Jumat, 23 November 2018

Radikalisme dalam Bingkai Harmonisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Kamis, 22 November 2018)

Tidak hanya menjadi fokus perhatian pemerintah, radikalisme yang mencuat akhir-akhir ini juga menjadi sorotan dunia internasional. Bagaimanapun, radikalisme mengancam eksistensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahaya radikalisme dapat meluluhlantakkan cita-cita luhur dan mulia yang genap dipahat oleh para Bapak Bangsa (founding fathers). Bahkan, jika dibiarkan, menguatnya gejala radikalisme dapat menyuburkan beragam teror bercorak kekerasan yang senantiasa menyebarkan aroma kecemasan, ketakutan, serta rasa trauma bagi masyarakat sipil.

Terorisme
Munculnya kasus-kasus terorisme di Tanah Air tidak terlepas dari keberadaan golongan-golongan Islam berpaham radikal. Pandangan sempit mengenai agama dipraktikkan oleh golongan ini dengan melabeli orang lain “kafir” atau “sesat”. Bahkan, dalam tingkat yang lebih ekstrim, mereka menghalalkan harta dan darah siapa saja yang mempunyai kepercayaan berbeda. Akhirnya, berdalih menghabisi kaum musyrik, tercetuslah ide bom bunuh diri di lokasi-lokasi berkumpulnya umat Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, serta Konghucu.
Jika ditelisik secara seksama, terdapat pengaruh negatif bertunasnya radikalisme terhadap rapuhnya fondasi kebangsaan. Rendahnya toleransi beragama turut disulut oleh paham radikal yang disebarkan oleh beberapa kalangan. Mereka mempraktikkan cara beragama yang homogen sekaligus mengingkari realitas masyarakat multikultural. Hal ini diperparah dengan ideologi mereka yang menihilkan prinsip kesetaraan dan kesederajatan semua manusia di hadapan Sang Pencipta. Imbasnya, muncul beragam perilaku diskriminatif serta tindak kekerasan atas nama agama.
Apa yang terjadi belakangan ini menggambarkan bahwa nilai, prinsip, serta etos kebangsaan tengah dikikis radikalisme yang berkembang menjadi terorisme. Miskinnya pengetahuan tentang konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta) menjadikan generasi muda tergoda untuk bergabung dalam kelompok radikal. Di samping melahirkan disharmoni sosial, fenomena ini juga rentan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, radikalisme dan terorisme tak mungkin mendapat tempat ketika nilai kebinekaan dipegang teguh oleh semua pihak.

Prototipe 
Terorisme sebenarnya merupakan isu bersama yang layak memperoleh perhatian utama. Oleh karena itu, upaya deradikalisasi semestinya bukan sekedar dilakukan dengan mendukung Undang-Undang Antiterorisme, melainkan juga dengan mewujudkan keberagamaan inklusif. Betapa eksklusivitas dan fanatisme yang berlebihan rentan melahirkan kecurigaan terhadap pemeluk agama lain.
Dalam konteks inilah, harmonisme desa sebagai semacam ‘prototipe’ kerukunan antarumat beragama menemukan relevansinya. Betapa kearifan dan kebajikan yang genap diwariskan oleh para pendahulu atau nenek moyang mampu mencegah mewabahnya radikalisme. Apalagi, sejak dahulu kala, inspirasi mengenai tingginya penghormatan terhadap sesama ditunjukkan oleh orang desa.
Di Jawa, terhidang banyak contoh mengenai harapan akan keharmonisan di level desa. Terjalinnya hubungan yang harmonis di antara pemeluk-pemeluk keyakinan yang berbeda dijumpai pada desa Sempu, Bantul, di mana masyarakatnya masih memegang teguh mitos Sabda Palon. Di desa yang terletak di selatan Yogyakarta inilah, publik dapat secara leluasa menyaksikan suatu kompleks pemakaman Cina yang terawat cukup baik, sebuah vihara Buddhis, sebuah masjid, sebuah gereja Katolik, serta sebatang pohon yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Di tengah pluralitas iman tersebut, semangat toleransi serta keharmonisan antarwarga tetap terpelihara. (M.C. Ricklefs, 2013: 719).
Masyarakat Kelurahan Jamika, Bandung, Jawa Barat, juga senantiasa menjaga kerukunan lintas kepercayaan. Walaupun terdiri atas beraneka etnik dan agama, tetapi penduduknya sanggup hidup berdampingan. Di wilayah yang mengantongi predikat Kampung Toleran itu terdapat enam gereja, empat vihara, serta dua masjid. Lantaran enggan mempermasalahkan warna kulit dan agama, warga acap menggelar kegiatan yang melibatkan semua elemen masyarakat. Salah satunya kegiatan ronda yang wajib diikuti oleh setiap orang. Suasana guyub dan damai cukup menonjol saat hari besar salah satu agama dirayakan. Selain memberi kebebasan bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan rumah ibadah, warga yang berbeda agama juga terlibat dalam membantu kelancarannya.
Dalam tataran teoritis, pemerintah harus gencar menyelipkan pemahaman tentang multikulturalisme. Dengan mengadopsi konsep harmonisme desa, setiap warga negara dihimbau untuk senantiasa memelihara kebersamaan. Semua orang dituntut memiliki rasa kepedulian terhadap sesama. Bagaimanapun, perbedaan kepercayaan tidak lantas menghalangi setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Mengingat bahwa dalam suatu masyarakat pluralis, terbentuknya kehidupan humanis yang senantiasa dilandasi dengan kentalnya ikatan persaudaraan merupakan keniscayaan.
Dalam tataran praktis, pemerintah dapat mendirikan Kampung Damai, terutama di daerah-daerah yang rawan dengan aksi teroris. Semua elemen masyarakat diajak untuk selalu menghadang dan menangkal kekerasan isu agama. Kapasitas orang-orang yang bermukim di Kampung Damai juga dipersiapkan menjadi aktor perdamaian. Sehingga, mereka mampu menggerakkan multistakeholder supaya menyadari ancaman terorisme.

Bojonegoro, 2018