Sabtu, 31 Desember 2016

Menyoal Status Staf Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 29 Desember 2016)


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melempar usulan agar jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) disematkan bagi para staf desa. Di beberapa daerah, seringkali staf desa silih berganti seiring dengan lengsernya kepala desa (Kades). Di samping melancarkan penyerapan dana desa, hal ini dilakukan demi menghindarkan staf-staf desa dari intrik politik saat terjadi hiruk-pikuk pemilihan Kades.
Alokasi dana desa yang begitu besar mengharuskan sumber daya manusia (SDM) yang cukup memadai untuk mengurusnya. Jika hal ini diabaikan, tentu dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan. Akibatnya, para koruptor tidak hanya lahir di level nasional, melainkan juga di tataran lokal. Dana desa yang seyogyanya dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat desa justru menjadi proyek bancakan elite-elite nakal dan oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Oleh sebab itulah, perlu analisis mendalam mengenai alur birokrasi, prosentase kebutuhan, dan analisis jabatan, sebelum pemerintah menerbitkan keputusan. Apalagi, tersebar rumor bahwa wacana pengangkatan staf desa sebagai “pengabdi negara” berawal dari tuntutan mereka yang mengeluhkan tentang minimnya pendampingan penggunaan dana desa.
Kebijakan pemerintah tidak boleh didasarkan hanya pada desakan sejumlah pihak. Timbulnya kebijakan mesti berangkat dari analisis tajam dan pertimbangan rasional. Harus ada latar belakang, alasan, serta motif kuat mengapa suatu kebijakan diambil. Pemerintah tidak semestinya mengesampingkan fakta bahwa masyarakat kita saat ini, termasuk orang desa, sudah mulai berpikir pragmatis.
Boleh jadi, tuntutan sebagai pegawai negeri hanya demi meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki perekonomian, dan melarikan diri dari kepungan kebutuhan sehari-hari yang kian mendesak. Tanpa rasionalisasi, munculnya kebijakan akomodatif dan kompromistis rentan merusak prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh tokoh-tokoh bangsa dan negarawan.

Pemborosan Uang Negara
Jika wacana di atas terealisir, bisa dibayangkan betapa besar uang negara yang dibelanjakan untuk “membayar” staf desa. Padahal, program-program yang dibebankan APBN tidak selalu berjalan mulus. Daripada mengangkat staf desa sebagai PNS, lebih baik pemerintah berusaha memaksimalkan peran dan fungsi pendamping desa. Hal ini juga bertujuan menghilangkan dualisme kewenangan staf desa dan pendamping desa yang hanya akan menyebabkan rancunya pemerintahan desa.
Pemerintah dituntut mampu memelihara struktur desa bercorak unik dan genuine, sehingga memiliki pola, bentuk, dan karakter yang berbeda dengan kelurahan. Menurut ketetapan regulasi, kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah kabupaten atau kota yang berstatus sebagai PNS. Berbeda dengan kelurahan, desa bukanlah bawahan kecamatan dan bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Desa dibekali hak mengatur wilayah yang lebih luas (meski dalam perkembangannya, sebuah desa dapat berubah menjadi kelurahan).
Identitas desa sebagai gabungan dari self government community dan local state government mesti dipertahankan. Hal ini antara lain diwujudkan dengan meminimalisir pencomotan PNS dari staf desa.
Mengutip La Ode Ida (2012), staf desa merupakan unit pemerintah dalam civil society yang secara sukarela menanamkan nilai budaya di daerah tertentu, tanpa sedikit pun berharap imbalan. Kebutuhan negara bukan dalam rangka membiayai individu, tapi berinvestasi bagi kepentingan kehidupan rakyat jangka panjang. Sehingga, kreatifitas orang-orang desa sangat bermanfaat bagi peningkatan pembangunan kawasan perdesaan.
Adapun pendapat bahwa perekrutan staf desa menjadi PNS adalah dalam rangka membuka lapangan pekerjaan rasanya kurang tepat. Sarjana-sarjana yang menganggur bisa diberdayakan dengan cara merevitalisasi BUMDes sebagai katalisator perekonomian masyarakat perdesaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya berpangku tangan, menunggu peluang pekerjaan yang semakin kecil. Seyogyanya mereka dibentuk sebagai pribadi-pribadi dengan kualitas mumpuni serta jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi.

Pendapatan Tetap
Meskipun sebagai pengabdi desa, staf desa selayaknya mendapat penghargaan yang layak berupa pendapatan tetap tiap bulannya. Penyediaan kompensasi atas waktu, keringat, dan pikiran mereka tentu dapat melahirkan semangat dan motivasi yang tinggi dalam mengabdikan diri pada desa. Di samping itu, kinerja mereka lebih maksimal dan terorganisir.
Tidak bisa dimungkiri, ketiadaan sumber ekonomi yang jelas kerap membuat seseorang mencari pekerjaan di luar fungsi dan perannya dalam pemerintahan desa. Akhirnya, ia akan lebih sibuk dengan pekerjaannya dibanding menjalankan kewajibannya sebagai staf desa. Kondisi seperti inilah yang menjadikan desa dan pemerintahan desa tidak terurus. Tugas sebagai staf desa hanya dijalani sebagai sambilan yang sewaktu-waktu bisa dinomorduakan.
Sebagai catatan, sistem pembayaran dan besaran pendapatan tetap staf desa tidak boleh disamakan dengan gaji PNS. Harus ada aturan tersendiri yang membedakan antara keduanya. Bagaimana pun, nominal pendapatan yang terlalu besar rentan menyebabkan munculnya berbagai risiko. Di antaranya, lahirnya para calo atau makelar yang menyediakan jasa bagi seseorang yang berkehendak menjadi staf desa. Belum lagi persaingan para warga desa untuk dapat menjadi staf desa. Sayangnya, persaingan tersebut lebih untuk pencapaian status sosial dan peningkatan kesejahteraan dibanding pengabdian diri kepada desa.

