Senin, 31 Desember 2012

Sebongkah Cinta dalam Bungkus Cerita (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Jurnal Nasional" edisi Minggu, 30 Desember 2012)

Judul: Kisah Seekor Kupu-kupu
Penulis: Thoni Mukarrom I.A.
Terbit: Oktober 2012
Penerbit: Shell Jagat Tempurung, Padang
Tebal: xii + 94 halaman
Harga: Rp. 43.000,-

“Tuhan, ajari aku mengenal cinta sebagaimana orang-orang lain mengertikannya. Karena, kata orang, dia adalah sumber segala-galanya” (Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah)

Pada awal-awal kepenulisan, cinta menjadi tema menarik bagi mereka yang ingin meluapkan imajinasi dalam karya fiksi. Cinta menjadi pilihan utama guna menyumpal gairah beraksara dalam capaian estetika. Bukan hanya karena setiap orang dibekali rasa cinta, namun juga terdapat khasiat serta faedah bagi sesiapa yang berusaha mengabadikan cinta. Bagaimana tidak? Dengan menuangkan cinta dalam bentuk karya, niscaya seseorang dapat memungut remah-remah hakikat kehidupan. Pun, berbekal cinta, seseorang dapat mendayagunakannya dalam membangunkan jiwa yang sedang terkantuk. Maka tak heran, jika beberapa dasawarsa terakhir bertebaran buku puisi maupun prosa yang memanfaatkan cinta sebagai kekuatannya. Dalam kapasitasnya, cinta dipercaya sebagai nutrisi yang sanggup memupuk rasa kemanusiaan dalam diri manusia.
Meskipun demikian, sebenarnya tidak mudah menggarap tulisan dengan tema cinta. Tak jarang, penulis merasa kesulitan membabibuta manakala ingin merampungkan karya beralur cinta. Seringkali ketika menambal-sulam anak ruhaninyameminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis harus berjibaku meredefinisikan cinta, supaya tidak terjebak dalam idiom klise, jangkat, dan serba banal. Selain itu, potongan-potongan metafora yang dihidangkan juga patut diperhatikan. Dalam hal cerita khususnya, ungkapan-ungkapan yang berbaur-berkelindan dalam balutan kisah tragis maupun melankolis, menjadi daya pemantik tersendiri dalam menggait pembaca. Kekurangwaspadaan terhadap hal ini mudah mengakibatkan seseorang tersingkir dari ‘arena persaingan’ karena mendapat stempel sebagai penulis abal-abal dengan kulitas yang dangkal.
Akan tetapi, hal di atas mampu ditepis oleh Thoni Mukarrom (TM). Sebab menguasai bahasa sebagai media ungkap, TM leluasa menyajikan beberapa cerita syarat “pengalaman cinta” yang mengesankan sekaligus menggetarkan, baik berasal dari diri sendiri, orang lain, atau bahkan lingkunganbenda mati ataupun hewan. Juga yang dipetik dari pohon imajinasi belaka. Bagaimanapun ganjil dan absurd-nya, pengalaman cinta yang dibuhulkan dalam cerita tersebut merupakan gambaran dari kehidupan masyarakat. Tidak salah apabila Ignas Kleden (dalam An Ismanto, 2012) menyatakan bahwa karya sastra bisa mencerminkan realitas sosial di sekelilingnya. Meskipun demikian, karya sastra yang bisa dinikmati, tidak harus mencerminkan realitas sosial di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak.

