya kok gak jawab. Apa kamu sudah bisu?”
Menunduk. Hanya gelengan kepala ia tunjukkan.
“Hah? Dari pagi gak dapat uang sama sekali. Dasar pemalas!”
Plakk!! Tamparan keras mendarat di pipinya. Ia tersungkur, tanpa berani menitihkan air mata. Sesuai pengalaman kemarin-kemarin, tangisan hanya bakal mengundang siksa yang lebih berat.
“Ingat! Hari ini jatah makanmu lenyap!”
Perempuan berbibir tipis itu meninggalkan Raisa, setelah kenyang memuntahkan amarah.
Bangun. Menyandarkan punggung ke dinding. Matanya menelisik keluar, dengan pandangan hampa. Raisa tak habis pikir, mengapa sering ia diperlakukan kasar. Kasar sekali. Sebab itulah, ia suka bertanya dalam hati, mengapa dulu ayahnya tega menyerahkan dirinya kepada perempuan yang kerap dibayangkan sebagai monster luar angkasa yang pernah ditonton di salah satu televisi swasta tersebut. Sampai sekarang, ia benar-benar belum paham, dalih apa yang mengantarnya harus bermukim bersama manusia yang enggan memperlihatkan rasa kemanusiaannya. Ia hanya tahu, selepas meninggalkannya—dengan berjanji suatu saat akan menjemputnya—, ayahnya menerima tiga lembar uang seratus ribu rupiah.
Mengamati jalan raya, seketika ingatannya terbang ke wajah anak perempuan yang tadi pagi ia dapati bermain boneka beruang raksasa di dalam mobil hitam-mengkilat. Ia membayangkan alangkah senangnya menjadi anak itu. Setiap hari bisa leluasa bermain, tanpa memusingkan berapa rupiah yang harus disetorkan. Paling-paling, yang menjadi beban pikirannya yaitu tugas sekolah. Itu pun dikerjakan dengan uluran bantuan kakak, atau paman, atau orang yang ditugaskan khusus untuk menemaninya belajar. Kini ia membayangkan, anak itu sedang duduk santai di restoran mahal. Melahap ayam goreng, didampingi orang-orang yang selalu menyayanginya. Ah, andai saja ia terlahir sebagai anak beruntung itu, pastilah ia bakal menghabiskan selusin paha ayam goreng, dalam satu malam. Emm, nikmatnya!
Brak!! Suara pintu dibanting.
“E, malah enak-enakan di situ. Baumu kayak bangkai tikus got, tahu? Sana! Mandi!”
Raisa menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya. Sebal. 
***
Pagi sekali Raisa menggelesot di perempatan Jalan Diponegoro. Di kolong lampu merah. Wajahnya terlihat segar, berseri-seri. Tidak seperti biasanya, ia membawa dua kantong permen bekas sekaligus. Satu dipegangnya, satunya lagi diselipkan di celana.
Sebelum tidur semalam, dalam kepalanya tersusun rencana besar. Ya, hari ini ia akan menggayuh mimpi. Bukan sekadar mimpi menenggak dawet Cah Ayu yang dijual di sebelah toko buku, melainkan mimpi melumat es krim bertabur cokelat, atau mengeremus paha ayam goreng, atau jika memungkinkan, juga membelai dan mengelus boneka beruang raksasa. Ia bermaksud mewujudkan salah satu mimpi tersebut. Atau boleh jadi, jika Tuhan mengijinkan, ketiga-tiganya akan diraih. Meski terbilang kurang rasional, “apa salahnya dicoba”, batinnya berkata mantap.
Ketika isyarat datang, yaitu lampu merah menyala dengan garang, cepat-cepat ia sodorkan kantong kosong ke semua orang. Tak peduli. Dari yang bertampang preman hingga yang paling beriman. Entah mereka mengendarai mobil, motor, sepeda, atau bahkan yang berjalan kaki sekali pun. Padahal, sebelumnya, ia cenderung mengadakan seleksi terhadap siapa yang dimintai sumbangan. Tentu, ketika menemukan seseorang bermuka seram, atau yang di raut mukanya terpahat kerut-kerut penderitaan, ia lebih memilih kabur tunggang-langgang.
Setelah berulang kali mengetam berkah lampu merah, tepat jam dua belas siang, ia menemukan mobil hitam-mengkilat berhenti di depannya. Enggan mengulang kejadian kemarin (tiga kali mengetuk kaca mobil, namun tak direspon), sengaja ia menjauh.
“Dik, sini.”
Raisa membalikkan badan. Ia melihat orang berkepala pelontos memanggil sambil melambaikan tangan. O, ternyata itu bukan mobil kemarin. Ia masih ingat betul ciri-ciri lelaki yang sok dan malas membuka kaca mobil, untuk sekadar meminta maaf karena tidak bisa mengulurkan recehan. Hatinya lega.
Tanpa banyak berpikir, ia mendekat. Dan, “ayah….”
Lelaki itu terperanjat. Uang lima puluh ribu di genggamannya lekas disumpalkan ke kantong permen Raisa. Saking gugupnya, gas mobil langsung diinjak, menerobos lampu merah. 
Raisa berusaha membandingkan wajah ayahnya tiga tahun terakhir dengan lelaki gundul yang memberinya uang terbesar dalam sejarah hidupnya. Sungguh, ia agak ragu ketika menyelorohkan kata ‘ayah’. Mengingat, dulu ayahnya gondrong dengan penampilan awut-awutan. Adapun lelaki yang baru saja ia lihat, sehelai rambut pun tiada menempel di kepalanya. Dan, yang penting lagi, lelaki itu memakai jaket kulit dengan bau harum menusuk. 
Bingung merangkai dua gambar lelaki dalam kepalanya, ia pun memilih beristirahat di bawah pohon beringin, depan kantor polisi. Memeriksa kantongnya. Wow! Matanya berbinar saat menangkap selembar uang berwarna biru.
“Ini berarti, dua di antara beberapa mimpiku segera terwujud.” Batinnya mendesis.
***
“Es krim? Ayam goreng?”
Seolah kerasukan iblis, wanita itu bertubi-tubi mencambukkan ikat pinggang ke serata tubuh Raisa.
“Apa lagi? Hayo, ngaku!”
Sambil merintih, Raisa mengaku bahwa selain dua mimpinya itu, ia tidak membeli apa-apa lagi. Uang berjumlah lima belas ribu tiga ratus rupiah yang diserahkan adalah sisa dari semua jerih payahnya hari itu.
“Anak tidak tahu diuntung! Enak saja uang diboroskan buat hal-hal tak berguna. Uang yang kamu kumpulkan itu buat beli bedak dan gincu kalau kamu besar nanti.”
Raisa menggeliat. Sepertinya, ia tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang menjalari ujung kaki hingga kepalanya.
“Kamu sudah jadi milikku. Jadi, aku bisa berbuat apa saja. Jangan harap ayahmu datang, mengambilmu dari sini. Asal kamu tahu, ya. Ayahmu itu kerjanya trafficking!”
Ha? Trafficking? Pikiran Raisa sibuk mencerna sebuah kata yang baginya sangat asing itu.

