Kamis, 27 April 2017

Mengawal Program Desmigratif (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Media Indonesia" edisi Kamis, 27 April 2017)



Kementerian Ketenagakerjaan tengah mencanangkan Program Desa Migran Produktif (Desmigratif) pada Juni 2017. Diluncurkannya program ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menekan angka tenaga kerja Indonesia (TKI). Dengan menyediakan berbagai infrastruktur, pemerintah bermaksud memberikan dukungan kepada rakyat kecil agar mereka betah berada di desa dan enggan merantau ke luar negeri.
Pada tahun ini, pemerintah memasang target 120 desa migran produktif. Desa-desa tersebut akan dibangun di wilayah kabupaten/kota kantong TKI yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Program ini merupakan terobosan Kementerian Ketenagakerjaan dalam rangka memberdayakan serta meningkatkan skill orang-orang desa.

Motivasi merantau
Fenomena orang-orang desa yang pergi meninggalkan tanah kelahiran antara lain dilatarbelakangi oleh minimnya peluang kerja. Sektor formal yang terlalu birokratis cenderung menyingkirkan mereka dari ajang persaingan. Adapun sektor informal tidak lagi menampung jumlah pencari kerja yang setiap hari semakin membludak. Dari tahun ke tahun, pertambahan penduduk kerap tidak diimbangi dengan tersedianya lahan pekerjaan. Hal ini membuat orang-orang desa nekat mencari sumber penghidupan ke kota maupun luar negeri.
Orang Jawa mulai meragukan falsafah “mangan ora mangan sing penting kumpul” (makan tidak makan yang penting kumpul) yang dianggap terlalu basi dan layak ditinggalkan. Kini, mereka sanggup membedakan prinsip hidup yang dipegang dan nilai-nilai usang yang mesti dibuang. Kurikulum pendidikan, perkembangan teknologi, dan perubahan kondisi sosial menyebabkan arus modernitas menelusup ke dalam diri mereka. Sehingga, dalam berpikir, bersikap, dan bertindak, mereka mempertimbangkan faktor untung-rugi. Betapa rasionalitas selalu membimbing mereka dalam mengambil keputusan.
Aktivitas merantau juga didukung oleh ketidakberdayaan desa memaksimalkan potensi warganya. Fakta bahwa banyak pemuda (berumur 15 tahun sampai dengan 34 tahun) belakangan memilih menjadi buruh di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri menyebabkan desa tidak lagi produktif karena hanya digarap oleh orang berusia tua. Fenomena ini diperparah dengan asumsi para remaja bahwa perbaikan status sosial-ekonomi tidak mungkin diraih dengan menetap di wilayah pedalaman.
Dalam taraf tertentu, ekonomi memang bersifat rasional. Ia senantiasa berpihak pada kawasan yang lebih menjanjikan. Itulah mengapa, negara-negara industri dan kota-kota besar merupakan kawasan yang lebih produktif daripada desa, terutama dalam mengelola kegiatan ekonomi secara profesional dan modern. Dengan demikian, minat para investor pada kawasan-kawasan penarik tenaga kerja tersebut lebih besar dibanding wilayah perdesaan. Bagaimanapun, berspekulasi menanam investasi di kawasan terakhir dianggap kurang menguntungkan dan memiliki risiko yang sangat tinggi.

