Selasa, 27 Agustus 2013

Skarf (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di "Jurnal Nasional" edisi Minggu, 25 Agustus 2013)

Pelan-pelan Wina menaruh kue brownies dan secangkir kopi di meja kamar Andre. Tersenyum, ia memasang selimut suaminya yang tengah melorot. Maklum, Minggu pagi adalah waktu balas dendam bagi pekerja yang bermalam-malam sebelumnya dihajar lembur.
Kembali ia menyiapkan sarapan di dapur. Perut ikan bawal yang tunai dibedah telah dicuci. Raungan minyak goreng yang disundut panas dicuri-dengar. Ikan yang sudah tak bernyawa itu dimasukkan ke dalam adonan bumbu yang telah ia diamkan beberapa menit. Tak lama kemudian, dengan hati-hati, ia cemplungkan ikan bawal ke mulut penggorengan. Ketika itulah, ia membayangkan pundaknya tiba-tiba dihinggapi dua tangan lelaki berdada bidang yang datang dari arah belakang. Pura-pura memusatkan pikiran pada menu yang dimasak, Wina tetap melanjutkan pekerjaan hingga aroma ikan menyeruak. Lalu tanpa permisi, lelaki beralis kepak burung camar itu akan melumat bibirnya dan mengecup keningnya dengan lembut. Sangat lembut. Tak lupa katup mulutnya berbisik, “selamat pagi dunia”, seraya melempar senyum manis padanya.
Namun, tidak. Tiada seorang pun menyapa atau bahkan mengagetkannya dengan cumbuan mesra. Guna meyakinkan hatinya, ia menggoyang kepala dan mengalihkan perhatian bola matanya ke arah samping. Siapa tahu suaminya sedang bersembunyi di balik rak piring.
Menggeleng.
Disertai dengusan berat, ia tahu di sekitarnya hanya berderet perabot dan peralatan dapur. Meskipun demikian, Wina begitu bersemangat. Betapa tidak? Setelah selama enam hari memeras peluh, kini, ia bersama suaminya akan bermalas-malasan. Membenamkan diri dalam kisah kasih dua manusia yang bimbang menafsirkan cinta.
Seperti biasanya, ia berencana menumpahkan unek-uneknya selama berada di kantor. Hal itu pasti ia lakukan selepas sang suami menyantap dengan lahap hidangan favoritnya. Begitulah. Bagi pasangan yang terlalu sibuk dengan urusan kerja masing-masing, perbincangan di masa senggang menjadi sarana bertukar keluh paling ampuh. Kesah yang gemar meniupkan kecemasan, dapat berubah menjadi obrolan ringan dan bahan lelucon, jika disampaikan dengan nada riang. Sebab itulah, Wina akan dengan senang hati mewartakan atasannya yang akhir-akhir ini rutin menghadiahkan pekerjaan tambahan, teman perempuan yang mulai menampakkan rasa sayang berlebihan, Pak Satpam yang kerap tepergok memandangi pahanya saat rok mininya terangkat tinggi-tinggi. Itu semua akan diceritakan dengan menggebu-gebu.
Hampir saja terlonjak, bila mana Wina enggan menahan dua kakinya. Terpaksa ia keluar dari alam khayal, gara-gara tangan kanannya tersengat rasa panas. Rupanya, minyak goreng mulai berloncatan, sebab terlalu lama dijemur di atas api.    
“Aduh.” Seketika mulutnya berteriak. Refleks.
Ia melihat benda bulat bertaburan angka di atas kalender. Oh, jarum pendek memeluk angka sembilan.
“Aduh.” Ini kali suaranya ditekan, lebih keras. Sengaja. Agar suaminya lekas mendekat dan mengulumkan ludah guna mengobati jemari Wina, layaknya adegan di film-film romantis yang ia tonton ketika diserang suntuk.
Tapi, untuk kesekian kalinya, ia dirundung kecewa. Sungguh. Lebih dari itu, mulai ia curiga kenapa dari tadi belum ada tanda-tanda bahwa lelaki yang sudah bertahun-tahun menikahinya bangkit dari ranjang.
Cepat-cepat ia matikan kompor dan bersiap menyajikan hasil masakan, guna dipajang di meja makan. Dan, karena yang ditunggu-tunggu belum tampak batang hidungnya, Wina segera menuju kamar Andre.
Tergeragap, ketika mengetahui kue brownies dan secangkir kopi yang dibuatnya dengan susah payah ternyata masih berada di tempat semula. Utuh. Sama sekali belum terjamah. Lebih tergeragap lagi, ketika melihat tubuh Andre masih terbungkus rapat oleh selimut. “Ada apa ini?” Batinnya berdesis. Padahal, sebelum jarum jam menunjuk angka delapan, biasanya suaminya sudah bersiul-siul di kamar mandi seraya menyanyikan lagu ‘Why Do You Love Me?’.
“Mas?”
Hening.
“Mas? Bangun.”
Hanya suara cicak di dekat jendela yang menyahut.
Wina mengerti, suaminya sebenarnya tidak sedang tidur. Hanya pura-pura membaringkan tubuh dengan sesekali menggeser bantal. Ia juga paham, perilaku demikian menunjukkan bahwa suaminya sedang marah. Tampaknya, selama ini ia memang hafal betul dengan ciri-ciri kemarahan lelaki pendiam di depannya itu.
Ia pun memberanikan diri bersoal, “ada apa, Mas?”
Tanpa menjawab, Andre langsung mengulurkan skarf kepada Wina. Skarf berwarna merah marun bertuliskan ‘I Love You’.
Diam.
Sekuat tenaga Wina berusaha menghembuskan kata-kata yang genap menempel di ujung lidah. Namun, gagal. Getaran hebat tiba-tiba melanda dadanya.
***
Di ruang tengah itu, tiada sebutir kata pun menyembul. Baik Wina maupun Andre, keduanya sibuk merawat pikiran masing-masing. Ikan bawal goreng yang ditaburi cabai hijau menjadi saksi atas bungkamnya dua makhluk yang duduk saling berhadapan.
Merasa bersalah, Wina memutuskan untuk membuka pembicaraan.
“Maafkan Wina, Mas.”
Andre memilih menunduk daripada menimpali kalimat Wina.
“Skarf itu, emmm……” Kata-kata Wina terputus. Namun, sejenak kemudian ia menyambung, “pemberian Indra.”
“Indra? Siapa dia? Apa arti tulisan itu?”
Kurang tahan mengikat lidah, Andre akhirnya mengusir gelisah.
“Wina dan Indra pernah menjalin hubungan.”
“Apa?”
Sepasang alis Andre bertaut. Mukanya memerah bak warna gorden rumah.
“Tunggu dulu! Mas Andre jangan salah paham. Maksud Wina, kami berdua pernah pacaran semasih SMA. Dulu, skarf itu sebagai tanda pertanyaan Wina apakah Indra serius dengan janjinya. Sebab, setelah jadian, beberapa bulan ia tidak menghubungi Wina sama sekali.”
“Terus, apa maksud ia mengembalikannya sekarang? Ingin mengulang masa-masa indah ketika pacaran? Kau tahu, Wina, kau sudah bersuami. Kau anggap apa aku ini!”
Tanpa aba-aba, cairan bening menjalari pipi Wina. Secepat kilat, ia menghapusnya dengan sapu tangan.
“Wina pernah mengirim surat padanya. Ketika itu, Indra buru-buru berangkat study ke Amerika. Beberapa bulan sebelumnya, ternyata Indra menyiapkan diri, agar lolos tes beasiswa. Ibunya melarang menghubungi Wina. Khawatir jadi penghambat. Jadi, hadiah skarf beserta surat itu dirahasiakan ibunya.”
“Apa isi surat itu?”
“Wina bilang, ‘jika kau mencintaiku, kembalikan skarf ini padaku’. Dan, ternyata ia mengembalikannya ketika Wina sudah punya Mas Andre.”
Lagi-lagi cairan bening meleleh dari sudut matanya. Wina tak memiliki kemampuan atau kemauan sedikitpun untuk membendung. 
Belum puas membeberkan penjelasan, Wina segera menggenapi kalimat sebelumnya, “Indra bilang, ibunya seminggu lalu memberikan skarf dan surat itu padanya. Indra baru tahu, setelah menetap di Amerika selama sepuluh tahun. Membuktikan perasaannya, ia pun mengembalikan skarf itu pada Wina. Tanda ia masih cinta.”
“Kau punya perasaan yang sama dengan Indra?”
“Mas omong apa, sih? Kan Wina sudah berumah tangga.”
Wina mencoba menyembunyikan apa yang terkubur rapat dalam lubuk hatinya.
“Baik. Kalau begitu, nanti malam skarf ini tolong kaubakar.”
Menggangguk.
Jemari Wina gemetar, ketika memegang skarf.
***
Menitihkan air mata, Wina bersiap melenyapkan skarf berwarna merah marun. Skarf yang ia persembahkan bagi lelaki pertama yang mengajarkannya arti cinta. 
Hampir saja skarf itu menjelma abu, sekiranya cahaya yang disulut korek api enggan mengenai ujung skarf. Saat itulah Wina sadar, di skarf tersebut melekat kertas lusuh, terlipat sangat kecil.
Mengalihkan niat semula, Wina membuka lipatan dan menemukan sepotong tulisan, “Sayang, bersediakah kau memulai hidup baru di Amerika? Aku punya perusahaan besar di sana.”
Wina terkesiap saat membaca tulisan itu. Namun demikian, sepertinya ia memupuk harapan: bersama Indra, ia bisa segera menjadi perempuan sejati, sebagaimana yang dari dulu selalu ia idam-idamkan. Sedangkan dari Andre, selamanya ia tidak akan pernah memperoleh keturunan.