Yogyakarta, 2013

Minggu, 21 Juli 2013

Kabar dari Alam Barzakh (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 21 Juli 2013)

Aku hampir tak percaya. Sungguh. Apa yang selama ini kuharapkan dari beragam amalku ternyata nihil. Bayangan tentang pahala yang menumpuk seabrek sirna. Mana? Mana ganjaran yang rajin digembor-gemborkan kiai tengik itu? Kiai yang saban hari mendermakan bebongkah pesan disertai iming-iming yang menyilaukan.
Dan, bodoh! Di antara ke sekian pemuda yang mengunyah nasihat dan wejangan orang berjubah putih itu, akulah paling buntung. Kenapa? Sebab aku terlalu terburu-buru untuk membuktikan. Membuktikan seberapa benar ocehannya di surau tua samping rumah Pak Lurah. Bukan Jufry, Eko, Agus, Mursid, Furkan, atau Abdul Fatah, anak kiai sendiri.
Jangankan memperoleh semangkuk sup lezat kiriman dari surga. Atau segelas minuman pelepas dahaga dengan kenikmatan tiada tara. Untuk bernafas saja aku kesulitan. Ah, dosa apa yang tunai kuperbuat, sehingga dengan seliat tenaga, bumi menghimpitku bertukas-tukas. Sesak. Andaikan orang-orang mendengar rintihanku, pastilah kuminta sedikit saja sumbangan oksigen guna meringankan nafasku.
Selepas mengubur jasadku, seluruh peziarah pulang. Meski ayah, ibu, dan adik—sambil terisak-isak—selama satu jam menungguiku, pada akhirnya mereka juga meninggalkanku sendirian. Yetti, kekasihku, datang belakangan dengan busana serba hitam. Oh, matanya yang teduh seolah mengalirkan cairan kasih sayang. Cairan yang dihanyutkan semisal tatkala aku mengungkapkan cinta kepadanya.
Namun, pada khatamnya aku ditikam kecewa. Lidah manusia memang ringan berdusta. Parahnya, Yettilah orang kedua yang nekat mengecohku dengan kalimat lembut dan syarat gombal setelah kiai busuk itu. Padahal, dari mulutnya aku mengetam apa arti setia. Hingga sesaat sebelum meregang nyawa, aku masih teperdaya dengan kata-kata yang menyembul dari bibir manisnya. Ya. Tiada hentinya ia memasang janji untuk memilin asmara seiya sekata. Sejiwa seraga. Sehidup semati. Sesurga seneraka. Nyatanya, ia malah mengacir seusai meletakkan secarik bunga di atas nisanku. Bunga murahan pula. Puih! Dan, di sana. Di depan pemakaman sana telah menanti seorang lelaki berwajah lumayan dan berkantong tebal. Rupanya begitu mudah ia terbujuk oleh setan. Dasar perempuan!
Auw, dari tadi kerjaku cuma menggunjing dan mendedah aib orang lain. Selain kurang beretika, itu kan larangan agama. Tapi, aku kan sudah mati. Kira-kira berdosa tidak, ya. Tak tahulah. Hmmm… Daripada menceritakan orang lain lebih baik menguraikan keadaan diri sendiri. Kukira, ini lebih bermanfaat ketimbang memboroskan kata-kata untuk hal yang bukan-bukan.  