Disguised unemployment
Lantaran ingin mengatrol kapasitas desa serta orang-orang yang bermukim di dalamnya, Program Desmigratif selayaknya didukung oleh semua pihak. Namun demikian, persiapan pemerintah dalam pembentukan desa migran produktif di sejumlah daerah harus benar-benar optimal. Demi menuai kesuksesan, upaya pengurangan angka pengangguran dan pemberantasan kemiskinan patut menjadi prioritas utama.
Menurut T. Gilarso (2004: 209), pengangguran di wilayah perdesaan sering disebut dengan pengangguran tersembunyi atau tak kentara (disguised unemployment). Orang-orang desa kerap disibukkan dengan pekerjaan, meski kurang bernilai ekonomis. Padahal, jika dibiarkan secara terus-menerus, fenomena ini rentan melahirkan kasus kerusuhan dan kriminalitas yang tentu mengganggu harmoni desa.
Pemberantasan kemiskinan dengan mengutamakan posisi strategis sektor pertanian dan perdesaan terkait erat dengan penyediaan lapangan kerja serta pengurangan disparitas pendapatan dan aliran tenaga kerja dari bidang agraris ke bidang ekonomi lainnya. Atas dasar inilah, upaya pengentasan kemiskinan meniscayakan pemberdayaan lapisan masyarakat terbawah, pengembangan usaha ekonomi produktif, serta pengalokasian akses pasar yang cukup memadai.
Dibutuhkan beragam strategi yang bisa diterapkan untuk beberapa lapisan masyarakat sekaligus. Hal ini dikarenakan, karakter kewirausahaan tidak mungkin tercipta dengan mudah. Dengan kata lain, perlu pemilahan program yang tegas antara misi sosial pengentasan kemiskinan dari misi ekonomi produktif dan pemberdayaan skala komersial menuju pengembangan akses pasar, sistem insentif, serta informasi harga yang berguna bagi segenap lapisan masyarakat (Bustanul Arifin, 2005: 32).

Yogyakarta, 2017

Senin, 17 April 2017

Adab Sebuah Kentongan (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Senin, 17 April 2017)


Kentongan merupakan alat komunikasi yang digunakan masyarakat tradisional di banyak daerah di Indonesia. Berbahan kayu panjang dengan lubang di tengahnya, alat ini biasanya berfungsi sebagai alat penyampai informasi atau kabar bagi warga tentang peristiwa-peristiwa penting di tempat tinggal mereka.
Termasuk di antaranya memberitahukan terjadinya peristiwa genting, seperti kebakaran, pencurian, kematian, banjir, dan bencana alam lainnya. Dalam momen-momen ini, manfaat kentongan menjadi sentral (Hery Nuryanto, 2012).
Bertempat di gardu, balai desa, alun-alun, atau lokasi publik lainnya, kentongan juga didaulat oleh penguasa lokal sebagai sarana mengundang warga. Setelah menerima kode tertentu, mereka berbondong-bondong berkumpul di suatu tempat. Sebagai medium efektif pengikat komunitas, kentongan menyatukan siapa saja, baik berstatus sosial tinggi maupun rendah. Dalam taraf tertentu, ia membantu mewujudkan masyarakat ”tanpa kasta”.
Ikatan kekeluargaan, jalinan kekerabatan, dan hubungan kerja pun dapat dikukuhkan dengan kentongan sehingga gejala-gejala permusuhan dan perpecahan dapat diredam. Di sini lah kentongan berperan mengondisikan khalayak untuk menciptakan kebersamaan dalam pelbagai perbedaan: karakter, profesi, ataupun latar belakang pendidikan.
Karena itu, banyak masa dan ruang di mana kehidupan desa tak bisa lepas dari peran kentongan. Harmoni kehidupan, toleransi, dan gotong-royong tercipta karena adanya kentongan. Dalam derajat atau pengertian tertentu, demokrasi lokal dan interaksi sosial mesti berutang budi pada kentongan. Kentongan pun menjadi semacam pengetuk hati dan pikiran semua anggota masyarakat untuk mengedepankan rasa persaudaraan pada warga lainnya ketimbang kehendak atau kepentingan pribadinya.

