Senin, 26 November 2012

Ikhtiar Mengistimewakan Desa (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos " edisi Minggu, 25 November 2012)


Sejarah Desa, Sejarah Derita
Sejarah desa menunjukkan sejarah yang kelam. Sejarah yang penuh dengan gema tangis, nada miris, keluh getir, dan penderitaan. Desa selalu diamini sebagai wilayah kecil dari sebuah negara, yang tidak banyak mendermakan andil dan pengaruh dalam pembangunan.
Ikhtiar mendulang ‘apresiasi’ terhadap desa merupakan hal urgent dalam menyongsong peradaban yang kokoh. Mustahil negara menjadi besar, jika para penguasa di dalamnya enggan memberi kesempatan kepada desa untuk turut ambil bagian dalam menjemput kemajuan. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, dapat dipastikan desa bakal menyajikan capaian yang bernas dan memuaskan. Desa akan menunjukkan bahwa dirinya memang pantas dan layak untuk diajak serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Sayangnya, desa jarang sekali—atau bahkan tidak pernah—mendapat kepercayaan untuk berunjuk gigi. Desa diperlakukan selaku anak kecil yang sama sekali belum mengenyam pendidikan.
Sudah banyak bukti yang tersebar, bahwa kehendak desa untuk tumbuh sering kali pupus, dikarenakan adanya intervensi pihak luar. Lebih dari itu, celakanya, intervensi yang berkelanjutan berubah menjadi otoriterisme. Padahal di manapun, otoriterisme memposisikan pihak penguasa selalu memiliki dalih atau alasan untuk memeras pihak yang dikuasai. Jadilah desa tidak terbentuk sesuai yang diinginkan. Apa yang kemudian terjadi pada desa merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan di atasnya yang lebih dulu ada. Kekuasaan itulah yang mengatur segala sesuatu mengenai desa. Sehingga, selain menjadi kurang cakap, hal tersebut menyebabkan desa kurang mandiri terhadap persoalan sendiri. Akhirnya desa menjadi pasif sekaligus tergantung kepada keputusan pihak lain.
Di jaman feodal, desa sangat sulit berkembang. Kebutuhan warga yang semestinya dicukupi desa tidak pernah terwujud. Hal ini disebabkan budaya penguasaan tanah desa oleh raja, selaku penguasa dalam kehidupan negara. Teori milik raja (vorstendomein), yang menetapkan bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dengan semena-mena diberlakukan.
Sebagai contoh di Jawa. Untuk menjadi petani saja, seseorang diwajibkan menyewa tanah dari bangsawan atau raja, dengan biaya selangit. Di sinilah terletak ketimpangan yang membabibuta. Tanah yang selayaknya bisa mereka manfaatkan untuk kepentingan sendiri, rupanya disalahgunakan oleh penguasa. Bukan hanya itu. Orang-orang yang bekerja untuk tuan mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Karena sedikit saja menunjukkan perlawanan, atau gelagat yang kurang disukai, maka mereka akan menanggung risikonya: dijual kepada tuan lain atau dipasung. Akibatnya, rakyat (petani) merasakan penderitaan luar biasa. Mereka disamakan dengan hamba sahaya: diperas keringatnya, lalu hasil kerjanya dipersembahkan kepada raja. Tak ayal, jika masa panen tiba, orang-orang berduyun-duyun ke kota guna menyerahkan padi, jagung, palawija, serta hasil bumi lainnya untuk dinikmati sang raja.
Di jaman kolonial, nasib desa tidak banyak berubah. Momentum pembaruan desa yang sangat diharapkan, sekadar halusinasi belaka. Hal ini terjadi karena perkembangan desa berada di bawah kungkungan watak kolonial itu sendiri, dimana menurut Kartodirjo (dalam Suhartono, dkk, 2000) kolonialisme mempunyai ciri pokok yang berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Proses ekspansi bangsa Eropa untuk mengambil sebanyak-banyaknya rempah-rempah—yang pada waktu itu menjadi komoditi penting di pasar Eropa—menjadikan desa sebagai lahan basah.
Dengan datangnya penguasa kolonial, tata hidup warga desa tidak menjadi lebih baik, justru sebaliknya, penderitaan yang dialami kian membabibuta.
Jika diperhatikan lebih seksama, kolonialisme membawa citra berlawanan. Di satu sisi, para penguasa kolonial hendak membebasakan tanah dari genggaman raja atau kaum bangsawan. Akan tetapi, di sisi lain (dan ini lebih parah), mereka menindas petani demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan, semua yang terkandung di desa dikeluarkan secara paksa, untuk dibawa pulang ke Eropa.