Mendarat di Jagat Tanpa Sekat
Benar-benar aku masih bingung dengan semua ini. Apa ada yang salah? Mengapa aku diam seribu bahasa ketika dua makhluk berwibawa itu melempar sejumlah pertanyaan. Padahal pertanyaan-pertanyaan itu sanggup kuhafal beserta jawabannya sejak balita. Mbah Warijo yang mengajarkannya kepadaku. Dengan cara menyajikannya dalam tembang Jawa, aku hanya butuh secuil waktu untuk sekadar merekamnya hingga ingat di luar kepala.   
Sekiranya kedua delegasi Tuhan itu bersedia diajak kerja sama, niscaya hendak kubisikkan bahwa aku tengah mengidap amnesia. Mirip para koruptor yang berlagak lupa ketika diberondong pertanyaan menyudutkan di muka hakim dan jaksa. Tapi, rupanya loyalitas menjadi hal paling utama bagi keduanya. Jadi, sia-sia saja membujuknya.  
Rasa congkak yang kupelihara sekonyong-konyong runtuh ketika pertanyaan man rabbuka tak mampu kujawab. Mulut kaku. Lidah kelu. Siapa gerangan yang mengikat pita suaraku? Sungguh, kesedihan menelikungku. Malu mencabik-cabik dadaku. Dan, setangkas kilat, cambuk raksasa menghantamku bertubi-tubi. Bola mataku keluar. Batang hidungku patah. Daun telingaku sobek. Tulang-belulangku remuk. Hilang bentuk. Ajaibnya, sepemakan sirih kemudian, jasadku kembali utuh seperti semula. Tambun dan segar. Siap menadah beribu aniaya.
Dengan kondisi fisik yang prima, aku berharap bisa membalas segala corak pertanyaan yang ada. Namun, celaka! Pertanyaan kedua hingga terakhir menurutku tak kalah sulit dengan yang pertama. Begitu sukar untuk mengatasi satu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut. Akibatnya, cambuk mengerikan kembali melayang dan menghajarku habis-habisan.
Tidak sampai situ saja kemalangan yang menimpa. Sial! Sejak nyemplung di tempat gelap sekaligus lembab ini, sama sekali aku belum pernah merasakan ketenangan. Barangkali atas rekomendasi juru kunci aku ditancapkan di sini. Di tanah bercampur tahi ini; dekat kuburan Mas Gepeng. Ya. Duda dengan dua anak yang enam tahun silam mampus tertabrak bus. Mampus dengan tubuh hancur berantakan. Siapa pula mengira kalau nasibnya bakal setragis itu. Meninggalkan dunia sehabis menenggak tujuh botol arak oplosan.
Sewaktu hidup saja aku selalu menjauhinya. Gengsi dong! Aku kan makhluk mulia. Sedangkan ia terhitung manusia durjana. E, ternyata, sekarang malah jadi tetangga. Berdempetan pula.
Bagaimana aku tak mengeluh, kalau si dungu lulusan SD itu gemar berteriak sejadi-jadinya ketika menggeliat kesakitan. Aih, aih, aih. Ada saja yang dipekikkan. Terkadang bilang aduh! Aduh! Atau panas! Panas! Atau kapok! Kapok! Paling sering menggerung ampun! Ampun! Malaslah aku mencari tahu siksa apa yang diterima. Aku sendiri setengah mati meronta-ronta ketika menjumput limpahan azab. Ditinjau dari raungannya yang menggema, agaknya ia lebih apes dariku.  

Malam Pertama Malam Derita
Di malam pertama bermukim di tempat angker, sempit dan berbau ini, aku merasakan ketakutan membabibuta. Ketakutan yang belum pernah menyerangku sebelumnya. Benar. Di malam itu, saat memeluk sepi, aku dikagetkan dengan kedatangan makhluk buruk rupa. Kepalanya kuda. Berbadan manusia dengan ekor buaya di belakangnya. Gigiku menggigil. Leher gemetaran. Bulu kuduk berloncatan.
Ia mencoba merapat. Sepasang kakinya menggelinding ke arahku. Meski demikian, aku sangat enggan memperhatikan. Lantas dengan senyum dibuat-buat, ia menggelesot di depanku. Kurang tahan dengan gelagat dan gerak-geriknya, akhirnya untuk sementara aku mengalah.  
“Kau siapa?”, aku memulai bersoal.
“Siapa kau?”
Kurang ajar. Baru bersua sekali ia sudah nekat bikin onar. Nyaris aku terbelit kemarahan, jika saja tak mencoba bersabar.
“Jujurlah, siapa kau sebenarnya! Baru pertama kali aku mengetahui makhluk aneh sepertimu.” Aku bertutur pelan, berharap ia mau berterus terang.
“Masa kau tidak mengenalku? Jangan pura-pura begitu!”
“Apa untungnya membohongimu. Presiden saja malas menganggapmu sebagai warga negara.” Emosiku kembali diuji.
“Atau jangan-jangan kau malu, ya.”
“Malu kenapa?”
“Malu mengakui diriku.”
“Malu? Atas dasar apa?”
“Wah.. wah.. Kau ini sudah mati. Masih sombong juga.”
“Ya, maaf. Tapi, benar. Sumpah, aku tak mengenalmu. Katakan siapa dirimu! Plissss!”   
“Eealah… Pakai sumpah segala. Benar kau tak tahu aku? Aku ini amalmu.”
“Amalku? Astaghfirullah.”
Jantungku nyaris lepas. Tapi, sungguhpun lepas, mustahil aku mati untuk kedua kalinya.