Dentang masa depan
Dalam pandangan di atas, sebenarnya kentongan memiliki peran lebih dalam sebagai jaminan terciptanya bukan saja harmoni atau order (ketertiban), melainkan juga masa depan yang lebih baik. Masa yang dirancang, diproses, dan terbentuk karena terjaganya order dan kerja sama kreatif serta produktif saat kentongan bertalu.
Para pemimpin dan elite desa dapat menjalankan fungsi secara optimal. Rakyat pun bekerja dengan kesungguhan dan kegembiraan yang penuh inovasi.
Kentongan kini bukan sebilah kayu atau bambu mati belaka, melainkan seperti bunyi mendentang dari masa datang. Dengan ukuran, bentuk, serta beratnya yang ringan dan sederhana, para peronda atau penggunanya dengan mudah membawanya saat bertugas. Dengan berjalan kaki, mereka berbekal kentongan guna memastikan apakah desa dalam kondisi aman atau darurat.
Ritme, suara, dan jumlah pukulan yang timbul dari kentongan menunjukkan alasan dan tujuan mengapa kentongan dibunyikan. Di dalamnya terkandung pesan yang mesti diketahui semua warga desa.
Karena itu, demi menghindari kesalahpahaman, warga dituntut peka terhadap berapa kali kentongan berbunyi, seberapa keras ia dipukul, bagaimana irama, bahkan nada musikal yang dihasilkan.
Saat malam begitu larut, suara kentongan yang lembut seperti menganugerahi rasa aman dan nyaman. Inilah sumbangan tidak kecil kentongan dalam menciptakan rasa ”bahagia” masyarakat penggunanya.
Bunyinya yang lumayan nyaring dapat menjangkau tempat yang agak jauh tanpa bantuan pelantang. Termasuk kepada mereka yang siang hari disibukkan pelbagai tugas, kerja, atau tanggung jawab.
Desa pun secara mandiri menjadi siaga karena ia menjadi penanda paling awal jika terjadi musibah, baik alam maupun sosial-budaya. Satu bunyi yang membuat semua pihak siaga dan cepat mengantisipasi keadaan sehingga timbulnya korban bisa dihindari dan bencana pun dapat segera diatasi.
Di Bali, kentongan tak hanya berfungsi sebagai pertanda siaga, bahaya, ataupun musibah. Ia juga menjadi pertanda kebahagiaan ketika dibunyikan pada acara pernikahan. Bagi orang Bali, pernikahan begitu sakral sehingga ia patut, bahkan wajib, disaksikan dan diikuti sebanyak mungkin warga.
Ketika kehidupan manusia masih dilingkupi mitos dan takhayul, hadirnya kentongan merupakan capaian luar biasa. Ia menampilkan ”teknologi purba” yang menampung kreativitas dan daya cipta manusia. Sayangnya, seiring perubahan zaman, fungsi kentongan pun mulai bergeser. Kini, kentongan semakin ditinggalkan.
Di sejumlah desa, ia kian jarang ditemukan. Alat komunikasi modern semisal gawai mengambil posisi dan perannya. Ia justru beralih fungsi sebagai simbol kekuasaan lokal. Beberapa rumah kepala desa dilengkapi kentongan. Rumah berhias kentongan memuat makna bahwa seseorang yang berada di dalamnya dibekali mandat untuk mengatur desa. Warga desa wajib mematuhi apa yang ”dititahkan” si pemilik kentongan.
Bagi sebagian orang, kentongan adalah aksesori rumah yang menjanjikan kenangan dan romantisisme. Di dalamnya tersimpan ingatan tentang indahnya kehidupan masa lampau. Ia mencatat bahwa sejarah manusia bermula dari kesederhanaan, termasuk dalam penggunaan alat komunikasi yang bermakna.

Bojonegoro, 2016

Senin, 10 April 2017

Revitalisasi Budaya Maritim (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 10 April 2017)