Mengistimewakan Desa
Sebenarnya desa mempunyai hak untuk diperlakukan istimewa. Sejak dahulu kala, “keistimewaan” sudah semestinya dilekatkan ke desa. Bersandar pada sejarah lahirnya UUD 1945, Mohammad Yamin (dalam Ni’matul Huda, 2005) pernah melampirkan suatu rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang berisi:
“Pembangunan daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Makna dan pengertian “hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” dalam kalimat terakhir di atas belum sempat dibahas dalam agenda rapat-rapat yang digelar BPUPKI. Namun setelah rancangan UUD tersebut ditetapkan oleh PPKI dan diberi penjelasan resmi dalam Berita Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 18 menyatakan bahwa volksgemeenschappen, semisal desa, negeri, dusun, atau marga dapat dianggap sebagai daerah bersifat istimewa. Meskipun demikian, ternyata sejarah berceloteh lain. Desa dan sekian volksgemeenschappen lainnya bernasib buruk, sebab tidak pernah dianggap istimewa.
‘Sejarah derita’ pada desa tak perlu berulang. Oleh sebab itulah, sudah saatnya desa dikembalikan pada ‘fitrah’-nya. Desa harus diperlakukan istimewa. Dalam rangka mengistimewakan desa tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, seyogyanya RUU Desa didukung oleh semua pihak. Pansus DPR dalam rangkaian kunjungan kerja ke China (pada tanggal 6-12 Juli 2012), tak perlu dicurigai jalan-jalan semata, jika pada akhirnya tim penyusun RUU tersebut mampu memahami konsep kedudukan pemerintahan kabupaten, provinsi, dan pemerintahan pusat di sana.
Kunjungan dengan lokasi tujuan di antaranya Hwangsi, yang dulu tergolong desa termiskin dan kini menjadi desa lima besar terkaya di China, tidak mungkin dipermasalahan jika benar-benar memberikan hasil yang maksimal. Dan lebih dari itu, apa yang dipetik bisa diadopsi dan disesuaikan dalam rangka penyusunan RUU Desa.
Kedua, desa tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Desa merupakan kekuatan besar yang menjadi pondasi kemajuan negara. Oleh sebab itu, desa harus diberikan wewenang dan akses anggaran lebih longgar. Dengan demikian, dalam kondisi bagaimanapun, desa dituntut cekatan serta cakap dalam mengelola dirinya sendiri. Selain bisa meringankan tugas pemerintah pusat, hal tersebut secara bertahap dapat menjadikan desa selaku salah satu penyokong ekonomi negara, sehingga perekonomian Indonesia akan semakin membaik.
Ketiga, sayap pergerakan ekonomi mulai dini harus diperlebar ke desa. Bukan saatnya lagi mengandalkan kota sebagai satu-satunya penggerak perekonomian negara. Dengan berbagai permasalahan pada kota, desa—yang notabene mempunyai permasalahan lebih sedikit—merupakan alternatif terbaik untuk membantu menjalankan roda perekonomian Indonesia.
Keempat, jenis pekerjaan yang semula hanya ada di kota harus tersedia di desa. Sudah barang tentu pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan demografi dan kultur desa. Jangan sampai dengan meluasnya lahan pekerjaan, permasalahan di desa malah ikut bertambah. Hal ini dalam rangka menghindari semakin banyaknya warga desa berhijrah, memburu kerja ke kota. Lagu “Desa” (Iwan Fals): Desa harus jadi kekuatan ekonomi/ Agar warganya tak hijrah ke kota/ Sepinya desa adalah modal utama/ Untuk bekerja dan mengembangkan diri//, tampaknya perlu dihayati dan direnungkan.
Hal kedua, ketiga, dan keempat di atas mustahil dapat terrealisir tanpa adanya langkah nyata dari pemerintah. Mulai sekarang pemerintah harus gencar memberdayakan desa. Karena di desalah sejarah peradaban negara bermula. W.S. Rendra (1977) pernah berkoar dalam “Sajak Sebatang Lisong”-nya: Kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata//.