Menghabiskan Malam Kedua Bersama Si Botak
Akrok. Namanya Sujak Akrok. Tampak ganjil memang. Selagi di dunia, rasanya belum pernah dengar ada spesies berjuluk demikian. Namun, di sini aku menemukannya. Dan berkumpullah dua makhluk yang sama-sama profesional. Ah, jangan berkomentar dulu! Profesional dalam arti keduanya—aku dan ia—meneguhi posisi masing-masing. Ia satwa dari neraka. Sedang aku berperan selaku mangsanya.  
Apakah kau tahu? Tepatnya di malam kedua, ia datang padaku tanpa permisi terlebih dahulu. Belum sempat menyapa, ia langsung melilit tubuhku tanpa ampun. Ular besar bersisik sangar berkepala pelontos itu mempunyai taring yang, emmm… tajamnya melebihi pedang. Sekali melingkar, aku jangkap dibuatnya lemah tak berdaya. Serata badanku melemas. Dan, jika urung memberanikan diri, sudah ia keremus kepalaku dengan taringnya itu.
“Tunggu!”
“Tunggu!” Terpaksa kuulangi lagi kata itu. Aku masih bingung untuk mencari kata yang pas supaya ia tak tersinggung.
“Jika berkenan, beritahukanlah apa kesalahanku, sehingga tega-teganya kau bermaksud menyantapku.” Aku berlagak sopan.
“Jadi, kau belum mengerti kesalahanmu?”. Suaranya menggelegar bak halilintar menyambar.
“Iyy… iyyyaa.” Tiba-tiba aku gugup.
“Begini saja. Jawab saja pertanyaanku! Bagaimana shalatmu semasa hidup?”
“Setahuku, shalatku amat khusyu’. Setiap membaca alfatihah, surat pendek dan doa-doa di dalamnya, idghom, idzhar, ikhfa’, kubedakan. Panjang-pendek bacaan benar-benar kuteliti. Artinya kuresapi. Guna menggenapkan faedah, terlebih dulu kugosokkan siwak tiga kali. Kukenakan baju koko terindah. Dilengkapi dengan sajadah, sarung, kopyah hitam, serta surban, yang kubeli dengan harga tinggi dan diimpor dari luar negeri.”  
“Bagimu itu baik?”
“Sangat baik. Saking baiknya, aku ditunjuk warga RT. lima untuk menjadi imam di musholla Sabil al-Muttaqin. Maklumlah. Selain shalatku dinilai sempurna, track-record-ku tidak terlalu buruk. Paling-paling mereka mengenalku sebagai mantan maling. Tapi itu kan dulu. Dulu sekali. Sebelum aku bertaubat dan mengubah jalan hidupku tiga ratus enam puluh derajat.”   
“Kau bangga?”
“Ya iyalah. Bagi orang seusiaku, hal itu patut dibanggakan. Apalagi, ya apalagi, aku merasa diuntungkan. Dengan diangkat sebagai imam baru, Yetti, anak Mbok Juminten, jatuh hati padaku. Ini namanya menyelam sambil minum air. Hahaha…”
Tanpa babibu, ular itu menghisap darahku. Dan….
***
Itulah sepotong ceritaku dari alam yang belum pernah kau jajaki, kawan. Alam yang menjadi loka mampir sementara bagi umat manusia sampai dibangkitkan—seperti halnya tumbuhnya tanaman baru—pada yaum al-qiyamah kelak. Ketahuilah! Bahwa di alam tersebut setiap penghuni berada di kolong dunia (masa lalu) sekaligus akhirat (masa depan). Hal yang barangkali akan membuatmu terheran-heran. Ya. Terheran-terheran sembari mencocokkannya dengan semua teori yang kaupelajari dari buku-buku anggitan kaum sarjana dan intelektual. Dan, jika tiada satu teori pun membenarkannya. Maka, aku sarankan untuk percaya saja. Itulah rahasia Tuhan, yang sampai ini hari aku juga masih penasaran.
Kini, aku tahu. Kesalahan paling telak bagiku yaitu terlalu bernafsu untuk bertemu maut. Aku tergiur dengan apa yang diobral mulut kiai sompret itu. Mumpung berkarib dengan kebaikan, aku ingin segera menjemput kematian. Pikirku. Dalam keyakinan sesatku, mati dalam kondisi demikian jelas tergolong husnul khatimah. Balasannya tiada lain tiada bukan adalah surga yang dipenuhi bidadari-bidadari cantik jelita, berusia muda, montok payudaranya serta padat pinggulnya. 
Celakanya, keputusanku seratus persen salah. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengakhiri masa aktifku di bumi. Padahal setiap yang bernyawa akan menjumpai mati. Dan, dalam hal ini (boleh disebut pengkhianatan), apa yang dilakukan Yetti bisa dibenarkan. Sengaja ia memuntahkan kembali apa yang terlanjur ia minum, seusai berikrar untuk mati bersama. Sedangkan aku langsung kelenger, setelah menelan pil jahanam perampas kehidupan. Yetti selamat. Adapun aku, seketika menjelma mayat.   
Wahai kawan! Kalau memang cerita ini berguna, semoga menjadi pelajaran bagi semua. Untuk senantiasa menimbang sebelum melanting tindakan. Agar enggan gegabah dalam setiap perbuatan. Dan, barangkali cukuplah kisah ini sebagai peringatan bagi mereka yang kurang beriman. Yang hidup bergelimang kekurangwaspadaan. Atau sesiapa yang gemar meremehkan segala persoalan.
Sudah, sudah. Aku tak hendak memperlebar kalam. Yang jelas, hingga malam kedua saja, aku sudah terlampau sengsara. Entah siksa apa lagi yang akan kuterima di malam ketiga, keempat, kelima, serta malam-malam selanjutnya.

Yogyakarta, 2012

Minggu, 14 Juli 2013

Berburu Husnul Khatimah (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jabar" edisi Minggu, 7 Juli 2013)