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum lama kembali menenggelamkan kapal pencuri ikan. Kali ini, ada 81 kapal yang ditenggelamkan di Bali, Pontianak, Aceh, Tarempa, Sorong, Merauke, Belawan, Tarakan, Natuna, Bitung, Ambon, dan Ternate. Dari Oktober 2014, sudah ada 317 kapal yang ditenggelamkan. Kapal maling tersebut milik Tiongkok satu, Belize satu, Papua Nugini dua, Indonesia 21, dan Thailand 21. Kemudian, dari Malaysia 49, Filipina 76, Vietnam 142, dan tanpa bendera empat kapal. Upaya untuk memerangi illegal fishing serta melindungi sumber daya maritim.
Secara historis, dulu Nusantara merupakan negara maritim tangguh di tataran global. Salah satu tanda kebesaran Nusantara sebagai “bangsa laut” ditemukannya sejumlah pelabuhan masyur, di antaranya Banten dan Gresik (Jawa Timur). Perubahan suatu wilayah menjadi pelabuhan memerlukan proses, waktu, serta sejumlah faktor pendukung. Bila ditelisik secara mendalam, pelabuhan-pelabuhan tersohor ternyata berawal dari desa kecil yang kurang berarti, tapi berkembang menjadi cikal-bakal pelabuhan prestisius.
Transformasi Banten menjadi “pelabuhan perdagangan” tercapai dalam beberapa dasawarsa. Mula-mula pelabuhan ini merupakan desa nelayan kecil di bawah kekuasaan pengikut Sultan Demak tahun 1527. Setelah ikatan dengan kekuasaan tertinggi melemah, perlahan Banten menancapkan hegemoninya atas Jawa bagian barat dan segera melampaui Sunda Kelapa, selaku pusat perniagaan. Lantaran berdekatan dengan Selat Sunda, Banten menjadi pantai barter yang menyenangkan bagi para pedagang musiman dari Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan (LĂ©onard BlussĂ©, 2004: 71).
Pengukuhan Gresik selaku pelabuhan strategis dalam lalu lintas perdagangan dunia tidak bisa terlepas dari asal-muasalnya. Menurut cerita Tiongkok, karangan Ma Huan (1433), Gresik merupakan sebuah “desa baru” yang dalam bahasa Mandarin dinamakan Ko-erh-his, timur Tuban yang dulu merupakan daerah pantai berpasir. Antara tahun 1350 dan 1400, pendatang dari Tiongkok Tengah membangunnya menjadi sebuah desa baru. Kemudian, pada tahun 1400, Gresik maju signifikan. Saat Ma Huan datang, Gresik telah mendaulat diri sebagai kota pelabuhan terbaik dan terpenting (Endjat Djaenuderadjat, 2013: 207).
Keberadaan dua pelabuhan tadi membuktikan negeri ini pernah menjadi perhatian internasional dalam jagat maritim. Pelabuhan tidak hanya menunjukkan tempat transit kapal, lokasi keberangkatan-kepulangan penumpang, serta sarana menawarkan barang dagangan, tetapi juga menandakan tingginya skill orang-orang Nusantara dalam bidang kelautan. Keperkasaan mereka terlihat dari cukup seringnya hidup dan bekerja di laut.
Dalam berbagai situasi, mereka begitu teguh menghadapi ganasnya ombak. Mereka menyadari mesti tegar. Mentalitas inilah yang membuat mereka sangat kuat dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan. Para pendahulu bangsa mengukuhkan diri sebagai pelaut andal.
Peninggalan budaya maritim Nusantara seolah tidak berbekas, kecuali mitologi-mitologi kuno yang masih dapat diselamatkan. Upaya pelestarian mitologi oleh masyarakat berhasrat mengungkapkan betapa laut adalah entitas penuh makna bagi kehidupan. Sayang, mitologi tersebut bukannya mewariskan mentalitas pelaut pada generasi masa kini, melainkan sekadar merepresentasikan simbol dan hajatan seremonial.
Masyarakat Desa Kundi sekitar Pulau Bangka memegang teguh kepercayaan upacara adat ceriak laut. Selain menyelamatkan sampan atau perahu yang melewati Tanjung Tadah, upacara ini untuk menghalau setan dan hantu seberang yang ingin merusak ladang perkebunan. Setelah dukun laut memastikan bulan dan hari tepat, masyarakat mempersembahkan nasi kuning, ketan hitam, dan ayam panggang kepada roh-roh halus nenek moyang serta keturunan leluhur dukun laut (Djoko Pramono, 2005: 147).
Mitologi yang berkaitan dengan laut juga ditemukan pada masyarakat nelayan di Desa Brondong, Lamongan. Bagi mereka, ritual serbamagis mesti mengiringi aktivitas mencari ikan. Sejak lama, mereka mempunyai kebiasaan memuja roh terkait penangkapan ikan. Ritual tersebut dinamakan tutup layang (menggulung layar). Di lepas pantai, sesaji sengaja dipersembahkan bagi Kiai Anjir yang diyakini sebagai roh penunggu lautan.