Sebuah Ulasan Ringkas
Di bawah ini disajikan ulasan ringkas atas buku kumpulan cerpen TM:
Cerpen “Yang Datang Malam Itu” menampakkan gejolak cinta terlarang. Seorang lelaki cukup umur berhasrat untuk kembali merajut ikatan dengan kekasihnya. Ingin sekali ia mengulangi kenangan indah pada saat remaja. Padahal, ia genap memiliki anak dan istri. Lelaki yang ditampilkan dengan sosok “aku” tersebut sangat menderita, sebab tidak mampu menghapus rasa cinta kepada sang pujaan hati. Cerpen ini menarik, karena dibuka dengan ungkapan yang tidak biasa, “malam itu ada malaikat maut datang bertamu, lalu menuangkan minuman, kau meminumnya.” (halaman 19)
Adapun cerpen “Kisah Seekor Kupu-kupu”yang dijadikan judul buku ini—, menampilkan kisah memukau dengan tokoh utama seorang pengamen. Ia mencintai seorang gadis dan berhasil menjalin hubungan asmara dengannya. Celakanya, ayah sang pacar terbelit utang, sehingga rela memberikan anaknya untuk diperistri orang lain. Gadis itu dijodohkan dengan pegawai pabrik. Akan tetapi, si gadis menolak, karena lebih memilih seseorang yang meskipun berkantong kering, namun mampu mengisi hatinya. Pasangan remaja yang memadu kasih tersebut nekat mempertahankan ikatan yang telah mereka bina. Suatu waktu, si gadis tiba-tiba menjelma kupu-kupu. Adapun pemetik gitar yang selalu direndahkan dan dihina orang itu berniat merubah dirinya menjadi kupu-kupu, agar cintanya selalu dapat bersatu dengan kekasihnya. 
Cerpen di atas merupakan dua di antara cerpen-cerpen yang disatukan dalam buku persembahan TM untuk Kostra (Komunitas Sanggar Sastra). Dari ke-17 cerpen TM, semuanya mengangkat cinta sebagai tema, kecuali cerpen bertajuk “Selamat Datang di Kota Kami” dan “Memanggil Bapak”. Akan tetapi, jika lebih teliti, cerpen-cerpen ini juga boleh dikategorikan sebagai cerita bertema cinta. Barang tentu dalam hal ini, yang dimaksud adalah cinta dalam pengertian yang luas.
Cerpen “Selamat Datang di Kota Kami” menceritakan tentang tersesatnya backpacker di kota antah berantah, yang tak pernah sekalipun disentuh hujan. Kota yang ditinggalkan oleh para pemuda untuk melancong ke kota lain demi berburu kehidupan yang lebih menjanjikan. Kota yang hanya dihuni oleh mereka yang ingin bertahan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Cerpen ini mengajarkan bagaimana cara merawat cinta pada tempat tumbuh-berkembangnya seseorang. Dari sinilah, rasa cinta kepada tanah kelahiran ditularkan, semangat nasionalisme diperjuangkan.
Begitu juga dengan cerpen “Memanggil Bapak”. Cerpen ini mengisahkan gadis kecil yang setengah mati merindukan sosok bapak dalam kehidupannya. Malangnya, ia merasa kebingungan karena hampir setiap hari ibunya menerima tamu laki-laki. Ia bingung, mana di antara mereka yang benar-benar bapaknya. Sebagaimana ibunya yang tunasusila, sering ia mengalami penderitaan batin karena menerima pelecehan seksual oleh teman-temannya sendiri. Suatu hari, ia mencuri foto lelaki tampan dari dompet sang ibu. Mengira foto itu adalah bapaknya, suka sekali ia memeluk dan berbicara dengannya. Anak perempuan itu nekat mempertahankan haknya, meskipun dicap durhaka oleh ibunya. Cerpen ini menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu, seorang anak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan rasa cintanya dengan hal lain. Kedurhakaan terhadap perempuan yang melahirkan merupakan keteguhan pendiriannya dalam mempertahankan rasa cinta kepada bapak.