Yogyakarta, 2012

Sabtu, 24 November 2012

Boneka Cantik (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kendari Pos" edisi Sabtu, 24 November 2012)


Darwin putus asa. 35 tahun bukanlah usia muda lagi. Rasanya, tiada puan yang mau dengannya. Siapa pula hendak kawin dengan lulusan SMA, yang belum mengantongi pekerjaan tetap. Sekarang pengamen. Lusa menjelma pengecer koran, cleaning service, buruh, kenek, atau kuli bangunan. Didukung dengan tampang lumayan amburadul, penampilan compang-camping, bertato cacing, serta berjenggot tebal. Puan mana yang tega menadah cintanya. Kalau pun toh ada, mungkin nenek tua yang sececah lagi nyemplung kuburan. Paling mentok, perawan renta dengan otak tengah terganggu. Atau janda yang butuh sandingan, demi menghindarkan diri dari setan.
Darwin mulai berburu hiburan guna menundukkan stres. Stres merencah nasib. Stres menyambut julukan yang terlanjur lengket di tubuhnya, ‘bujang lapuk’. Melamun di teras berteman secangkir kopi, ia teringat Nanang, tetangga yang rumahnya teronggok di ujung gang. “kalau gak ada kerjaan, main-main aja ke sini.” Kalam yang muncrat dari lidah Nanang, terakhir kali dikunjungi Darwin.
***
Awalnya, Darwin urung membongkar perasaan. Dalam benaknya, jika nekat mengatakan, pasti si gondrong bergigi mancung itu menertawakannya atau menggunjing habis-habisan: “edan!”, “eiy, kamu ngomong apa?”, “masih waras kan, Dar?”.
Lambat laun Darwin tak sanggup menahan perasaan yang kian meluap. Berulang kali ia berusaha membakar perasaan terkutuk tersebut. Bukannya lenyap, justru malah menguat. Melebihi perasaannya pada Jariyah, Atun, Dewi, Henik, dan Siti. Puan-puan yang sempat menempel di kepalanya.
Akhirnya, ia mentransfer sms ke Nanang. Sms singkat: “lg ngapain?”. Hingga ayam berkokok, HP-nya mematung, tanda sms tak berbalas. Darwin kecewa berat. Berhari-hari ia meringkuk di kamar. Badannya dingin panas. Bibirnya menggigil. Giginya pening. Kepalanya pusing sebab sibuk memikirkan sms yang dilayangkan.
Selasa malam, selingkar jam 8, HP-nya meraung. Di inbox muncul identitas ‘N’. “Maaf, baru puny pulsa. Da pa?”. Seketika, ia bangkit dari ranjang. Sakitnya seakan hilang. Peluang ia manfaatkan sebaik-baiknya dengan menyerang pengirim sms sampai kira-kira jam 1 dini hari. Setelah itu, kata-kata Darwin rajin sekali menyerbu nomor Nanang. Terkadang, sengaja ia gunakan nomor baru; pura-pura nyasar. Perjuangannya berbuah. Nanang berhasil ia ajak malam Minggu-an di alun-alun kota Salgita. Memandangi wajah bulan serta menikmati jagung rebus Pak Simo.
***
Darwin menjalin hubungan dengan Nanang, layaknya sepasang sir-siran. Dalam HP-nya, entah berapa ratus sms yang tersimpan. Sms dari lelaki yang sungguh ia sayang, juga menyayanginya. Sms yang kalau dibaca lekas membuat hati terbang ke angkasa. Sms yang berujar: “met bobok. Mimpi indah, ya”, kala waktu mengisyaratkan jam 10 malam. Juga rayuan sedikit menggombal: “uda makan lum? Sini sy suapin.” Atau semacam pertanyaan yang pura-pura iseng: “uda mandi lum?”. Dan banyak lagi sms mesra yang kurang pantas jika dituturkan di sini.
Ya, Darwin tahu ini cinta terlarang. Cinta sesama jenis. Cinta sesama makhluk Adam. Begitu pula sebaliknya dengan Nanang. Tapi apa boleh buat. Darwin memilih Nanang, karena hanya Nanang yang siap menerima dirinya apa adanya. Nanang pun demikian. Ia menjatuhkan pilihan pada Darwin, bukan miskin pertimbangan. Darwin ia kenal selaku sosok sederhana, agak nyeleneh, dan setia menampung curhat-curhatnya. Memang, selama ini tiada yang bersedia mendengar keluh-kesah yang dipelihara. Maklumlah, pelukis kelas kambing ini hidup terkoteng-koteng. (Hal ini dikecualikan dengan kucing loreng-loreng yang ia asuh). Tak seorang pun hafal seluk-beluk keluarganya, berapa jumlah saudaranya, di mana kota kelahirannya, termasuk ia sendiri. Persis makhluk buangan. Makanya, batin Nanang acap melempar tanya: “apa aku ini anak jadah?”
***
Berpacaran 3 tahun, Nanang bosan menenggak gunjingan. Alangkah sukar mempertahankan cinta yang jarang dicerna logika. Usai berdebat panjang dengan hatinya, ia goreskan pena pada sehelai kertas lusuh dan menaruhnya di gardu dekat kebun Pak Lurah, loka dimana ia beranjangsana dengan Darwin.
“Jalan ini yang harus kutempuh, Sayang. Kuharap kau mengerti keputusanku.”
Itulah kalimat pemungkas surat Nanang. Melankolis namun tragis.  
***
Meraup recehan di perempatan Jalan Pattimura, Darwin—dengan keringat masih mengucur deras— ergegas menuju sebiji mall. Gitar kesayangannya dititipkan ke Pak Munal, penjahit sol sepatu di samping toko buku Gramedia. Sebenarnya, Darwin hendak memborong 2 kardus mie instan—tipe makanan murah meriah yang jadi idola. Saat mata berayun ke sana kemari, ia dapati boneka cantik tergolek dalam etalase, bercampur dengan asesoris remaja. Entah apa yang nongkrong di otaknya, tiba-tiba saja Darwin membatalkan hasrat dan menyambar boneka bergaun merah berbandrol 30.000 rupiah. Tentu, harga yang tinggi bagi pengobral suara sepertinya.
Tiba di rumah, Darwin langsung membaringkan tubuh boneka, mengepang rambut boneka dengan karet nasi bungkus yang dibeli dari Mbok Sri. Belum pernah ia temui boneka semenawan itu. Darwin memberinya nama Lily, boneka yang kelak ia persunting sebagai istri. Menggantikan Nanang, yang terburu-buru meninggalkan dunia.