Bojonegoro, 2015


Kamis, 22 Desember 2016

Dilema Pendamping Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 22 Desember 2016)



Belum lama ini, muncul penolakan terhadap pendamping desa di sejumlah tempat. Ternyata penolakan ini memilah mereka menjadi tiga. Pertama, para penjunjung tinggi idealisme yang memilih berhenti. Mereka berprinsip bahwa lebih baik resign daripada bekerja nir-nurani.
Kedua, para pengagum pragmatisme yang tetap bekerja meski kurang aktif dan produktif. Dengan kata lain, gaji yang mereka terima dari negara kurang sebanding dengan prestasi. Kehadiran mereka di desa hanya bermaksud “mengisi presensi” tanpa mengetahui lebih dalam tentang perkembangan desa.
Ketiga, mereka yang berada di antara kedua kelompok di atas. Sebab menyadari dalam posisi terjepit, kelompok ini terpaksa mengundurkan diri. Gertakan dari beragam pihak membuat nyali mereka menciut. Mereka tidak tahan dengan sikap perangkat desa yang terkesan angkuh. Apalagi, mentalitas priayi genap membentuk diri kepala desa sulit menerima kritik, saran, serta perubahan.
Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.

Sikap Dingin
Kian maraknya penolakan terhadap pendamping desa terutama disebabkan oleh kegelisahan kepala desa. Posisi mereka tentu terancam, jika pendamping desa dibiarkan terus melenggang. Kemunculan pendamping desa senantiasa meresahkan para pemegang teguh status quo yang selama ini genap terbebani dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, BPD diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. Di satu sisi, BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka. Kepala desa yang memiliki sense of legitimacy tentu merasa diuntungkan dengan hadirnya BPD.
Di sisi lain, ternyata BPD tidak memberikan sumbangan berarti terhadap pelembagaan demokrasi desa secara maksimal. Timbul masalah baru, sebab lembaga perwakilan tersebut menjalankan kewenangannya secara kebablasan. Tidak sedikit kepala desa yang mengeluh dan melaporkan bahwa dirinya telah didzalimi. Mereka menganggap bahwa BPD terlalu “menekan”, sehingga tak heran jika mereka menyebutnya dengan Badan Provokasi Desa. Menurut kepala desa, BPD juga sering melakukan pelanggaran terhadap batas-batas kekuasaan yang telah digariskan kepadanya (Ade Chandra, 2005: 230).
Untuk sementara, kegelisahan ini mampu disikapi secara “dingin”. Kepala desa menganggap bahwa dibanding BPD posisi pendamping desa kurang berpengaruh, meski keduanya sama-sama dibekali tugas pengawasan (ketetapan legislasi menetapkan bahwa BPD berperan mengawasi jalannya pemerintahan desa, sedangkan pendamping desa mengawasi penggunaan dana desa).
Lain halnya dengan BPD yang terkesan sulit dijinakkan, pendamping desa cenderung rentan dikondisikan. Para birokrat lokal menilai bahwa pendamping desa adalah “anak kemarin sore” yang minim pengalaman. Mereka kurang memahami dinamika politik lokal. Jika BPD mampu menunjukkan taringnya, maka pendamping desa ibarat macan ompong yang takut bahkan terhadap mangsanya sendiri. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah pendamping desa.

Perlunya Harmonisme
Semestinya dibentuknya pendamping desa adalah bertujuan agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan dengan baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki sarana desa, semisal jalan, jembatan, gorong-gorong, irigasi, dan lain-lain.
Akan tetapi, realitas berkata lain. Pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan dari pemerintah pusat ternyata dijadikan “bancakan” bagi tokoh-tokoh lokal. Kasus-kasus penyelewangan terjadi di beberapa tempat. Penggelembungan dana (mark up) atas pembangunan desa sering kali ditemukan. Parahnya, berdiri sejumlah CV dadakan yang dimanfaatkan sebagai kedok oknum yang ingin memperkaya diri.
Pendamping desa hanya menjadi “bulan-bulanan” elit-elit desa. Mereka menjadi korban kekejaman aktor politik lokal. Mereka adalah tumbal bagi pihak yang bernafsu mengekalkan kekuasaan dan gelimang materi. Pemerintah desa merasa terganggu dengan kehadiran pendamping desa. Mereka dianggap “perusuh” yang mengobrak-abrik tatanan. Siklus permainan politik di tingkat lokal terancam buyar seiring dengan dukungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atas eksistensi pendamping desa.
Pendamping desa menghadapi dilema. Di satu sisi, keberadaannya dibutuhkan pemerintah pusat dan masyarakat. Namun, di sisi lain, mereka ditolak oleh perangkat desa. Dengan posisi ini, kinerja pendamping desa bisa dipastikan kurang maksimal. Dalam menjalankan tugas, mereka dibayangi oleh beragam intimidasi, baik fisik maupun psikologis. Bahkan, ketika menulis laporan, kerap pemerintah desa mempersulit mereka dalam urusan administratif. Sikap ini menyebabkan pendamping desa menyimpan dendam terhadap elit-elit lokal, khususnya kepala desa.
Fenomena di atas mengakibatkan masyarakat pedesaan terkotak-kotak. Secara tidak langsung, orang-orang desa terfragmentasi menjadi dua bagian: pendukung kepala desa yang anti-perubahan dan penyokong pendamping desa yang menghendaki kemajuan.
Dengan demikian, sinergitas harus tercipta antara pemerintah desa dengan pendamping desa. Harmonisasi bukan berarti upaya mensinergikan berbagai kepentingan, namun lebih pada ikhtiar menjalankan fungsi masing-masing pihak dengan mekanisme checks and balances.