Tiga Ciri Penting
Setelah mengamati karya TM, sedikitnya terdapat tiga ciri yang bisa digeneralisasikan sebagai berikut:
Pertama, obsesi penulisan cerita TM tidak terlalu peduli pada lokasi cerita dan kapan terjadinya. Dari sini timbul kecurigaan bahwa cerita-cerita TM menunjuk lokasi antara ada dan tiada. Sebagai misal, cerpen-cerpen “Ketika Cinta Memilih”, “Makan Malam”, dan “SMS” dikerjakan dengan menggunakan Tuban sebagai setting-nya, walaupun tidak merujuk secara tersurat warna kongkrit Tuban sebagai ‘daerah bidikan’. TM mencoba menyiasati pembaca dengan cara mengganti pantai Boom dengan pantai Kenjeran di Surabaya atau Teleng Ria di Pacitan, dan jalur jalan raya Pantura diganti dengan jalur tengah Surabaya-Bojonegoro-Blora atau jalur selatan Surabaya-Madiun-Solo. (halaman vii)
Kedua, Proses kreatif TM turut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai penyair. Apa pasal? Cerita-cerita yang terlahir dari tangannya menghadirkan suasana puitik yang pekat. Hal ini ditandai dengan kerapnya TM menggunakan diksi ‘puisi’ dalam rangka menggenapi jalinan peristiwa dalam cerita. Misalnya pada cerpen “Kata yang Hilang” dan “Tiga Lelaki di Suatu Malam”.
Ketiga, dalam merangkai cerita, TM gemar menggunakan sudut pandang orang pertama. Sosok ‘aku’, ‘saya’, atau ‘kami’ begitu kerap muncul dalam sejumlah ceritanya. Sebagai contoh, ‘aku’ menjadi tokoh utama dalam cerpen “Tarian Naga”, “Lagu untuk Ibu”, serta “Cerita untuk Cinta”. Sosok ‘saya’ ditemukan dalam cerpen “Darah”. Sedangkan sosok ‘kami’ terdapat dalam cerpen “Nglindur Sandur”. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat usaha yang sungguh-sungguh dari TM untuk sebisanya mengakrabkan diri dengan cerita-ceritanya. Dengan menempatkan orang pertama selaku tokoh sentral dalam pengisahan, diharapkan timbul eratnya hubungan psikologis antara diri penulis dengan cerita yang dilahirkan.
Buku kumpulan cerpen yang dihasilkan oleh TM dalam kurun waktu dua tahun (2009-2011) ini mengantongi dua kelemahan, yaitu: pertama, merujuk Beni Setia dalam kata pengantarnya, pilihan TM pada rujukan karakter guna menghidupkan tokoh cerita masih bersifat terbatas. Hal ini mengakibatkan proses pengayaan wacana tersendat-sendat. Mengingat, keterbatasan ragam karakter yang ditonjolkan dalam cerita menjadikan ‘proses bargaining’ antara penulis-pembaca semakin melemah. Kedua, kekurangtepatan dalam pemilihan font (bentuk huruf) dan ukuran, sehingga mengakibatkan kenyamanan pembaca sedikit terganggu. Seyogyanya, sebelum diluncurkan ke khalayak, penerbit berunding secara intens dengan penulis. Meskipun bersifat teknis, hal ini menjadi salah satu di antara penentu sukses tidaknya peluncuran karya ke publik. Alangkah baiknya bagi penulis memeriksa terlebih dahulu apakah karyanya sudah benar-benar siap diterbitkan. Karena bagaimana pun juga, penyebarluasan buku selalu berhubungan dengan konsep marketing.