Yogyakarta, 2011

Senin, 19 November 2012

Belajar dari Batu Nisan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 18 November 2012)


“Bersukarialah semua makhluk hidup,
karena mahkota umat manusia yang begitu indah pernah hidup!”
(Epitaf di nisan Newton)

Selingkar tahun 1922, dunia digemparkan dengan maklumat yang dilempar oleh seorang pemburu berita kelahiran Georgetown. Ialah Carr V. Van Anda, wartawan yang pernah masyhur sebagai managing editor terpenting dalam sejarah New York Times. Apa yang dilakukan? Demi menyibak tabir kebenaran, Van Anda membuka ruang liputan yang begitu lebar untuk penemuan makam Raja Mesir Tutankhamen.
Beragam data yang dihimpun dari berbagai loka, dijelmakan Van Anda selaku sarana mendedah peristiwa yang masih ditudungi kabut tebal itu. Berbekal kecermatan dan analisis mendalam, sejumlah foto hasil pembongkaran makam tersebut ditelaah satu persatu. Van Anda menaksir bahwa telah terjadi pemalsuan yang berlangsung kurang lebih 4.000 tahun silam, yaitu persulihan tanda tangan sang raja oleh komandan militer Mesir kala itu.
Kesimpulan yang dipetik Van Anda menuturkan bahwa, raja muda Mesir tersebut meninggal akibat dihabisi oleh Horemheb, komandan tentara Mesir. Beberapa saat kemudian, pernyataan Van Anda mengunyah angin segar. Apa yang disingkapnya naga-naganya mendapat pengesahan dari ahli bidang Mesir kuno.
Keberhasilan Van Anda dalam menguak misteri ribuan tahun itu bukanlah sebiji kebetulan. Kemampuannya dalam menggali hieroglyphics (tulisan Mesir kuno) yang tak diragukan, mengantarnya sanggup membeberkan pemalsuan tersebut seusai membaca dan menyelami aksara yang melekat pada batu nisan Raja Tutankhamen.