Sudah beberapa hari Kakek terlihat sangat lemah. Maklum. Di usianya yang senja, Kakek rajin melahap berbagai penyakit. Berkunjung ke dokter menjadi rutinitasnya yang membosankan. Saban hari, di mejanya, teronggok aneka macam obat yang ditebus dari apotek.
Kakek sadar, kalau ajal tengah menantinya. Rasanya, ingin sekali Kakek mereguk kembali kebiasaan yang silam ditunaikan; ialah membaca dan menela’ah al-Qur’an. Sebelum dirundung sakit-sakitan, Kakek gandrung melantunkan firman Tuhan. Meski suara kurang nyaman dicerap, Kakek begitu percaya diri. Sudah bisa dipastikan, tunai melaksanakan sholat Shubuh, berdzikir, dan merapal aurad-nya, Kakek mengalunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan keras.
Banyak yang tak mengerti, kenapa Kakek gemar memadatkan suara tiap kali bertadarus. Bahkan, ketika penyakit lambung Mbah Harjo kumat, Kakek tetap urung melirihkan suara. Tak ayal, para tetangga melempar gunjingan dahsyat. Enggan jera, lusa, Kakek malah menjinjing vokalnya lantang. Istri dan anak-anaknya tergencet amarah, tatkala mencoba mengingatkan renta berambut uban itu. 
“Mendengarkan bacaan al-Qur’an itu menyehatkan. Memang, manusia sekarang pilih mengakrabi syetan ketimbang kalam Tuhan.” Begitulah dalihnya.
***
Satu-satunya keinginan Kakek yang tersisa yaitu wafat pada malam Jum’at. Itulah mengapa, semua anak beserta cucunya mengantongi titah untuk senantiasa mendoakan agar harapan tersebut ringan terkabul.
Le, Nduk, cucu-cucuku semua. Mati malam Jum’at itu mulia. Siapa saja yang nyawanya dicabut pada malam itu, ia dijamin masuk surga. Habis sembahyang lima waktu, jangan lupa, ya! Doakan supaya aku mati pada malam Jum’at.”
Kaul itulah yang berhembus dari katup mulut Kakek ketika kami menggelesot di rumahnya. Lirih, lembut, namun menghunjam di relung dada. Kami sekadar mematung menenggak apa yang dilontarkan. Sudah berlusin kali Kakek menyuruh kami berkumpul, menadah pesan serupa, dan menganggukkan kepala setelahnya. Terlebih lagi, jika tidurnya menghidangkan mimpi buruk. Entah mimpi melihat layang-layang putuslah, menemukan gigi tumbuh di jantunglah, atau jadi pengantinlah. Dalam mitologi Jawa, seseorang yang mengunyah mimpi-mimpi tersebut, diyakini bahwa tak lama lagi ia akan terusir dari dunia. Alasan itu pula yang membuat Kakek enggan dibawa ke rumah sakit. Aku ingin mati di rumah dengan tenang, selorohnya ketus.
Walakin, firasat Kakek kerap meleset. Apa yang dikhawatirkan selama ini urung terjadi. Hingga sebagian di antara kami merasa bosan dan meringik. “Ada-ada saja. Mau mati saja, sulitnya minta ampun.”
***
Lembar-lembar nestapa menyelimuti ubun-ubun Kakek. Betapa pedihnya, menutup mata tanpa disandingi segenap buah hati. Lek Sum—bungsu yang paling disayangnya—pun tak menunjukkan batang gigi. Sebagian dari mereka, yang sengaja absen pada malam mangkatnya Kakek, menelan sesal. Alangkah pandirnya. Malas mereka menuruti permintaan pungkasan Kakek: berhimpun bersama di kediamannya. Mereka kira, Kakek membual belaka, semisal hari-hari yang lewat.
Kesedihan itu…. Kesedihan yang bagai pisau tajam itu nyatanya hanya singgah sebentar. Kesedihan tersebut lekas berkarat, setelah kami memergoki Kakek berpulang pada malam Jum’at, tepat saat jarum jam memeluk angka sembilan.
Disertai tangis membuncah, Ibu, selaku keturunan tertua, melempar senyum—meski dengan cara dipaksa.
“Saudara-saudaraku. Janganlah bersedih. Percayalah! Ayah pergi dalam keadaan husnul khatimah. Ayah bakal masuk surga. Di sana sudah menunggu bidadari-bidadari cantik jelita, ladang pahala, serta kenikmatan luar biasa.”
***
Mbah Laeman, sepuh yang istiqamah shalat berjamaah dengan Kakek di mushalla, sekonyong-konyong menudungi usia. Sontak, seluruh warga desa kami ribut. Apalagi, apalagi kematiannya tergolong tak wajar. Di leher layunya tergolek bekas jeratan. Rupanya, lelaki yang jangkap dua dasawarsa ditinggal mati sang istri dan bermukim sebatang kara di gubuk reyot itu gantung diri. Kang Diran, sepulang dari berburu belut, menemukan tubuhnya menggantung di pekarangan.
Kami tercekat, sempat tak percaya. Mbah Laeman merupakan salah seorang di desa kami yang dikenal saleh, tekun bersila di mushalla, dan suka membagi-bagikan buah nangka. Pun dinilai terlampau sabar meladeni cobaan hidup. Batuknya yang membabibuta, penyakit bengek yang menyiksa, serta kemiskinan yang tiada tara, sukar mengantarnya menyerah. Amat jarang—atau bahkan, barangkali tak pernah—kami memungut keluhan yang menyembul dari lidahnya. Kerap, kami dibuat geleng-geleng kepala. Sebab, dalam menampung berat dan rimbunnya ujian, ia mampu meniti kehidupan dengan dada lapang.
“Kaum muslimin-muslimat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Telah kembali ke hadirat Ilahi: Mbah Laeman, warga RT. 10. RW. 2 desa Dagugagap, pada jam sembilan tadi malam. Jenazah akan disembahyangkan di masjid al-Falah pada jam sepuluh pagi. Bagi yang bermaksud takziah, diharap hadir maksimal lima belas menit sebelum jenazah diberangkatkan.”
Warta berkabung tersebut disebarluaskan oleh Kang Hadi, kala surya belum benar-benar mengapung. Sebagai antisipasi agar, malamnya, warga yang sedang istirahat tiada terganggu. Ditambah lagi, kematian Mbah Laeman yang tragis, rentan menerbitkan suasana mencekam serta rasa takut bagi sebagian orang. 
Ketika mengambil air di sumur dekat mushalla, kudapati Kang Pardi asyik berbincang dengan Kasiyo. Sembari menimba—berpura-pura melihat ke dalam sumur—aku menyimak apa yang tengah mereka bicarakan.
“Hei, Yo. Jangan bilang ke siapa-siapa ya! Kemarin Mbah Laeman habis ngobrol denganku.” Mulut Kang Pardi berkecek enteng.
“Memangnya, dia ngomong apa?” Kasiyo serius menanggapi.
“Jangan keras gitu kalau ngomong! Mbah Laeman itu sebenarnya pengen mati seperti Mbah Doha.”
“Terus, apa hubungannya dengan kematiannya?”
“Uhh… Bodoh betul kau ini! Kau tahu kapan Mbah Doha meninggal?”
“Malam Jum’at”
“Kalau Mbah Laeman?”
“Tadi malam.”
Lha, ya.. tadi malam itu malam apa?” Sepasang tanduk mulai berkecambah di kepala Kang Pardi.
“Malam Jum’at”
“Sama, kan?”
“Terus, hubungannya dimana?”
“Kau dulu sekolah di mana? Kerbau..!”
“Aku kan gak sekolah.”
“Pantas saja! Mbah Laeman itu pengen mati mirip Mbah Doha. Paham?”
“Tapi Mbah Laeman kok kendat. Gak samalah dengan matinya Mbah Doha. Harusnya, sebelum mati, dia juga senang minum obat dan menyerahkan bokongnya ke Pak Dokter.”
“Makananmu apa? Banyak makan gizilah, biar cerdas! Maksudnya, Mbah Laeman  pengen mati pada malam Jum’at, seperti Mbah Doha.”
“O, gitu.. Memang apa enaknya mati malam Jum’at?”
“Kata Pak Kiai, barang siapa meninggal pada malam Jum’at, maka ia mendapat husnul khatimah.”
“Husnul khatimah? Bukannya Mbak Husnul sudah jadi istri Pak Gendut?”
Kang Pardi mendengus kesal.
***
Pagi merayapi siang. Shalat jenazah itu dibuntuti selingkar 100 orang. Berjibun memang. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih teliti, sungguh kedatangan mereka bukanlah untuk menghibahkan penghormatan terakhir bagi Mbah Laeman. Ada yang ingin mengetam sedekah dari sisa warisannya. Banyak pula yang berhasrat memafhumi lebih dalam faktor apa yang menyelinap di balik kasus bunuh diri lelaki fakir keturunan itu.
Usai memimpin shalat, berdoa sepemakan sirih, dengan lirih Pak Kiai bertutur kepada para hadirin, “para jama’ah sekalian. Setiap jenazah memerlukan kesaksian, tak terkecuali Mbah Laeman. Kesaksian ini merupakan kesaksian terakhir baginya sebelum menuju alam barzah. Jika semua jama’ah memberi kesaksian bahwa Mbah Laeman adalah hamba yang baik, maka ia dicatat oleh Allah selaku orang baik. Sebaliknya, jika disaksikan sebagai hamba yang buruk, ia pun buruk dalam pandangan Allah.”
Serejang kemudian, orang berjenggot abu-abu itu bersoal, “apakah Mbah Laeman termasuk hamba yang baik atau buruk?”
Semua terdiam.
“Mbah Laeman tergolong hamba yang baik atau buruk?” Pak Kiai mengulangi pertanyaan dengan suara agak diangkat.
Para jama’ah masih nekat bungkam, sambil memandangi keranda yang memuat tubuh Mbah Laeman.
“Saya tanya, apakah Mbah Laeman termasuk hamba yang baik atau buruk?”
Sekali lagi, jawaban tak kunjung terbuntang.
“Para jama’ah sekalian. Mohon dijawab! Mbah Laeman itu hamba yang baik atau buruk?”
Seseorang di antara kami—kalau tak salah Kang Gondo—menimpali, “kata apa yang menurut Pak Kiai pantas diucapkan? Akankah kami berkata bahwa mayat yang kami shalatkan ini adalah orang baik. Padahal, padahal dalam pengelihatan kami, ia sangatlah buruk. Sangat buruk sekali.”
Udara pecah. Komplotan debu berkeliaran di pelataran masjid.