Yogyakarta, 2013

Rabu, 21 Agustus 2013

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 18 Agustus 2013)

Gergaji

mata lengkung perut gunung
sayat kemaluan hingga apung

punggung pipih lidah nyermimih
lahap keberanian berderap lirih

dari rangka ini
kalian mafhum sudi
mana harga diri
mana waktu akut
menjaring selusin maut

Yogyakarta, 2013


Piring

tidak selamanya gebok nikmat
menyumpal lambung paling rentan
takkan selalu garam, cabai, tomat
menggiring riuh gaduh meja makan

sesekali perlu kami iris-iris usus kalian
ujung jantung kami luluhlantakkan

santet negeri seberang
sihir bebuyut para danyang
siap melesat penuh garang

Yogyakarta, 2013


Garpu

ke arah liat betis kami
lapar mereka tekun mengintai

pada ulet jari-jari kami
menggantung ribu payung mimpi

padahal di sekeranjang malam
di segantang remang
akan kami saji-hidangkan
duri lembut pagut kelezatan
ke relung paling tenggorokan

jika nyawa tertelan regang
oh, maafkan, maafkan
kami hanyalah mambang
terusir dari lembah keinsafan

Yogyakarta, 2013


Gelas

silakan rendam dengan air
kaki hingga leherku
yang hidmat kikir

moga racun kerontang menyusut
terurai lambung cacing perut
supaya subur senantiasa tumbuh
berkecambah di liang tubuh

tapi, butuhlah waspada
pada gerhana berbiji celaka
cuil kaca bersigap melumat
tiap mulut yang menganga

Yogyakarta, 2013