Bojonegoro, 2016

Selasa, 20 Desember 2016

Peta dan Bela Negara (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 20 Desember 2016)


Tanggal 18 Desember 1995 pemerintah meresmikan monumen Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor dalam silang sengkarut dengan kegigihan Jepang yang berhasrat menancapkan kolonialisme. Saat Indonesia mampu melepaskan diri dari cengkeraman Belanda, kehadiran Jepang membawa harapan baru rakyat jelata yang membayangkan bahan makanan mudah diperoleh.
Sebab sebelum perang, toko-toko Jepang menyediakan aneka macam kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. Dalam kenyataan, harapan ini hanyalah isapan jempol. Masuknya Jepang justru membawa penderitaan rakyat. Makanan sangat sulit didapat.
Di tengah kesengsaraan, para pemimpin justru membebani rakyat. Mereka menganjurkan lelaki dewasa untuk bergabung menjadi romusa dan bekerja dalam kamp-kamp militer tanpa upah. Dengan berat hati mereka meninggalkan keluarga dikirim ke Sumatera, Burma, Singapura, Saigon, dan Siam. Terkadang. Romusa terpaksa melupakan tanah kelahiran, mati di tengah perjalanan. Di beberapa kawasan tambang batubara di Sibayah, Banten Selatan dan Malingping, ribuan romusa kehilangan nyawa saat membangun jalan kereta api. Mereka yang beruntung kembali ke desa dalam kondisi mengenaskan.
Situasi demikian kurang disadari para pemimpin. Mereka justru lebih intens mengarahkan rakyat untuk mengabdikan diri sebagai romusa. Padahal, dalam kerja dan latihan militer terkandung kepentingan kolonialisme. Bala tentara Dai Nippon mengincar pemuda desa untuk menyukseskan program-programnya.
Mereka berharap, doktrin mudah ditancapkan di kepala orang-orang desa yang kurang kritis. Kaum intelektual dan orang-orang kota yang menerima pendidikan barat sengaja dijauhkan dari romusa. Maka, banyak desa kekurangan tenaga kerja, terutama lelaki.

Korps Militer
Sejak pengujung 1942, Jepang memupuk optimisme terhadap generasi muda perdesaan. Mereka percaya, energi orang-orang desa bisa dimanfaatkan membantu memperkuat pertahanan Jepang dan melancarkan resistensi Sekutu. Atas dasar inilah, Jepang membentuk seinendan, organisasi pemuda-pemuda desa yang mengagendakan militerisme dan menyelipkan propaganda (sendenbu). Korps ini memiliki sejumlah cabang di desa-desa besar.
Beberapa orang yang menerima pendidikan khusus di Jakarta memperoleh tugas membisikkan semangat Nippon no Seishin. Jepang yakin dibanding masyarakat lain, pemuda-pemuda desa lebih semangat melawan luar biasa. Ada juga keibodan, organisasi beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing dengan misi utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Hampir di setiap desa dibentuk satu peleton keibodan di bawah pimpinan kepolisian. Mengenai seinendan dan keibodan, banyak istri para pejabat turun ke desa menyadarkan kaum ibu agar merelakan anak gabung dua korps ini.
Pada tahun 1943, Jepang menyetujui pembentukan Peta yang berdasar surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) guna membantu Jepang di medan perang. Putra-putra Indonesia yang bergabung dipersenjatai senapan. Para prajurit Jepang melatih tentara Peta.
Para pemimpin nasional membekali pendidikan politik. Korps perwira ini selalu diindoktrinasi gagasan nasionalisme Indonesia. Pembentukan Peta  untuk gerilya melawan serbuan Sekutu. Latihan kemiliteran Peta diadakan di desa sehingga melihat langsung penderitaan rakyat. Jepang begitu kejam memperlakukan romusa-romusa. Tentara Peta direkrut dari pejabat, guru, kiai, dan bekas KNIL. Pengetahuan praktis teritorial Peta meliputi cara mendekati pamong desa dan penduduk guna memperoleh bantuan penuh rakyat.
Hal ini menandakan, warga  desa mendapat perhatian dalam upaya membentuk pertahanan yang kuat. Motivasi penduduk desa mampu menyemangati tentara Peta. Banyak pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota Peta, terutama mantan Seinendan. Meskipun semula dari persetujuan Jepang, dalam kenyataannya, Peta justru melancarkan pemberontakan di berbagai tempat. Hal ini semakin melemahkan kekuatan Jepang.

Pemuda Desa
Desa merupakan tulang punggung seinendan dan keibodan. Jepang percaya pemuda desa untuk menunjukkan kegigihan berjuang. Mereka memiliki fisik kuat, tak kenal lelah, dan pemberani. Jumlahnya melimpah. Dengan demikian, pemuda desa memegang peran penting melancarkan kepentingan Jepang terhadap Indonesia. Jepang memanfaatkan pemuda sebagai sasaran utama propaganda.
Para pemuda didik militer guna meningkatkan kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria. Meskipun lebih bercorak negatif karena berorientasi pada ideologi imperialisme,  ini menunjukkan warga desa mampu eksis. Mereka penopang utama kedigdayaan negara.
Kedekatan emosional dengan warga desa juga ditunjukkan anggota Peta. Ini menunjukkan,  desa memiliki posisi istimewa dalam arah perjuangan Peta. Fakta ini juga membuktikan, desa berfungsi sebagai ujung tombak perjuangan rakyat. Urgensi desa dalam memperkuat pertahanan bangsa mesti dibidik dalam konteks sekarang. Upaya mempertahankan kedaulatan negara harus melibatkan desa.
Program-program pemerintah desa selayaknya memberdayakan generasi muda. Kepala desa beserta perangkat harus percaya kekuatan pemuda. Kekuatan pertahanan bisa ditopang para pemuda desa. Dalam bingkai inilah, konektivitas program-program pemerintah desa dan pusat menentukan. Belum lama ini, Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela negara.
Negara berencana merekrut 100 juta kader untuk memperkuat wawasan kebangsaan  dan memperkuat negara. Dalam rangka merevitalisasi patriotisme Peta inilah, pemuda desa dapat diberdayakan. Sejak dini, mereka diarahkan untuk senantiasa menyukseskan program bela negara.
Diharapkan dari program ini lahir kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala ancaman dan bahaya. Program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan, kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah menunjukkan, masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing aksi provokator pemecah-belah persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antarwarga. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokator tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan baik politis, sosial, maupun finansial.