Tenggelam
Budaya maritim semakin tenggelam lantaran banyak suku mengabaikan eksistensi laut, pantai, serta pesisir. Mereka cenderung mengutamakan wilayah pedalaman dan pegunungan. Orang-orang Indonesia menyimpan semacam “rasa tidak suka” yang berhubungan dengan air.
Hal ini antara lain ditandai dengan kebiasaan membangun desa di puncak gunung, bukan dekat perairan. Bahkan, pulau-pulau kecil yang pernah memainkan fungsi maritim masa silam kerap mengagungkan tradisi membangun desa di tempat tinggi.
Sebenarnya, budaya laut sangat dekat dengan orang-orang pesisir. Mereka inilah yang senantiasa memanfaatkan perairan sebagai lokasi mencari nafkah. Sayang, laut tidak selamanya menjanjikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Pada masa kerajaan, mereka berjuang melawan kekejaman penjahat yang gemar merampas harta milik.
Bahkan, tak jarang perompak dan bajak laut menangkap mereka untuk dijadikan budak yang dapat diperjualbelikan. Guna melindungi diri dan keluarga, sebagian memilih mengungsi dan meninggalkan desa. Masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, kekayaan dan sumber daya laut tidak dimaksimalkan penduduk lokal. Maka, nasib masyarakat desa pesisir tak kunjung membaik.
Di beberapat tempat, para pemuda pesisir lebih suka mabuk daripada membekali diri dengan berbagai keterampilan. Lantaran mengonsumsi minuman keras (miras), mereka kerap terlibat kekerasan dan perkelahian. Fenomena inilah yang memunculkan asumsi, menenggak miras merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Bagi sebagian masyarakat nelayan, mabuk-mabukan merupakan upaya menjaga kesehatan. Meski membawa efek negatif, mereka percaya bahwa miras mampu menjauhkan tubuh dari penyakit mag dan kencing batu.
Laut juga kurang berpihak pada kaum tani di pesisir. Derasnya air laut membuat mereka kerap merugi dan gagal panen. Persoalan kekeringan dan rusaknya lahan-lahan produktif antara lain karena intrusi air laut. Fakta ini berdampak pada meningkatnya kasus pengangguran di perdesaan dan meroketnya urbanisasi.
Atas dasar itulah, revitalisasi budaya maritim meniscayakan pemberdayaan masyarakat desa pesisir, selaku aktor utama. Sejak dini, mereka mestinya memperoleh perhatian pemerintah. Taraf kesejahteraan “orang pesisir” mesti ditingkatkan. Selama ini, mereka dinilai sebagai masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi “di bawah standar.”

Yogyakarta, 2017

Sabtu, 08 April 2017

Pengoptimalan Dana Desa (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 8 April 2017)