Memungut Berkah Lewat Petuah
Epitaf bukan sekadar tulisan ringkas pada batu nisan yang diukir guna mengenang seseorang yang dikubur. Sesuai kapasitasnya, ia juga mendermakan petuah-petuah bagi mereka yang masih bernafas. Di dalam epitaf terkandung sejumlah amar, tuntunan, nasehat, nilai, juga ungkapan bijak, yang menawarkan percikan kebajikan sekaligus bebulir norma kehidupan. Hal ini, misalnya, bisa dirunut dari epitaf John Locke, Francois Villon, juga Florentine.
Dengan beragam kelemahan yang dipanggul, John Locke menyadari bahwa tiadalah manusia makhluk baka; dekat dengan sempurna. Manusia cuma makhluk sementara yang rimbun cacing dalam perutnya. Atas dasar itulah, meski kelak ketika nyawa rontok dari raga, pengarang disertasi politik aliran liberal berjudul “Two Treatises of Government” itu berhasrat tetap garang menggaungkan kebenaran. Tak heran, jika pada waktu jasadnya dibaringkan untuk selamanya, di batu nisannya tersua kata-kata: “wahai para pejalan kaki, berhentilah sejenak! Di sini terbaring John Locke. Kalau Anda bertanya, orang seperti apa dia. Dia akan menjawab: seorang yang hidupnya puas dengan hal-hal sederhana. Dia memang dibesarkan oleh ilmu pengetahuan. Namun, apa yang telah dijalankan seluruh hidupnya adalah pengabdian kepada kebenaran.”
Seorang penyair, pencuri dan gelandangan Perancis, Francois Villon (dalam Melani Budianta, 2006: 70)—melalui puisi—menyajikan epitaf yang syarat dengan imperatif moral: Saudaraku seumat yang hidup sesudah kami/ Jangan terhadap kami hatimu kau batukan/ Adapun, bila kau belasi kami yang malang ini/ Kaupun lantas saja diampuni oleh Tuhan/ Kau lihat kami lima-enam orang bergantungan/ Daging kami, terlalu kami padati dengan makanan/ Hampirlah busuk seluruhnya hancur berantakan/ Lalu kami, kerangka, menjadi tepung dan debu/ Kami yang malang ini janganlah tertawakan/ Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.
Adapun Florentine—di Belanda dikenal dengan julukan “Janda Hitam” (Black Widow)—sebelum meninggal pada 24 Maret 2007, sempat memesan batu nisan berhiaskan kalimat “de Waarheid Maakt Vrij” atau “kebenaran akan mendatangkan kebebasan”. Sungguh merupakan corak satir tersendiri terhadap slogan mayoritas kamp konsentrasi “Arbeit Macht Frei” atau “kerja akan mendatangkan kebebasan”.
Latar belakang lahirnya epitaf tersebut adalah ketika Florentine menyangkal adanya Holocaust, menyesali kejatuhan Dritte Reich Jerman dan ancaman terhadap kemurnian rasial. Akibatnya, istri kedua van Tonnigen itu dikecam habis bahkan oleh ketiga anaknya. Oleh karena van Tonnigen pernah menjadi anggota parlemen di tahun 1930-an, Florentine tetap menerima pensiun dari negara selaku janda anggota parlemen. Saat media massa memublikasikan berita tersebut tahun 1986, timbul kehebohan. Akibatnya, parlemen pun bersidang. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dilakukan, sebab penerimaan pensiun tersebut sah menurut hukum. (Fernando R. Srivanto, 2008: 11)
Epitaf Florentine di atas, selain menghibahkan pesan mulia, juga mengurai gambaran realitas bagi suatu masa. Masa di mana aktifitas ‘kerja’ menempati posisi tinggi memecundangi segalanya.