Bojonegoro, 2016

Senin, 19 Desember 2016

Pulung dalam Mitologi Jawa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Sabtu, 17 Desember 2016)


Hajatan demokrasi di wilayah perdesaan selalu menarik perhatian kalangan akademisi dan peneliti. Dinamika politik lokal menyajikan keunikan yang tidak mungkin ditemukan dalam panggung politik nasional. Salah satu keunikannya yaitu kepercayaan masyarakat Jawa terhadap pulung.
Ada kepercayaan, sebelum menjalankan titah, pemimpin desa memperoleh seberkas cahaya biru dari langit yang meluncur ke samping atau mengenai rumahnya. Oleh masyarakat desa, cahaya ini disebut pulung. Kepercayaan tradisional menempatkan pulung sebagai “alarm” seseorang mengantongi anugerah sekaligus amanat. Kemenangan dalam Pilkades di antaranya dapat dilihat dari tanda-tanda siapa yang direstui pulung. Itulah mengapa, Darmaningtiyas (2002: 433) dalam penelitiannya di desa-desa Kulonprogo mengungkap bahwa kepala desa merupakan “jabatan pulung”.
Pulung seolah menyimpan kekuatan gaib yang mengantarkan seseorang menduduki kursi kekuasaan. Dalam perspektif agama, ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian. Tak heran jika orang-orang Jawa dengan corak pandang konservatif melekatkan kemuliaan pada pulung. Bagaimanapun, ia identik dengan “stempel” atas kepemimpinan seseorang dalam suatu komunitas.

Kontradiksi
Pesta demokrasi di desa kerap diwarnai dengan kasak-kusuk tentang siapa yang menerima pulung. Penilaian publik mengenai kelayakan seseorang memimpin tidak berangkat dari kejujuran, transparansi, serta loyalitasnya pada komunitas, melainkan “kepada siapa pulung berpihak”. Kredibilitas seorang pemimpin diukur dengan dukungan gaib, bukan prestasi, karakter, serta kerja kerasnya.
Fenomena ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk meraup keuntungan. Mereka sengaja menyebar desas-desus bahwa salah seorang genap memperoleh pulung. Harapannya, optimisme dan semangat pendukung calon kepala desa lain menurun. Suasana batin dan psikologi tim sukses rentan terpengaruh oleh peristiwa turunnya pulung dari atas. Pulung menghidangkan sesuatu yang kontradiktif. Di satu sisi, ia menjanjikan keberuntungan bagi siapa yang mendapatkannya. Di sisi lain, ia merupakan kabar buruk bagi calon kepala desa lainnya.
Keyakinan ini merupakan warisan budaya Hindu yang masih terpelihara: terdapat tanda-tanda tertentu sebelum seseorang dikukuhkan menjadi pemimpin. Beberapa simbol dan lambang menandai seseorang selaku “manusia terpilih”. Ini menjelaskan adanya hubungan antara budaya politik dengan keyakinan manusia. Meskipun tidak dapat dicerna logika, sebagian masyarakat Jawa meyakini keberadaan pulung yang berbau mistis.

Tabuh Kentongan
Mengenai keberadaan pulung, terdapat cerita menarik. Praktik perdukunan dalam Pilkades di Desa Gelap, Lamongan, telah menyebabkan seseorang menjadi gila. Ia terserang penyakit kejiwaan setelah mencuri tabuh kentongan milik keluarga calon kepala desa. Ia nekat melakukan aksinya atas perintah paranormal dari kubu pesaing. Hal ini bermaksud agar pulung berpindah pada kelompoknya (Heru Cahyono, 2005: 213).
Fakta di atas menggambarkan bahwa untuk menarik pulung, berbagai cara ditempuh, termasuk mengorbankan warga. Kegilaan pada diri seseorang merupakan risiko pencurian pulung. Orang tersebut merupakan tumbal bagi calon penguasa. Ia genap merelakan diri menjadi korban kebuasan elite lokal. Pada konteks inilah, ia dianggap begitu hina. Namun, dalam taraf tertentu, perbuatannya dinilai suci lantaran menjadi sarana orang yang ingin mengabdi pada masyarakat.
Dalam perilaku seperti ini, tersimpan asumsi bahwa kejayaan bukan “turun dari langit”, melainkan atas jerih payah manusia. Kejayaan yang dicapai manusia sebanding dengan ikhtiar dan kerja. Demi meraih kemenangan, pengorbanan semacam ini harus dilakukan. Bagaimanapun, jabatan kepala desa meniscayakan upaya sungguh-sungguh yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Saat manusia semakin cerdas dan kalkulatif, keyakinan terhadap pulung semakin ditinggalkan. Kaum modernis mulai meragukan mitologi dan budaya yang kurang rasional. Gejala mengkota pada wilayah perdesaan Jawa akhir-akhir ini membuat masyarakat berpola pikir urban. Mereka cenderung berpikir logis-praktis. Mereka berpandangan, terpilihnya seseorang menjadi kepala desa berkat kepiawaiannya mengundang simpati. Suksesnya seseorang meraup suara dalam Pilkades tergantung seberapa hebat strateginya dalam mendekati warga, baik dengan materi, kewibawaan, maupun modal sosial. Kampanye dianggap sebagai modal besar dalam meraih kemenangan.