Dalam kunjungan kerjanya di suatu desa, Presiden Joko Widodo berjanji akan melipatgandakan anggaran dana desa pada tahun 2018. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017, dana desa genap dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh pemerintah, dana yang bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.
Besarnya dana desa menunjukkan kuatnya arus pembangunan desa, yang tentu patut disambut gembira. Namun demikian, banyak pihak mengkhawatirkan bahkan merasa pesimistis jika pengarusutamaan desa bisa berjalan mulus. Mengutip Farouk Muhammad (2015), kekhawatiran ini terutama bersumber dari politik kebijakan pemerintah yang mementingkan pencapaian target dana desa (money oriented), bukan mengutamakan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan dan melaksanakan pembangunan (capacity oriented).
Kepastian adanya dana desa membuat desa bertabur uang. Berbeda jauh dengan kondisi masa silam di mana desa selalu miskin. Untuk sekadar membangun fasilitas, masyarakat terpaksa mengadakan iuran, mengharapkan sumbangan, dan menunggu bantuan dari pemerintah yang lebih tinggi. Kekompakan orang desa serta kebaikan hati para dermawan dan negara menjadi modal pembangunan.
Padahal, di samping Sumber Daya Manusia (SDM), sumber daya material menjadi penopang kokohnya pemerintahan desa. Kesuksesan program-program desa sering kali bergantung pada seberapa besar pendapatan yang diperoleh. Kemajuan sejumlah desa dilatarbelakangi oleh besarnya dana desa.
Dalam tesisnya, Hermawan (2002) menyatakan bahwa kemandirian pemerintahan desa tercermin pada kemampuan sumber daya material internalnya dalam membiayai kegiatan yang dilaksanakan. Kebijakan pemerintah desa bisa terealisir lantaran adanya sumber daya ini. Boleh dibilang, terdapat keterkaitan antara ketersediaan sumber daya dengan kemandirian desa.
Di sinilah arti penting dana desa. Dalam upaya mewujudkan tranformasi di wilayah perdesaan, dana desa menempati posisi urgen. Guna memanfaatkannya, kepala desa beserta jajarannya dapat menggulirkan program pemberdayaan masyarakat. Program ini dimulai dengan identifikasi permasalahan yang meliputi kapasitas desa, prioritas pemerintah desa, mental masyarakat, dan sumber daya. Setelah dapat meraba problematika yang ada, pemerintah desa meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memperbaiki prasarana desa, membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), membuka Balai Latihan Kerja (BLK), serta mengembangkan jaringan.
Namun demikian, apabila tidak dimanfaatkan secara bijak, dana desa rentan melahirkan kasus korupsi. Tak heran jika akhir-akhir ini, akibat penyalahgunaan dana desa, banyak kepala desa yang meringkuk di bui. Malpraktik kebijakan pemerintah desa hanya akan melembagakan praktik korupsi di desa, di mana akarnya ditemukan sejak abad ke-17.
Dalam catatan sejarawan Ong Hok Ham, raja menitahkan kepala desa untuk menggalang rakyat dalam mengolah lahan. Hasil panen menjadi upeti yang dipersembahkan kepada raja, adapun kelebihannya halal dikuasai kepala desa. Dengan tingginya keuntungan, kepala desa piawai mengapitalisasi kedudukan. Interpretasi kehalalan runtuh sejak Daendels menerapkan gaji bulanan birokrasi pada 1808. Mengambil kelebihan hasil bumi di luar gaji merupakan larangan dan dianggap sebagai kasus korupsi  (Ivanovich Agusta, 2016).

Kritik dan Kontrol
Tidak selamanya mereka yang dipercaya menjadi pamong menjalankan kewajibannya dengan jujur. Ada yang justru memanfaatkan peluang dan menganggap bahwa posisinya dalam pemerintahan desa merupakan aji mumpung. Di beberapa tempat, kinerja pamong kurang transparan dan cenderung tertutup. Dana pemberdayaan yang diterima pemerintah desa sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi tidak banyak dirasakan masyarakat. Sehingga, rakyat sebagai pemilik demokrasi kehilangan akses dan kontrol.
Pemerintahan desa berjalan sesuai kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar, mereka yang duduk dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Dalam konteks inilah, kritik menjadi “senjata” dalam mengawasi jalannya pemerintahan desa, terutama dalam pemanfaatan dana desa. Sayangnya, dalam masyarakat desa, mekanisme kritik dilakukan dengan cukup halus dan samar. Selain jauh dari kesan agresif, kritik lebih mengutamakan kesantunan.
Oleh karena itu, demi terlaksananya prinsip-prinsip good governance di desa, kritik saja tidak cukup. Harus ada pengawasan dari pihak yang berwenang, di antaranya Pendamping Desa (PD) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Supaya kekuasaan pemerintah desa tidak rentan disalahgunakan, keduanya dituntut mampu menjalankan tugas dengan maksimal. Baik Pendamping Desa (PD) maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. Keduanya berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka.
Dengan adanya kontrol, di samping pemerintah desa dapat mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan, diharapkan dana desa yang dicairkan ke setiap desa juga tersalurkan secara optimal. Bagaimanapun, digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah tidak boleh menjadi “bancakan” dan ajang pemuasan nafsu duniawi para elite lokal.

