Jumat, 02 Juni 2017

Membumikan Pancasila (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Jumat, 2 Juni 2017)

Hari kelahiran Pancasila 1 Juni semestinya digunakan untuk mengukuhkan martabat dan kehormatan dasar negara. Sebab, akhir-akhir ini, bermunculan yang mulai meragukan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila dianggap tidak mampu menyelesaikan berbagai problem kebangsaan. Atas dasar inilah, mereka menginginkan agar landasan bernegara diubah.
Di samping beraroma tendensius, tentu sikap ini juga melahirkan pro kontra. Para pendukung menilai, Pancasila ideologi “usang” yang tidak relevan dengan kondisi kini. Adapun yang menolaknya cenderung meyakini Pancasila sebagai ideologi terbuka yang senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Secara historis, prinsip sosial budaya dalam Pancasila menjadi elemen penting nilai-nilai nenek moyang. Pada dasarnya, prinsip ini juga tergali dalam kehidupan sehari-hari yang sekaligus menyatu dengan adat-istiadat masyarakat. Ini berarti menjadi pandangan hidup, ciri khas, karakter, serta jati diri budaya bangsa. Di antaranya, kebersamaan, kekeluargaan, toleransi, dan gotong-royong.
Dalam perdebatan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), paham negara kekeluargaan atau integralistik dinyatakan secara tegas oleh Soepomo sebagai negara kesatuan dengan masyarakat yang tersusun secara integral. Di dalamnya terjalin hubungan erat antara semua golongan dan individu. Pemikiran ini sesungguhnya merujuk pada prinsip persatuan pimpinan dan rakyat sekaligus persatuan dalam negara secara keseluruhan.
Bagi Soepomo, konsep negara kesatuan sesuai dengan alam pikiran ketimuran serta berlandaskan pada struktur sosial masyarakat yang asli di desa-desa. Bagi Soepomo, konsep demikian tidak lain merupakan produk kebudayaan Indonesia (Sudjito, dkk, 2012: 35).
Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia yang diterbitkan Universitas Gadjah Mada tahun 2012 menyajikan catatan. Di antaranya, nilai-nilai Pancasila bisa menjadi titik tolak masuk pembudayaan bagi generasi muda. Hal ini terutama dirasakan di sejumlah desa dengan nilai budaya yang cukup kuat serta relatif lebih sering menggunakan cara komunikasi tradisional.
Bahkan, kerap dinyatakan bahwa Pancasila sebenarnya telah diimplementasikan dalam kearifan lokal masyarakat perdesaan. Asumsi ini tidak mengherankan karena Pancasila merupakan kristalisasi dari berbagai macam budaya Nusantara.

Demokrasi Asli
Pemikiran Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa terlepas dari ide “demokrasi asli” sebagai salah satu penopangnya. Dalam analisis Hatta, demokrasi asli Nusantara dapat senantiasa bertahan di bawah feodalisme. Sebab di berbagai daerah Nusantara, tanah sebagai faktor produksi terpenting bukan berada dalam kekuasaan raja, tapi dimiliki secara komunal masyarakat desa.
Lantaran kepemilikan bersama atas tanah desa, hasrat setiap orang untuk memanfaatkan tanah mesti mengantongi persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong kuatnya gotong-royong dalam mengelola dan menikmati hasil tanah bersama. Dalam perjalanannya, tradisi ini lambat laun menjalar pada urusan-urusan lainnya, termasuk individu seperti pendirian rumah.
Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011: 388) menyebutkan, adat hidup semacam ini ternyata melembagakan bermusyawarah dalam kepentingan umum yang selalu diputuskan secara mufakat. Lihat pepatah Minangkabau, “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat).
Boleh saja demokrasi desa ditindas kekuasaan feodal karena alasan pemilikan produksi bersama dan tradisi musyawarah. Tetapi, sampai kapan pun demokrasi desa tidak mungkin bisa dilenyapkan, bahkan akan selalu tumbuh. Berdasarkan pandangan Hatta, ini menanamkan keyakinan di lingkungan pergerakan kebangsaan di mana demokrasi Indonesia asli sangat kuat bertahan.
Hak rakyat untuk menggelar protes terhadap peraturan-peraturan raja yang dinilai kurang memenuhi rasa keadilan. Hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja ketika mereka merasa tidak senang lagi bermukim di sana. Dalam melayangkan protes, rakyat bergerombol di alun-alun. Selama beberapa saat, mereka duduk diam bertelanjang dada. Ini semacam demonstrasi damai.
Di Jawa, mekanisme protes diwujudkan dalam tradisi pepe (berjemur di bawah matahari) yang lahir sebagai respons atas kebijakan raja. Dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik, Deliar Noer (1965: 80) berpandangan bahwa pepe adalah hak rakyat untuk menyatakan ketidaksetujuan kebijakan penguasa. Hingga pertengahan abad ke-20, hak tersebut masih dipraktikkan di beberapa desa Jawa.
Cara orang desa melancarkan protes dengan bentuk pepe di alun-alun merupakan suatu gambaran nyata tentang posisi rakyat di hadapan raja. Pepe dilakukan setelah penyelenggara negara baik tingkat paling bawah (aparat desa), maupun jenjang lebih tinggi. Pepe menjadi sarana menuntut keadilan yang teraniaya oleh aparat raja.
Lantaran dilakukan tanpa bersuara, pepe diyakini semacam “demonstrasi bisu” dengan maksud memohon keadilan raja. Tindakan rakyat dalam tradisi pepe dapat dipandang sebagai mekanisme demokrasi era feodal. Dalam konteks ini, eksistensi orang desa memperoleh legitimasi negara. Mereka diberi kebebasan dalam menyuarakan haknya selaku warga negara. Raja menyediakan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan bernegara. Raja melibatkan mereka dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip good governance.
Dalam rangka memerangi hasrat orang-orang yang ingin merombak dasar negara, pemerintah harus menunjukkan peran dan fungsinya secara maksimal. Bila ditelusuri secara mendalam, menjamurnya kelompok anti-Pancasila tidak selalu berkaitan dengan ikhtiar oknum tertentu yang ingin memaksakan ideologinya. Namun, kecenderungan ini juga mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan warga serta tidak puas pelayanan publik. Ketika pikiran rakyat semakin dipenuhi dengan pesimisme, tuntutan mengubah dasar negara menjadi bentuk pelampiasan.
Supaya Pancasila tidak menjadi jargon semata, nilai-nilainya seyogianya diamalkan setiap warga, terutama para pejabat publik. Semangat dan vitalitas Pancasila seharusnya dipegang teguh dalam menegakkan fondasi NKRI. Pancasila tidak sekadar menjadi “bahan hafalan,” tapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, akhir-akhir ini muncul upaya beberapa pihak yang ingin “membonsai” Pancasila, sehingga sakralitasnya mulai memudar.
Prinsip-prinsip Pancasila begitu mudah dikerdilkan, dengan semakin banyaknya orang yang terjebak pada materialisme dan hedonisme. Orang-orang yang selayaknya menunjukkan teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara justru memberikan contoh kurang terpuji. Di berbagai media, dagelan dan lawakan politik kaum elite menjadi pemandangan sehari-hari. Hasrat dan ambisi individual seringkali membimbing mereka dalam bersikap, berbuat, serta mengambil keputusan.

Yogyakarta, 2017