Yogyakarta, 2016

Sabtu, 17 Desember 2016

Desa dan Toleransi Agama (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara Merdeka" edisi Sabtu, 17 Desember 2016)


Di wilayah perkotaan, gejala intoleransi beragama saat ini begitu nampak. Munculnya beberapa kasus seolah menggambarkan pada dunia bahwa negeri ini membenci pluralitas. Padahal, Pancasila genap dikukuhkan sebagai dasar negara. Perbedaan keyakinan merupakan hal yang wajar, sehingga tidak perlu dipersoalkan.
Fakta ini menunjukkan sulitnya masyarakat urban mewujudkan kerukunan umat beragama. Ada sinisme dan apatisme terhadap siapa saja yang menganut kepercayaan berbeda. Atas dasar inilah, mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Desa, Budiman Sudjatmiko, mengajak masyarakat urban belajar kerukunan beragama dari desa. Ia menilai, pola keberagamaan di banyak perdesaan Indonesia begitu toleran sehingga jarang terjadi konflik. Keberadaan desa merupakan modal besar dalam upaya mengokohkan pilar-pilar toleransi.
Orang desa benar-benar menjunjung tinggi harmonisme dan gotong-royong. Betapa demokrasi lokal dan interaksi sosial tercipta karena sikap saling menghormati dan menghargai. Saat menjalankan ibadah, orang desa jauh dari gejala fanatisme. Militansi keagamaan yang bercorak magis, teologis, dan ideologis tidak mencinderai hubungan antar umat beragama. Meskipun berbeda keyakinan, mereka tetap mengutamakan keselarasan. Dalam dunia orang desa terdapat way of life yang mesti dipatuhi bersama.
Memang masih muncul kasus-kasus kekerasan di sejumlah desa. Akan tetapi, warga desa dapat menahan diri dari sikap reaktif-emosional. Mereka berusaha meredam ego masing-masing dengan menjunjung tinggi kepentingan publik. Setelah lahir konsensus dan mediasi, mereka hidup secara berdampingan. Mereka senantiasa memegang prinsip kerukunan yang genap dikukuhkan para leluhur selama berabad-abad silam.

Kultur Agraris
Boleh jadi merebaknya kasus intoleransi beragama dikarenakan generasi masa kini mulai meninggalkan tradisi bertani. Bidang pertanian hanya ditekuni oleh mereka yang sudah ‘bau tanah’. Padahal, dalam proses pengolahan tanah tersimpan unsur sosiologi. Hubungan kerja antarpetani tidak hanya bertujuan mencari keuntungan materi, namun juga mengukuhkan nilai-nilai humanis. Pemenuhan kebutuhan hidup tidak lantas mengesampingkan tanggung jawab sosial. Mereka memegang teguh apa yang disebut “hasrat kolektif”.
Dengan bekerja bersama, kolektivitas petani tetap terpelihara. Prinsip gotong-royong melandasi aktivitas mereka. Di sela-sela mencangkul tanah, menanam jagung, menyebar pupuk, dan memanen padi, mereka berusaha menjalin komunikasi. Keintiman, kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Mereka tidak memerlukan situasi resmi demi mengekalkan jalinan persahabatan dan kekerabatan. Betapa kultur pedesaan yang halus merupakan imbas dari corak kehidupan pertanian.
Berbeda dengan nuansa kota-kota di Indonesia yang terkesan arogan, keras, dan kasar. Pengaruh budaya global menyebabkan kota cenderung individual. Akibatnya, di samping melahirkan perilaku ‘menang sendiri’, kultur urban juga membentuk kepribadian yang sukar diatur. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan penistaan agama dipicu oleh merangseknya budaya urban dalam psikologi masyarakat. Inilah yang perlu disayangkan. Dengan corak masyarakat plural dan heterogen, yang memuat sejumlah unsur kehidupan sekaligus, seharusnya kota menjadi tempat menimba makna perbedaan.
Atas dasar inilah, melalui kurikulum pendidikan, generasi muda didorong untuk mewarisi kultur agraris. Konsep nasionalisme dalam buku pelajaran dan modul perkuliahan harus mengalami redefinisi. Bentuk kecintaan terhadap negara bisa diwujudkan dengan bermukim di tanah kelahiran dan menggarap sawah yang menjadi warisan nenek moyang.
Ukuran kesuksesan masyarakat Indonesia juga harus dirombak. Orang sukses adalah mereka yang mampu memanfaatkan potensi desa. Hal ini mengingat bahwa kaum terpelajar terjerumus oleh paradigma bahwa kebahagiaan dinilai dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja menjadi tujuan akhir studi serta indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses yaitu pekerja bergaji besar. Meskipun fakta membuktikan bahwa biaya hidup di kota relatif lebih tinggi ketimbang di desa (Junaidi Abdul Munif, 2013).
Yang tidak kalah penting yaitu restorasi sistem pertanian. Jika pola tradisional kurang menarik minat kawula muda, maka unsur-unsur modern mesti dihadirkan. Di samping alat-alat pertanian harus friendly dan mudah digunakan, hasil pertanian juga bisa ditawarkan melalui lapak penjualan online. Dengan demikian, selain bertani, para pemuda tetap dapat berselancar di dunia maya sebagai ajang perburuan eksistensi.