Yogyakarta, 2016

Minggu, 02 April 2017

Gairah Membangun Paradigma Profetik (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Tempo" edisi Sabtu-Minggu, 1-2 April 2017)


Judul: Paradigma Profetik Islam; Epistemologi, Etos, dan Model
Penulis: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
Penerbit: UGM Press, Mei 2016
ISBN: 978-602-386-029-6
Tebal: 220 halaman

Apa yang ditulis oleh Ahimsa-Putra dalam buku ini merupakan respons terhadap pemikiran Kuntowijoyo, Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Wafatnya Kuntowijoyo beberapa tahun lalu tidak lantas mengubur dalam-dalam warisan keilmuannya. Ikhtiar Kuntowijoyo dalam merintis, menggagas, dan memantapkan sebuah sistem pemikiran mendapat sambutan hangat dari Ahimsa-Putra. Sang profesor turut menyemarakkan dialektika ilmu pengetahuan yang syarat dengan muatan ilmiah dan akademis.
Dalam diri Ahimsa-Putra terdapat kesadaran bahwa intensitas dan kontinuitas perdebatan di kalangan cendekiawan tidak boleh mandek. Kesadaran itulah yang membuatnya getol meneguhkan keyakinan serta pendiriannya. Eksistensi ilmu pengetahuan seolah tidak tergerus oleh hijrahnya manusia dari alam kasat mata menuju alam transendental. Selama masih ada generasi pemikir selanjutnya, hasil pemikiran yang genuine dan cemerlang akan tetap dipertahankan bahkan dilestarikan. Barang tentu usaha pelestarian terhadap hasil pemikiran tidak dilakukan dengan sekadar mendukungnya, melainkan juga menyelipkan catatan kritis terhadapnya.
Sumbangan gagasan, prakarsa, dan wacana Ahimsa-Putra telah mengokohkan keberlangsungan dinamika ilmu pengetahuan dalam jagat intelektual. Perjuangannya patut menjadi inspirasi bagi para akademikus dan ilmuwan dalam mengejawantahkan objektivitas dan universalitas. Ia menciptakan kehangatan dan keintiman pemikir dengan teks-teks sebelumnya. Betapa kecongkakan intelektual terhadap pemikiran usang berimbas pada pembedaan ruang dan waktu. Padahal, antara satu dengan lainnya saling berkelindan, sehingga tak mungkin dipisahkan.
Dalam pandangan Kuntowijoyo, wahyu memiliki urgensi dalam membedakan epistemologi Islam dengan epistemologi Barat. Rasionalisme dan empirisme yang menjadi sumber pengetahuan Barat tampak begitu sederhana sebab hanya berpijak pada akal dan observasi. Dalam epistemologi Islam, wahyu sebagai salah satu unsur transendental dapat mengindikasikan pengetahuan apriori dan membentuk realitas. Dalam konteks inilah, wahyu menjadi unsur konstitutif dalam paradigma Islam. (hal. 7)
Guna mewujudkan angan-angan dan harapannya, strukturalisme dipilih oleh Kuntowijoyo sebagai sarana untuk mendekati Al Quran. Diambilnya pilihan ini bertujuan menerapkan ajaran-ajaran sosial dalam teks lama pada konteks sosial tanpa mengubah stuktur yang ada. Kuntowijoyo mengunduh inspirasi dari antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss. Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme Levi-Strauss memuat beberapa konsep yang dapat dipinjam untuk membangun ilmu (sosial) profetik. Konsep innate structuring capacity, deep structure, dan surface structure dapat ditransformasikan ke dalam sistem Islam, sehingga memunculkan model tertentu. (hal. 8-9).
Penempatan wahyu selaku sumber pengetahuan berimplikasi pada pengakuan terhadap struktur transendental yang menjadi referensi dalam menafsirkan realitas. Sayangnya, Ahimsa-Putra melihat bahwa Kuntowijoyo kurang begitu jelas saat memaparkan pengertian strukturalisme transendental. Uraiannya begitu membingungkan ketika membahas perlunya perluasan muamalah dalam Islam. Padahal dalam pembahasannya tidak ditemukan hubungan antara struktur yang transenden dan muamalah.