Yogyakarta, 2012

Sabtu, 29 Desember 2012

Perjuangan Menyibak Tabir Maaf (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Koran Jakarta" edisi Sabtu, 29 Desember 2012)

Judul: Walk Away
Penulis: Dilaika Septy
Terbit: November 2012
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp37.000

Novel ini mewartakan kisah tentang perseteruan dua remaja yang duduk di bangku SMA Pramudya. Perseteruan antara Yoga dan Alvi itu lama-lama berkembang menjadi permusuhan sengit seperti Tom dan Jerry.
Yoga sadar tidak pernah bisa disiplin, sering telat bila rapat bersama teman-teman. Meskipun demikian, seharusnya tidak lantas Alvi menyalahkannya terus-terusan. Baginya, Alvi adalah jelmaan kuntilanak yang berkeliaran di sekolah dan berusaha meneror secara berlebihan. Adapun bagi Alvi, Yoga adalah anak bandel yang malas berubah meskipun saran dan masukan dari beberapa teman terus berdatangan.
NCC (Nature Care Community), salah satu komunitas di SMA Pramudya yang memiliki perhatian dan kepedulian pada lingkungan, diikuti Yoga. Bersama anggota lainnya, ia kerap mengadakan penyuluhan-penyuluhan kesehatan, bakti sosial, dan kegiatan lain pada masyarakat. Di komunitas inilah dia bertemu Alvi, seseorang yang lebih pantas disebut musuh bebuyutan daripada teman.
Karena sering bertemu, Alvi merasa kebencian terhadap Yoga menjadi-jadi. Kekurangnyamanan terhadap sikap Yoga yang seenaknya sendiri dalam rangkaian kegiatan NCC membuat Alvi muak dan memprotesnya. Alvi menilai Yoga tidak pernah berupaya bersikap dewasa dengan mengubah kebiasaannya. Dalam benak Alvi, lelaki satu itu memang egois dan enggan memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, Alvi meyakini, apabila dibiarkan, Yoga akan menjadi penghambat perkembangan dan kemajuan komunitas maupun dirinya sendiri.
Yoga dan Alvi kikuk bila kerja sama. Mau tidak mau, mereka harus menunjukkan kekompakan dan persaudaraan serta mengakhiri permusuhan alias gencatan senjata. Seperti halnya ketika mereka harus pergi bersama ke acara Go Green. Karena terpaksa, Alvi bersedia dibonceng Yoga. Akan tetapi, dalam hatinya, ia bertanya, "Kapan ini akan berakhir?" (halaman 9).
Bukan hanya dalam urusan komunitas, kebersamaan keduanya ternyata sukar dihindari saat berada di sekolah. Misalnya, ketika Alvi dan Yoga harus bersama-sama mengikuti ujian susulan. Sungguh, mereka tidak pernah menyangka bahwa Pak Anwar, guru fisika, menyuruh mengerjakan soal dalam hari, jam, dan tempat yang sama (halaman 11).
Akan tetapi, di balik cuek-nya Yoga, rupanya dia memunyai perhatian terhadap kaum hawa. Hal itu dia tunjukkan pada Keysha, saudara barunya. Kepergian mama Keysha beberapa bulan silam membuat papanya mengambil tindakan dengan menikahi mama Yoga agar perjalanan rumah tangga tetap berjalan sesuai harapan.
Perseteruan Yoga-Alvi kian menjadi. Seolah-olah tak akan pernah ada nota kesepakatan keduanya untuk menghentikan permusuhan. Dalam keadaan demikian, Yoga mulai melakukan introspeksi. Ia bertanya pada diri sendiri mengapa Alvi, teman sekomunitasnya, membencinya setengah mati.
Berbagai upaya dilakukan Yoga supaya Alvi rela memaafkan sampai-sampai pernah memintanya lewat radio. Sesuai tugasnya, penyiar menyampaikan permohonan Yoga. Untunglah, pada waktu itu, Alvi "mengudara" dan berada dalam frekuensi yang sama. Ia hampir tidak percaya Yoga melakukan itu demi mendapat maafnya.
Di lain waktu, Yoga mengajak berbicara Alvi empat mata. Dengan tulus, ia berkata, "Kamu penting banget buat aku, Vi." Melihat Yoga berlutut begitu lama, Alvi tidak tega. Akhirnya, ia mau memaafkan Yoga (halaman 140).
Novel ini mengajarkan untuk selalu bersikap lapang dada dan membuka pintu maaf seluas-luasnya bagi sesama. Selain menyajikan problem kehidupan pelajar di sekolah, novel ini memberi jalan keluar setiap masalah.