Yogyakarta, 2016 

Rabu, 14 Desember 2016

Progresivitas Pamong Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jogja" edisi Rabu, 14 Desember 2016)



Berdasarkan lansiran tribunjogja.com (07/12), puluhan orang menggeruduk Kantor Desa Tirtomulyo, Kretek. Mereka bermaksud menyoal hasil seleksi pamong yang diterbitkan tim sembilan pada proses seleksi yang genap dilaksanakan beberapa waktu lalu. Warga meyakini, hasil seleksi tersebut penuh keganjilan. Terdapat indikasi bahwa tim sembilan selaku panitia serta pihak desa melakukan kecurangan.
Di sinilah urgensi partisipasi publik dalam pembangunan desa. Semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan desa. Salah satunya, mengetahui proses penjaringan aparatur desa. Namun demikian, jangan sampai proses ini dicemari dengan aksi provokasi. Beragam situasi dan tersebarnya desas-desus rentan membuat orang bertindak kurang rasional. Oleh karena itulah, setiap orang dituntut berpikir matang dan bijak sebelum berbuat.
Panitia dan pihak desa juga dituntut lebih terbuka. Transparansi merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi demi mencegah munculnya berbagai kecurigaan. Publik berhak mengetahui informasi seputar seleksi pamong agar momentum tersebut berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip kejujuran.
Sesuai dengan logika demokrasi, proses pemilihan aparatur desa melalui artikulasi, agregasi, formulasi, dan konsultasi publik. Bagaimanapun, terpilihnya aparatur desa diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Peran mereka turut menentukan perjalanan nasib desa dan siapa saja yang bermukim di dalamnya. Maka, orang-orang yang duduk dalam jajaran perangkat desa dituntut mampu memberikan pelayanan terbaik. Apalagi, paradigma pamong sebagai birokrat lokal genap mengalami perombakan. Terjadinya pergeseran corak pandang dan pola pikir “dilayani” menjadi “melayani, menjadikan mereka selaku abdi masyarakat.
Di samping itu, pamong memiliki fungsi “mengemong” yang lebih halus dan luas daripada “memerintah”. Mengutip Bayu Suryaningrat (1985: 13), istilah “mengatur” yang mengandung arti pembinaan ialah “mengemong”. Adapun orang atau lembaganya disebut pengemong atau pamong. Itulah mengapa, pengatur atau pemerintah desa mengantongi julukan pamong desa.

Manusia Progresif
Demi membangun desa yang maju dan berperadaban, dibutuhkan manusia-manusia progresif. Dalam konteks inilah, perlunya progresivitas pamong. Mengingat, posisi dan keberadaan mereka sangat urgen. Pamong menempati garda terdepan dalam upaya mewujudkan prinsip-prinsip good governance di desa.
Pamong atau tokoh pemerintah desa, termasuk kepala desa, secara alamiah berpengaruh signifikan dalam menentukan keputusan di tingkat desa. Posisi selaku pemerintah desa merupakan sumber pengaruh mereka di hadapan masyarakat. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, mereka memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap tentang proyek atau program pembangunan yang masuk di desa (Tim Akatiga, 2010: 21)
Dengan misi yang futuristis, pamong mesti mampu berpikir bahwa beragam bentuk pelayanan administratif ditujukan bagi kepentingan manusia, dan bukan sebaliknya. Atas dasar inilah, jika formalitas dianggap terlalu mengekang warga, bisa ditempuh langkah yang memudahkan. Sebuah pelayanan mengutamakan tujuan akhir, bukan prosedur dan persyaratan yang cenderung menyulitkan.
Untuk menjaring manusia-manusia progresif, seleksi pamong semestinya terhindar dari isu rekrutmen orang dekat. Gejala kongkalikong dan unsur nepotisme harus dihindari. Implementasi pemerintahan desa tidak boleh berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Dengan demikian, dalam proses seleksi pamong desa Tirtomulyo, nilai-nilai demokrasi selayaknya dijunjung tinggi.
Prinsip tradisional yang mendukung pelembagaan kaum feodal sebaiknya mulai ditinggalkan. Sejak dulu kala, feodalisme menuntut mereka yang berada dalam lingkup kekuasaan merupakan orang-orang yang sejalan dengan keinginan penguasa. Sehingga, kehendak bersama terbangun oleh harmoni, adapun kritik selayaknya dihindari. Dalam taraf tertentu, prinsip tradisional rentan disusupi otoritarianisme. Hal ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara prinsip demokrasi dengan oligarki. Sehingga, dalam diri elite lokal terjadi tarik-menarik antara keinginan mengutamakan nilai-nilai komunal dan menyelipkan hasrat individual.

Yogyakarta, 2016

Jumat, 09 Desember 2016

Raibnya Identitas Kampung (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Kamis, 8 Desember 2016)