Yogyakarta, 2012

Catatan:
Kendat     : istilah dalam bahasa Jawa yang berarti perbuatan bunuh diri dengan cara menggantung leher.

Narasi Celana (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 23 Juni 2013)


Celana menyimpan berbagai narasi. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Narasi-narasi tersebut melekat seiring dengan laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang.
Dahulu kala, penggunaan celana ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai celana pada umumnya bertujuan untuk menutupi alat vital dari penglihatan orang lain. Celana juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh dari kebekuan saat musim dingin tiba. Berbakal kain atau bahan baku lainnya, celana dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian, menggelindingnya roda waktu nyatanya menunjukkan kegunaan celana kian beragam. Celana tidak lagi melulu sebagai pelindung tubuh. Lebih dari itu, celana telah dilegitimasi menjadi simbol kebebasan hingga medium pemberontakan budaya.
Paska berakhirnya perang di Eropa, orang-orang muda—terutama mahasiswa—merayakan dengan beramai-ramai memakai celana. Barang tentu bukan semua jenis celana yang bisa digunakan. Entah atas dasar apa akhirnya jeans menjadi satu-satunya alternatif yang telak guna mewakili kondisi batin mereka. Pada waktu itu, celana jeans tak ubahnya lambang kebebasan, yang berhasrat meninggalkan segala keterkungkungan menuju bilik kemerdekaan. 
Mengenai celana jeans ini juga, Tia Meutiawati (2007) mencatat bahwa pada 1950-an kerap ditemukan fenomena gerombolan pemuda Jerman memakai celana jeans ketat, sebagai suatu cara Halbstarke—julukan bagi penggandrung musik Rock’n Roll—menggelar aksi dalam rangka menentang standar kehidupan masyarakat tradisional. Pemberontakan kaum muda melawan generasi tua merupakan di antara proses seseorang tumbuh menjadi dewasa. Pertentangan ini di belahan dunia barat mendapat dimensi baru, karena untuk pertama kalinya timbul kebudayaan anak muda yang tidak bergantung pada kebudayaan orang tua, bahkan cenderung melepaskan diri dari cengkeramannya.
Celana juga pernah menjadi penunjuk penting dalam mengidentifikasi identitas agama seseorang. Hanya dengan memakai celana, bisa diketahui bahwa seseorang menganut agama tertentu. Misalnya, ketika bendera VOC masih berkibar di bumi pertiwi, celana merupakan penanda yang pasti mengenai agama para tuan tanah asing. Dengan menjunjung tinggi egosentrisme, Belanda bernafsu untuk senantiasa mempertahankan busana Eropa. Oleh dasar itu, hanya orang-orang pribumi pengikut Kristiani-lah yang diperbolehkan mengenakan pakaian bercorak Eropa di daerah-daerah, tentunya dengan pengawasan VOC. Tak ayal, celana dijadikan sebagai pembeda orang-orang ini dari orang-orang lainnya di Batavia, yang berkewajiban untuk setia pada pakaian tradisional serta tutup kepala mereka. Orang-orang Indonesia non-Kristiani dilarang berpakaian layaknya orang Eropa. (Henk Schulte Nordholt [ed.], terj. M. Imam Aziz, 2005: 66)