Yogyakarta, 2012

Senin, 03 Desember 2012

Vera (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Padang Ekspres" edisi Minggu, 2 Desember 2012)


Vera adalah gadis cantik jelita. Pipinya yang merah, bibirnya yang ranum, alisnya yang lentik, seakan tiada pernah habis dijadikan bahan pembicaraan. Keindahan wajahnya dielu-elukan hampir oleh semua orang. Tak terkecuali Bernados, Verhu, dan Pyett—para ksatria gagah perkasa dari daratan Yomuh. Namun sayang, di balik keelokannya, terbaring sebongkah keganjalan yang mengantar beberapa orang mengelus dada. Betapa tidak. Di kawasan Tireh, satu-satunya perempuan yang gandrung berperang hanyalah Vera. Ya, cuma ia seorang.
Bukan tanpa sebab, jika Vera bersikap demikian. Dan pastilah mustamik lekas paham mengapa hal itu terjadi. Tentu, tentu jika mustamik senantiasa mengekor warita ini dengan seksama.
***
Tatkala berusia lima bulan, sang ayah tega menghanyutkan tubuh Vera di sungai Mer. Siang itu.. siang bertudung mendung itu, Figon tengah disergap gamang. Sungguh, ia tak bisa lagi menunggui Vera seharian. Tak mungkin pula ia menghibur anaknya dengan ulah lucu atau berlagak bodoh, guna menyumpal air mata si bayi yang terus merembes. Ia butuh kerja, demi sekadar mengganjal perutnya juga lambung anaknya. Sedang, persediaan gandum di rumahnya genap amblas. Usai menimbang matang-matang, akhirnya Figon mengetam keputusan. Ia ambil kain lusuh kepunyaan istrinya—yang tunai meraib. Secarik kain itulah yang digunakan membalut orok Vera, sebelum dimasukkan ke kotak mungil. Membekalinya dengan uang hasil mengutil dari pedagang sayuran, ia berharap supaya buah hatinya ditemukan seseorang dan uang itu dimanfaatkan guna meruncit makanan si bayi.
Kerepotan mengurus jabang bayi menjadi dalih sang ayah untuk membuangnya. Maklum, sepinya harta mengantar istrinya, ibu Vera, kabur dari rumah. Meninggalkan titisan di tapang. Meninggalkan kewajiban sebagai induk sekaligus pedusi. Juga meninggalkan kenangan pahit bagi suami.
Tatkala mandi bersama dayang-dayang kerajaan, netra Birofa melihat sebuah bungkusan terapung di dekatnya. Bukan hanya bungkusan, namun tergeletak sesuatu bergerak-gerak di dalamnya. Benar. Ia bernyawa!
“Herbe, tolong bantu aku mengambil benda itu.”
Bermodal sepotong kayu, seorang dayang berselendang hijau mengarahkan bungkusan itu ke pinggir sungai. Birofa terkejut bukan kepalang, Dan, tanpa tafakur panjang, ia memungut bayi montok yang teronggok dalam bungkusan tersebut.
“Bayi yang hebat. Sama sekali ia tak menangis.”
Gumam Birofa disertai senyumnya yang menyeringai.
***
“Tapi, Sayang. Kau tahu sendiri. Aku telah menitahkan semua prajurit untuk membunuh bayi perempuan yang terlahir di negeri ini. Bagaimana jadinya bila mereka mengerti kalau kita menyimpan bayi ini.”
“Kita sudah 9 tahun belum dikaruniai keturunan.”
“Baiklah. Bila itu yang kau mau. Kau harus berpikir bagaimana cara bayi itu tetap selamat hingga dewasa. Atau aku sendiri yang akan melenyapkan nyawanya.”