Ekspansi pembangunan hotel dan perluasan tempat parkir mal melahap kampung asli di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sebagian Kampung Sekayu, Kampung Jayengan, serta Kampung Basahan yang berada di pusat kota hilang. Pudarnya ciri-ciri kampung di kota metropolitan terbesar ke lima di Indonesia tersebut tidak hanya ditemukan belakangan. Dalam catatan sejarah, Kampung Mijen sebagai sentra pembuatan anyaman genap tergusur oleh swalayan besar pada 1984. Ini berarti ada langkah sistematis pihak-pihak tertentu yang berusaha keras mengubur kampung. Proses ini berimplikasi serius bagi wajah kampung sekaligus membuat identitas orang-orang yang bermukim di dalamnya merosot drastis.
Globalisasi dan modernisasi selalu melancarkan tekanan dan ancaman pada kampung. Eksotisme kampung-kampung Kota Semarang yang salah satunya ditandai dengan limasan berbahan kayu jati terkikis oleh waktu. Kelembagaan kampung melemah seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia. Struktur sosial kampung mengalami perubahan akibat faktor-faktor internal maupun eksternal, sejak masa kerajaan, era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, reformasi, dan pasca reformasi.
Fenomena ini diperparah dengan arogansi pemerintah, pengembang, dan kaum pemodal yang menihilkan keistimewaan kampung. Dengan dalih “pembangunan”, mereka nekat merombak tampilan kampung supaya lebih elegan dan eksklusif. Local wisdom dikorbankan demi terlaksananya proyek dan berdirinya pusat-pusat bisnis. Tak heran jika ciri kampung asli Kota Semarang dengan rumah berkarakter unik semakin jarang ditemukan.
Padahal, tindakan semena-mena di atas cenderung egoistis dan bertolak belakang dengan hakikat kampung. Guinnes (dalam Gerry Klinken dan Ward Berenschot, 2016: 86) mengungkap bahwa kampung adalah kantong urban yang digunakan sebagai rumah kelas bawah Jawa. Mereka mengantongi label wong cilik yang berseberangan dengan penghuni yang lebih mapan dan berdompet tebal.  
Hilangnya kampung juga berarti hilangnya peradaban. Apa yang disajikan oleh kampung memuat filosofi mendalam tentang kehidupan. Kampung memiliki makna sosiologis sebagai suatu tempat berinteraksinya individu. Para anggota di dalamnya terjalin oleh ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Warga kampung jauh dari kesan individualis dan materialistis. Bila sebagian terbelit kesulitan dan kesusahan, merupakan hal lumrah bagi yang lain untuk saling membantu dan menolong. Betapa jaringan “balas budi” genap terbentuk di antara mereka.
Berbeda dengan penduduk kota lainnya yang cenderung egosentris, individualisme tidak ditemukan dalam corak kehidupan warga kampung. Sebaliknya, kolektivisme mendasari aktivitas mereka sehari-hari. Mereka berusaha menghargai makna kebersamaan dan menjunjung tinggi tanggung jawab komunal. Prinsip kerukunan selalu mereka utamakan melebihi segalanya. Ada dorongan kuat untuk selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama. Di antara mereka terdapat ikatan sosial dan solidaritas yang begitu kental.
Mereka seakan tidak membedakan mana teman, saudara, dan tetangga. Kategori dan pemilahan hanya akan menimbulkan perbedaan respons. Jika ada yang membutuhkan, mereka tentu membantunya setulus hati. Sikap, perilaku, serta perbuatan mereka jauh dari kesan pamrih dan jumawa. Upaya mengurus kepentingan orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib sesama. Mereka seolah mengantongi amanat untuk berbagi kebahagiaan sekaligus penderitaan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran untuk memerhatikan urusan di luar urusannya sendiri. Mereka dibekali dengan kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan. Apa yang terjadi di sekitarnya senantiasa mendapat perhatian.
Dalam kehidupan warga kampung, ada konsensus tak tertulis bahwa ketika memperoleh uluran tangan, mereka wajib membalasnya. Tuntutan ini biasanya membuat mereka merasa kurang nyaman. Sampai-sampai muncul rasa bersalah jika belum ‘mengembalikan’ kebaikan yang telah diterima. Dalam beberapa situasi, mereka bahkan ingin membalasnya dengan lebih baik. Ketika yang terakhir berhasil dilakukan, ada kebahagiaan dan kepuasan tak terkira. Capaian keberhasilan warga kampung bukan didasarkan pada seberapa banyak harta dikumpulkan, melainkan seberapa besar manfaat disebarkan. Konsensus ini berjalan selama berabad-abad dan lintas generasi, di mana sesepuh atau golongan tua senantiasa mewariskannya kepada kaum muda. Itulah mengapa tradisi ‘membalas kebaikan’ kerap ditemukan dalam komunitas kampung. Sejak kecil, warga kampung dibesarkan dengan sikap mengutamakan kebaikan daripada memperoleh keuntungan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran bahwa kekayaan spiritual melampaui capaian material. Bila demikian, apakah kita rela kampung-kampung di negeri ini perlahan raib ditelan bumi?

Yogyakarta, 2016

Selasa, 06 Desember 2016

Penyelewengan Dana Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Selasa, 6 Desember 2016)


Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito, menyebutkan bahwa evaluasi penggunaan dana desa menunjukkan adanya penyelewengan oleh oknum-oknum kepala desa sebesar 10 persen dari total dana desa yang disalurkan.
Setelah ditelusuri secara mendalam, kinerja kepala desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai kondisi keuangan desa, mereka cenderung tertutup. Mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa kepada publik. Sehingga, besarnya dana desa sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh masyarakat.
Intensitas dan produktivitas kinerja mereka sangat rendah. Daripada memfokuskan diri pada upaya menyejahterakan masyarakat desa, mereka lebih memikirkan urusan perut. Mentalitas “berburu rupiah” menemukan momentumnya ketika dana desa hadir dalam rangka mengatasi problematika kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang seyogyanya berdasarkan prinsip komunal justru mengedepankan nilai-nilai egosentrisme.
Dialirkannya dana yang bersumber dari APBN ini oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat elite lokal tergiur untuk menikmatinya. Terjadi penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah pihak dengan menjadikannya proyek bersama. Mereka seolah melakukan balas dendam terhadap nasib yang tak kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan dan perbaikan fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi.
Jika ini yang terjadi, maka fungsi dan peran kepala desa dalam produk legislasi tidak berjalan sebagaimana semestinya. Apa yang terjadi di desa menyiratkan perbedaan praktik hukum dengan teorinya. Terdapat jurang pemisah antara das sein dan das sollen. Hukum dalam kehidupan masyarakat berada dalam tataran realitas ketimbang idealitas, sehingga bercorak law in practice, bukan law in book.