‘Melawan’ dengan Celana Dalam
Sejarah berceloteh bahwa ikhtiar perjuangan kaum Hawa dalam menuntut persamaan derajat dengan kaum Adam enggan surut. Mereka merasa tidak puas, jika hanya mempermasalahkan posisi suami dalam keluarga—yang leluasa ‘keluyuran’ di luar rumah, sedangkan istri berdiam diri di kamar, bersolek, mengurus anak, dan menyiapkan hidangan untuk makan. Lebih dari itu, mereka juga mendesak agar cara pandang dan penetapan standar masyarakat mengenai busana diadakan perombakan. 
Menggelar aksi perlawanan luar biasa, kaum wanita berjuang untuk mengantongi persamaan dengan kaum pria dalam hal berbusana. Akhirnya pada tahun 1960-an apa yang mereka lakukan membuahkan hasil; celana menjadi bagian dari pakaian wanita, meskipun hanya boleh dikenakan sebagai pakaian dalam. Setelah perjuangan mereka yang tak kenal lelah, pada tahun 1970-an peraturan-peraturan serta tolok ukur masyarakat mengenai busana lambat laun berubah. Celana dengan modelnya yang bervariasi telah diakui sebagai bagian dari busana wanita, baik untuk perlengkapan casual (santai) maupun formal.
Di Indonesia, saat kasus perkosaan sedang marak, Pita Venus—celana dalam anti perkosaan—menjadi peranti jitu bagi para wanita dalam menolak kesewenangan pria yang ingin menikmati tubuh mereka. Produk celana dalam ini menjadi pilihan tepat agar virginitas wanita tetap dipertahankan dan gangguan mental sebab ulah kurang senonoh pria hidung belang bisa dihindarkan.
Demikianlah, celana dalam menjadi salah satu sarana penting bagi kaum wanita untuk mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur patriarkis yang sukar bergeser. Dengan mengenakannya, mereka berharap agar posisi kaum pria tidak selamanya bertengger di atas serta penjajahan atas ruang pribadi wanita semakin berkurang.

Menyuguhkan Ilham
Meskipun terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam celana terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Itulah mengapa, bagi para sastrawan, sering kali celana menjadi pemantik bagi lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas sekaligus orisinal. Sebutlah Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin menjemur celana pada puisi-puisinya. Begitu cintanya pada celana, sampai-sampai himpunan puisinya pun bertajuk Celana (Indonesia Tera, 1999), yang juga memuat puisi tentang celana, di antaranya: Lalu ia ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/ mencari kubur ibunya/ hanya untuk menanyakan,/ “ibu, kausimpan dimana celana lucu/ yang kupakai waktu bayi dulu?”// (Celana, 1).  
Berbekal celana, Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan menyegarkan. Bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah dipahami, puisi Jokpin bersikeras menyelipkan pesan yang kuat dan melanting kritik sosial yang pedas dan menukik. Dalam gurauannya tersemat filosofi mendalam tentang kehidupan. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling yang dangkal dan asal-asalan. Tak heran, jika oleh para kritikus sastra, usahanya yang gigih tersebut dinilai sanggup mengadakan pembaruan pada puisi Indonesia. Walhasil, atas berkah celana, Jokpin pun menerima beberapa penghargaan bergengsi, seperti Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2005 dan buku terbaik pilihan Tempo tahun 2012.
Adalah celana dalam, yang mengilhami David Beckham untuk mengukuhkan ikatan persahabatan. Betapa tidak! Sebagai tanda persahabatan, pesebak bola tersohor yang gemar mendermakan kekayaannya tersebut pernah menghadiahkan 50 pasang celana dalam kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Di luar dugaan, ternyata Ibu Negara Michelle Obama mengungkapkan bahwa suaminya sangat senang memakai celana dalam pemberian Beckham. Hal yang barangkali berbanding terbalik apabila suatu hari presiden Indonesia mendapat kiriman berupa bingkisan celana dalam dari seorang warga. Pastilah celana dalam tersebut diyakini selaku markah penghinaan!

Yogyakarta, 2013

Merawat Anomali dalam Kisah Fiksi (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 16 Juni 2013)


Judul: Badja Matya Mantra (Himpunan Cerpen)
Penulis: Budi Afandi
Terbit: Maret 2013
Penerbit: Akar Pohon
Tebal: 120 halaman
Harga: 30.000,-