Sejak itulah, Vera tinggal di lingkungan kerajaan. Betul-betul ia diperlakukan Birofa layaknya putri kandung sendiri. Begitu pun dengan Lorre, suaminya sekaligus penguasa negeri Borh itu. Terpaksa ia membuntuti buah kalam istrinya. Meski sesungguhnya, dalam hati kecilnya, ia sendiri lama merindukan momongan lucu nan cantik semisal Vera.
Vera berkecambah menjadi anak periang. Gelak tawanya gemar memecah udara istana, membuat raja dan permaisuri turut bergembira. Dayang-dayang beserta keluarga istana lainnya turut menghirup aroma kebahagiaan yang tengah berseliweran. Kesedihan mereka pun terbang jika memandangi kegirangan yang hinggap di wajah Vera.
Patut disayangkan, kegembiraan yang sibuk memenuhi ruang kerajaan dicampuri dengan sebiji keheranan. Keheranan yang mengantar beberapa orang ingin menyelidik lebih dalam. Benar. Wajah Vera yang cantik dan segar bak bunga mour yang baru mekar, menandakan ia bukanlah makhluk Adam. Akan tetapi, mereka fakir keberanian untuk sekadar memeriksa adakah pangeran sebenar-benar lelaki, ataukah berpura-pura menjelma lelaki. Mereka hanya diam. Ah, persisnya, diam dengan seribu pertanyaan bergelantungan di kepala. Seribu pertanyaan yang jika disembulkan bakal mengancam keberadaan mereka di istana.
Serupa dengan anak laki-laki lain seusia, Vera juga dilatih berperang kala tubuhnya memeluk usia keenam. Ia dididik bagaimana cara menghembuskan biji panah ke sasaran dengan tepat. Dibimbing kiat menunggang kuda dengan cepat. Diulurkan pelajaran tentang teknik melesatkan pedang secara cermat, hingga musuh bakal memilih antara lari lintang-pukang atau menggelepar dengan sekali tebas. Semua tanggung jawab itu dilimpahkan pada Nineve.  
Dengan langgam hidup serta ragam didik semacam itulah, akhirnya Vera dibesarkan sebagai lelaki. Walau ia sendiri rajin memautkan persamaan antara dirinya dengan ibunya, Birofa, atau Herbe: pinggul lebar, dada membukit, dan butir jakun seukuran ibu jari. Saat malam bertandang, ia rajin mematut-matutkan diri di depan cermin. “Tubuhku perempuan. Tapi kenapa aku hidup seperti laki-laki.” Desisnya.
***
Kekhawatiran yang terbujur di benak Lorre dan Birofa ternyata berburai juga. Tunai 12 tahun memeram rahasia, pungkasnya mereka dedah. Keduanya tiada lagi bertahan dari serangan bertubi-tubi yang meluncur dari katup mulut Vera.
“Anakku, Sayang.” Lorre membuka percakapan. “Inilah waktunya kami memberitahukan keadaan sesungguhnya.”
“Maaf, jika selama ini kami menutupi hal ini.” Imbuh Birofa dengan nada lirih.
Lorre menyambung, “Kau tak salah jika selalu melempar pertanyaan kepada kami. Pertanyaan yang kami tanggapi hanya dengan senyum. Atau, pada kali lain, coba kami alihkan begitu saja. Pertanyaan yang kau lontarkan juga kepada semua orang yang ada di istana. Namun, apa yang kau peroleh dari mereka? Tak ada, kan?”
Lorre menghela napas dalam-dalam. Lalu melanjutkan kaulnya, “Vera, sayang. Mereka juga sama denganmu. Sama dalam arti kerap mempertanyakan hal ini. Bedanya, kau bertanya kepada kami. Sedang mereka takut melakukannya dan terpaksa bertanya kepada diri sendiri. Barangkali kau bingung, kenapa bentuk fisikmu perempuan, namun bercitra lelaki; bercelana panjang dengan sabuk hitam, bersepatu kermuri, memakai kemeja dijalin rompi, serta bertopi lancip. Dan, jika kau tengok ke luar istana, kau lebih tercengang lagi. Ya, Vera. Kau akan terheran-heran, mengapa anak-anak seusiamu semuanya lelaki. Sama sekali tak kau dapati anak perempuan.”