Epitaf dan Penderitaan
Epitaf tak hanya menyimpan petuah, melainkan juga memeram raung kesengsaraan. Sebagaimana epitaf di sebuah kota kuno bertuliskan: “Deleta Silentia”. Sesuai kronik Imelda Saputra (2010), motif di balik munculnya tulisan pada batu nisan tersebut termuat dalam kisah usang.
Konon, suatu hari, pangeran penguasa kota itu pernah terkejut tanpa sebab. Semenjak itulah, ia menerbitkan titah kepada warga istana agar tiada satu pun berita buruk dihidangkan ke telinganya, terutama kabar seputar penderitaan dan kematian. Celakanya, ia justru melumat siang dan malam untuk bersenang-senang, berfoya-foya, serta mereguk aneka rupa kenikmatan dunia.
Semua anak buahnya mematuhi perintah tersebut. Meski terkesan agak ganjil, mereka teguh mengindahkannya. Bahkan, ketika pihak musuh tiba di gerbang kerajaan, para penjaga urung melontarkan isyarat; seolah enggan, dengan membocorkan berita buruk tersebut, mereka dicap durhaka.
Akhirnya, sang pangeran terperanjat mencerap erang kesakitan para prajurit yang sekarat tatkala istananya terbakar. Dan, dalam waktu relatif singkat, kota itu direbut dan diduduki musuh.
Dalam kisah lain, seorang tahanan politik Boven Digul bosan menerima perlakuan yang begitu keji. Betapa dalam keterkungkungan dan penindasan yang membabibuta, ia merasakan penderitaan yang luar biasa. Kendati demikian, ia tetap membesarkan jiwanya dan berusaha semaksimal mungkin merawat harapan. Harapan yang barangkali akan terwujud setelah datang kematian. Itulah mengapa, di batu nisannya, terpajang sebuah puisi—ditujukan kepada seseorang yang mewariskan inspirasi tiada henti: Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/ Hari ini telah tumbuh dari masamu/ Tangan kami yang akan meneruskan/ Kerja agung jauh hidupmu…….// Kami tancapkan kata mulia/ Hidup penuh harapan/ Suluh dinyalakan dalam malammu/ Kami yang meneruskan……./ Sebagai pelanjut angkatan…….
Begitu kecut dan getirnya kehidupan, tak ayal, jika di batu nisan Soe Hok Gie terpahat kata-kata: “nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow.”

Yogyakarta, 2012

Kamis, 15 November 2012

Akhir Derita Tasia (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Minggu, 4 November 2012)

Judul: My Daddy ODHA
Penulis: Dy Lunaly
Terbit: Juli 2012
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 144 halaman
Harga: Rp. 27.000
HIV AIDS rupanya tidak hanya membuat penderitaan pengidapnya, tetapi bisa juga mengenai keluarga, termasuk anak. Ialah Anastasia Chandra Kharzkov, gadis belasan tahun yang meski tidak tertular HIV AIDS, namun ikut terkena imbas, karena karena ayahnya seorang dengan HIV AIDS (ODHA).
Kala masuk SMA, ia berharap kehidupan akan berubah. Tak ingin mengulangi kemalangan seperti ketika SMP. Ia ingin hidup normal layaknya teman-teman: belajar, bermain, belanja, dan bersuka cita. Ingin sekali ia mengubur kenangan masa silam.
Tapi Tasia-demikian biasa disapa- tak menemukan harapan. Sesuatu yang selama ini disembunyikan, malah dibuka lebar-lebar oleh teman satu sekolah, Alexandria. Bersama teman geng, Alexandria menempelkan tulisan: “Anastasia Kharzkov, HIV +? Her Daddy ODHA!!!” (halaman 30). Tasia terkejut. Darimana dan bagaimana Alexandria tahu ayahnya seorang ODHA? Bingung sekaligus tertekan menyergap. Kekhawatiran terjawab. Ia merasa teman-temannya akan menjauhinya.
Benar. Dugaan Tasia tak meleset. Makin banyak teman menghindar, seakan mereka takut tertular HIV. Padahal, ia sudah memberitahukan bila dirinya tidak terinfeksi. Namun ia tetap dikucilkan. Sampai harus membawa bekal makanan ke sekolah, karena pemilik kantin pun melarang membeli makanan di situ.
Mencoba tegar dan tersenyum menjadi cara Tasia agar tak menambah beban orang tua. Meski merasa depresi akut, ia mencoba tersenyum. Kalau Mama bertanya mengapa membawa bekal, jawabnya sederhana: sedang diet. Tapi rupanya cobaan tak terhenti sampai di situ. Banyak hal yang dilakukan teman untuk membuatnya tidak tahan dan menghinakan (halaman 68).
Novel tipis ini memukau. Karangan yang diracik renyah dengan sisipan bahasa Inggris dan Rusia ini menunjukkan pada kita betapa stereotip masyarakat terhadap ODHA bahkan keluarganya masih kuat. Dan ini rupanya fenomena global, bukan hanya di Indonesia. Sehingga pendidikan kepada masyarakat dan informasi mengenai HIV AIDS memang perlu ditingkatkan. Agar masyarakat lebih paham bagaimana penularan virus tersebut bisa terjadi, bagaimana mengantisipasi dan bagaimana jika ada ODHA di sekitar kita. Mungkin dari novel ini kita bisa belajar. 

Yogyakarta, 2012