Boleh jadi buku rakitan Budi Afandi (BA) ini merupakan antitesis terhadap kemapanan seorang manusia dalam memandang kehidupan. Ia tidak menyeru, mengajak kita untuk memetik nilai-pukau dunia dengan memeluk erat kenormalan, kebanalan, ataupun kelaziman yang memang biasa terjadi di sekitar. Ia, dengan caranya sendiri, mencoba menawarkan secawan anomali guna memahami ketidakberesan dalam alur hidup yang serba profan. 
Bermodal anomali-anomali tersebut, BA bukannya bermaksud menjauh-hindarkan manusia dari realita, menebar bujuk-rayu untuk bersama-sama menapaki alam khayal bertabur kabut fatamorgana. Sebaliknya, ingin ia tunjukkan bahwa dalam hiruk-pikuk dan hingar-bingar semesta, ada banyak sekali keanehan dan keganjilan, baik dari tangan manusia atau memang lahir tanpa rekayasa.
Meskipun kisah-kisah yang dirancang oleh BA terbilang absurd, akan tetapi ia tetap mampu menunjukkan bahwa fondasi fiksi yang didirikan berbahan dasar logika. Dengan demikian, kesan ‘ngawur’ dan ‘asal-asalan’ dapat dengan leluasa ia singkirkan, tanpa harus mengorbankan klimaks kenikmatan (ekstase), sebagai daya pikat terbesar bagi pembaca. Hasilnya mengejutkan. Setiap kata yang dipadu-eratkan dengan kata lainnya mengedepankan keselarasan, keharmonisan, dan kesetiaan terhadap alur pikiran manusia pada galibnya. Dari sini, dapat kita asumsikan bahwa BA genap memekik lantang, “hidup boleh irasional, namun cerita fiksi harus bersandar pada logika formal.”
Sepuluh cerpen yang dibuhulkan dalam satu ikatan ini sengaja mengelak dari apa yang gemar dihidangkan oleh para penulis lain. Betapa sudah sering kita dapati, tak bosan-bosannya pembaca diajak memperhatikan ketimpangan-ketimpangan sosial di negeri ini, ulah koruptor yang tak tahu diri, serta kebejatan ayah yang menghamili anak kandung sendiri. Juga tak kalah kerapnya, kisah-kisah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’ yang menuntut ucapan belasungkawa ataupun sumbangan air mata. Parahnya, ada indikasi kuat bahwa kisah-kisah tersebut tidak pernah terlepas dari proses memfiksikan berita yang bertebaran di media massa.
Cerpen “Bola Mata di Lubang Pintu” bercerita tentang Airah dan suaminya yang mendapat hadiah rumah baru dari atasan. Rumah itu adalah petaka bagi Airah, karena dalam rumah itu ia berulang kali mengalami mimpi buruk. Suatu pagi, Tabah membangunkannya, namun gagal. Nafas Airah tersengal-sengal. Berkali-kali Tabah membuka kelopak mata Airah, namun tetap bergeming. Akhirnya Tabah membopong Airah keluar dari rumah dengan mobil. Airah tersenyum melihat cara Tabah mengangkat tubuhnya. Ia senang, sebab dengan cara itu, ia diperhatikan oleh Tabah.
Di satu sisi, dalam cerpen di atas tercecer benih-benih ketakutan sehingga mengundang suasana muram, namun di sisi lain juga tersimpan serbuk kebahagiaan sehingga mengajak pembaca untuk menyunggingkan senyum. Oleh BA, pembaca tidak dipaksa terus-menerus mengencangkan geraham, melotot dengan bola mata nyaris lepas, mengerutkan dahi serta menaruh khawatir bagi nasib tokoh. Menariknya, setelah ketegangan-ketegangan tercipta, BA mengendurkan syaraf pembaca dengan adegan tokoh yang menggelitik.
Cerpen “Badja Matya Mantra” mengisahkan pertemuan dua sahabat lama. Salah satunya mengaku hendak mempelajari ilmu Badja Matya Mantra. Ketika berhasil dan mengamalkan ilmunya, bola mata Canang menghitam seluruhnya. Hal itu pula yang terjadi saat calon istri sahabatnya, Linggar, terduduk di tepian ranjang pengantin penuh mawar. Kedua mata wanita itu sebam dan meneteskan darah, lalu tubuh telanjangnya dalam sekejap juga bersimbah darah. Setelah tersadar, sang tokoh berkata, “pertemuanmu dengan Linggar adalah karunia. Pernikahanmu dengannya tidak bisa dihentikan. Yang digariskan akan terjadi. Namun mengakhirinya dengan darah atau tidak, masih menjadi pilihanmu.” (halaman 75).
Dengan bayangan seperti itu, ada sebuah peringatan bahwa jodoh manusia sudah menjadi ketetapan Tuhan yang tidak mungkin dilawan. Meskipun demikian, sang tokoh berusaha membesarkan hati sahabatnya dengan berpesan bahwa Murat tetap dibekali kemampuan untuk mengusir kesedihan tersebut dengan cara berusaha sekuat tenaga. Di sinilah letak kekuatan cerpen ini. Meskipun awalnya BA menjerat tokoh dengan permasalahan pelik yang akan dihadapi ketika ia menikah dengan kekasihnya, namun di akhir kisah ia menunjukkan titik terang—melalui tokoh Canang—dengan memberikan motivasi dengan rasa percaya diri bahwa setiap permasalahan akan mampu diatasi, jika dihadapi dengan selalu berjuang menjauhkan diri dari kata ‘menyerah’.
Mirip sejumlah cerpen lainnya, cerpen “Lelaki Lumpuh” hendak mewartakan bahwa dalam hidup yang padat persoalan, masih tersisa sebongkah harapan (tampaknya, hampir semua cerpen dalam buku ini berpretensi demikian). Lelaki yang gila karena ditinggal istrinya, nyatanya, masih menemukan jalan keluar dari permasalahannya dengan perbuatan sepele. Ia, dalam kegilaannya, menganggap bahwa cara terbaik dalam meringankan beban pikiran adalah dengan melahap makanan yang diberikan seorang perempuan yang memiliki kemiripan dengan istrinya. Ini merupakan salah satu ciri khas BA. Pembaca tidak selalu dibujuk untuk menggugat ketidakberesan dalam diri tokoh, melainkan juga memberi jalan pintas—berupa solusi atau sekadar penghiburan diri—di pucuk kisah.

Yogyakarta, 2013