Kuntowijoyo menilai bahwa ilmu sosial tengah mengalami kemandekan, sehingga diperlukan gerakan transformatif. Tapi Ahimsa-Putra menganggap transformasi sosial yang didengungkan oleh Kuntowijoyo bermakna kabur: “Apakah transformasi tersebut merupakan hasil kerja ilmu sosial profetik yang bersifat transformatif? Ataukah transformasi tersebut merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh ilmu sosial profetik, yang belum tentu berhasil dicapai juga, meskipun ilmu sosial profetik sudah bisa dibangun? Ataukah transformasi tersebut adalah semangat yang mendasari aktivitas ilmu sosial profetik?” (hal. 17)
Ahimsa-Putra menilai bahwa bangunan pemikiran Kuntowijoyo masih bercerai-berai. Antara satu tulisan dan tulisan lainnya belum menunjukkan keselarasan, sehingga terdapat missing link. Alur dan logika berpikirnya mengandung sejumlah “cacat ilmiah”. Kiprah Kuntowijoyo membangun ilmu (sosial) profetik masih jauh dari sempurna lantaran meninggalkan beberapa kekurangan. Meski demikian, usahanya perlu mendapat apresiasi dan simpati. Dalam konteks inilah, Ahimsa-Putra mampu menempatkan diri. Sebagai “penerus”, ia tidak lantas terjebak pada “pengultusan” sosok Kuntowijoyo. Ia mampu bersikap kritis dan rasional dengan mengisi celah dan “menambal-sulam” pemikiran pendahulunya tersebut.
Sebelum membongkar kelemahan pemikiran Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra sengaja mengulang apa yang disampaikan oleh sejarawan sekaligus sastrawan tersebut. Dengan harapan, ulasannya dapat diterima dengan jelas oleh publik. Tak mengherankan jika pada bab pertama dan kedua khalayak pembaca dijejali dengan ringkasan pemikiran Kuntowijoyo yang terkesan membosankan. Ini merupakan langkah logis supaya pembaca dapat memahami akar permasalahan secara utuh. Bagaimanapun, pemahaman setengah-setengah hanya akan membuat pembaca tersesat di belantara kata-kata.
Tampaknya, kritik terbesar yang dilancarkan Ahimsa-Putra adalah miskinnya konsepsi paradigma selaku kerangka berpikir. Akibatnya, bangunan pemikiran Kuntowijoyo terlihat rapuh dan mudah goyah. Dalam konteks inilah, sebagai upaya melanjutkan pembentukan paradigma profetik yang genap dirintis oleh Kuntowijoyo, Ahimsa-Putra menawarkan ide dengan merombak unsur-unsur paradigma Thomas Kuhn dalam karya The Structure of Scientific Revolutions (1970).
Ahimsa-Putra berpendapat bahwa ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam rangka membangun paradigma yang kokoh. Unsur-unsur yang dimaksud adalah asumsi dasar (basic assumption), etos/nilai (ethos/value), model, masalah yang diteliti, konsep pokok (main concept), metode penelitian (method of research), metode analisis (method of analysis), teori (theory), dan representasi.
Gagasan Ahimsa-Putra patut dikritisi. Ia seolah menyebutkan bahwa asumsi dasar mendahului nilai. Padahal, bila ditelisik lebih seksama, munculnya asumsi dasar dan nilai bersamaan. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa asumsi dasar lebih dahulu dibanding nilai. Begitu pula sebaliknya. Pemisahan antara metode penelitian dan metode analisis juga kurang relevan. Barang tentu di dalam metode penelitian tercakup metode analisis. Penyebutan metode analisis sebagai salah satu unsur hanya menambah “rentetan panjang” pembentukan paradigma.

Yogyakarta, 2016