“Maafkan kami, sayang. Sebenarnya… sebenarnya.. hmmm….”
“Sebenarnya apa, Ayah? Katakan!” Vera ingin segera memecah misteri.
“Sebenarnya kau perempuan. Kau adalah keturunan Hawa, semisal ibumu, juga Herbe, yang sering kau ajak bermain itu.”   
Dengan tangis membuncah, lidah Vera memekik, “Dan ayah… ayah… ayah baru mengatakannya sekarang?”
“Dengarlah, Putriku yang cantik. Ini semua demi kebaikanmu. Kebaikan ayah ibumu. Juga kebaikan istana ini.”
“Dalam kitab ini..” Lorre berkata seraya menampakkan kitab tebal bersampul usang, “disebutkan, jika berhasrat mendaulat kerajaan ini sebagai istana terkuat, maka segenap anak laki-laki 6 tahun harus kulatih bertempur, agar tercipta pasukan militer yang handal, tangguh, dan disegani. Selain itu…..”
“Selain itu apa, Ayah?”
“Selain itu, ayah patut memusnahkan semua bayi perempuan selama 20 tahun.”
“Dan ayah melaksanakannya?”
“Ya, Sayang.”
Karena tergagap, Birofa mengambil alih peran suaminya. “Kau ibu temukan di sungai Mer, Putriku. Sungai yang sering kau kunjungi bersama Herbe dan dayang-dayang lainnya itu.”
“Kau sangat jahat, Ayah.”
***
Setelah mengasah senjata dan mencawiskan segala perlengkapan, pasukan Borh menuju padang Ximme. Di sanalah mereka akan menghadapi kebengisan pasukan Reho dari utara. Vera didapuk selaku panglima. Nineve percaya, anak didiknya mampu menjalankan tugas dengan baik, meski ia harus terlebih dahulu berulang darab memohon baginda dan permaisuri mengikhlaskan kepergian Vera turun ke mandala yuda. Sepuh berambut uban itu menganggap bahwa inilah saatnya Vera menahbiskan diri sebagai bujang kebanggaan raja.
Kini, di hadapan Vera, berdiri ribuan prajurit Reho yang bernafsu menikam leher, memporakporandakan usus, atau mencincang jantung pasukannya dengan pedang. Vera enggan gentar. Toh, anak buahnya merupakan pasukan pilihan yang siap meluluhlantakkan musuh. Kalau perlu, mereka hendak menghisap darah yang berhasil disemburkan dari tubuh-tubuh lawan. Pikirnya.
Berdengking keras, Vera meluncurkan aba-aba guna melancarkan penyerangan. Segenap pasukan Borh bergerak. Mereka bersama-sama bergerak ke arah Vera. Bukan ke arah lawan. Vera tercekat, dan melenguh: “Ada apa, ini?”.
Alangkah liarnya. Mereka saling berebut untuk menjagal kepala Vera, mengupas kulitnya, memamah hatinya, melumat daging dan tulangnya, merajang serata badannya. Ya. Mereka ingin memuntahkan geram yang terlanjur beku dalam pikiran. Mereka berselera membayar dendam pada raja, yang jangkap menumpas nyawa saudara-saudara mereka. Mereka berminat menuai kesumat pada baginda, yang gigih memusnahkan perempuan; makhluk yang selayaknya menjadi pendamping hidup dan penawar keluh kesah. Dan, semua itu hanya sanggup terlunasi dengan cara menghabisi Vera. Seseorang yang tiada lain dan tiada bukan adalah perempuan.  

Yogyakarta, 2011