Perlawanan Pasif
Ketika superioritas dan dominasi kepala desa begitu besar, masyarakat kehilangan akses dan kontrol. Pemerintahan desa berjalan sesuai kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar, mereka yang duduk dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Kasus penyelewengan kerap bermula dari praktik pemerintahan desa tanpa supervisi.
Itulah mengapa sejumlah tokoh desa dan masyarakat awam mempermasalahkan hal tersebut. Mereka yang masih menjunjung tinggi etika tradisional hanya membicarakannya secara diam-diam secara personal dan dalam forum tertutup. Perhatian masyarakat terhadap kehidupan desa diwujudkan dengan cara membahas rendahnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa dengan sembunyi-sembunyi. Kurang pantas rasanya jika keluhan disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Di sini tata krama dan sopan santun diaktualisasikan tidak pada tempatnya.
Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan masyarakat merupakan perlawanan pasif yang bermaksud mengingatkan penguasa dengan cara menghindari konflik. Orang desa lebih mengutamakan keselarasan daripada timbulnya problem sosial. Mereka ingin mengubah keadaan, akan tetapi terbentur kultur dan realitas. Jadilah rerasan sebagai forum paling ideal dalam membidik siapa saja yang ikut menentukan kebijakan desa. Reaksi dan penilaian terhadap kinerja pemerintahan desa dilakukan dalam lingkup terbatas.

Perlunya Kontrol
Supaya kekuasaan kepala desa tidak rentan disalahgunakan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semestinya menjalankan perannya dengan baik. Wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis tersebut diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa salah satu fungsi BPD yaitu melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa (Pasal 55 c). Selain sebagai pembuat undang-undang (legislatif) pada level desa, BPD juga merupakan badan yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk mengontrol kinerja kepala desa supaya bisa maksimal dan terarah. Hal ini merupakan bentuk pengawasan politik sekaligus pembatasan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa.
Jika BPD berperan secara maksimal, dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dari lahirnya BPD sangatlah besar. Yang paling nyata yaitu berlangsungnya pergeseran kekuatan politik, sehingga dinamika politik desa tidak lagi berpusat pada kepala desa. Fungsi legislasi, kontrol dan penggalangan aspirasi yang dimiliki BPD dapat menggeser posisi dan fungsi politik kepala desa. Akibatnya, di desa tidak lagi terjadi tarik-menarik politik yang syarat muatan dan kepentingan. Secara ideal, BPD sanggup membawa cakrawala baru dalam pemerintahan desa serta merubah dinamika sosial dan politik desa yang sebelumnya cenderung sentralistis dan mengabaikan mekanisme checks and balances.
Selain BPD, fungsi kontrol juga harus dijalankan oleh pendamping desa yang memiliki wewenang untuk mengawasi penggunaan dana desa. Salah satu tujuan dibentuknya pendamping desa adalah agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan dengan baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa, semisal jalan, jembatan, gorong-gorong, irigasi, dan lain-lain. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan dari pemerintah pusat tidak boleh menjadi “bancakan” bagi tokoh-tokoh lokal.

Yogyakarta, 2016

Sabtu, 26 November 2016

Nobel, Judi, dan Literasi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 20 November 2016)


Pada 13 Oktober lalu, Akademi Swedia mengumumkan bahwa hadiah Nobel Sastra tahun ini jatuh pada penyanyi sekaligus pencipta lagu terkenal asal Amerika Serikat, Bob Dylan. Oleh panitia, ia dinilai mampu menciptakan gaya ekspresi baru dalam berpuisi sebagai tradisi musik Amerika Serikat.
Oktober menjadi saksi atas hiruk-pikuk semesta literasi. Oktober menampilkan profil calon penerima penghargaan Nobel Sastra. Setiap awal Oktober, media cetak dan online kerap menampilkan siapa yang digadang-gadang menjadi pemenang ajang paling bergengsi dalam jagat sastra tersebut.
Uniknya, selain wartawan dan akademisi, bandar judi juga turut meramalkan siapa yang berjaya dalam panggung sastra. Kabar dari rumah-rumah judi selalu ditunggu oleh pegiat literasi, khalayak pembaca, dan publik sastra. Bagaimanapun, terdapat keterkaitan antara literasi dengan spekulasi. Berdasarkan nama-nama yang beredar, sejumlah situs judi mengeluarkan prediksi.
Salah satunya Ladbrokes, poker dengan peringkat teratas di dunia dalam lalu lintas perjudian online. Memiliki lebih dari 2.400 kantor ritel, agen taruhan tersebut menyediakan platform olahraga, kasino, bingo, poker, backgammon, dan permainan judi lainnya. Ladbrokes dipercaya sebagai situs yang sanggup mengatrol omset bisnis perjudian beberapa perusahaan ternama.
Berdasarkan lansiran tirto.id, situs judi Inggris tersebut menyatakan bahwa peluang Haruki Murakami memperoleh penghargaan sastra terbesar sejagat tahun ini adalah 5/1, penulis Kenya Ngugi Wa Thiong'o (7/1), serta penulis Amerika Serikat Philip Roth (8/1). Beberapa tahun sebelumnya, portal yang sama juga mengutip Ladbrokes tentang siapa saja yang berpeluang memperoleh medali elektrum 18 karat berbalut emas 24 karat, sertifikat, dan 8 juta kronor Swedia (setara Rp 12 miliar rupiah).

Cerminan Popularitas
Bandar judi telah mendaulat Murakami sebagai salah satu favorit. Pengarang asal Jepang tersebut dikenal lewat buku-bukunya yang cukup populer di kalangan pembaca remaja dan dewasa di seluruh dunia. Hary B.K. (2013) menilai, Murakami genap menyedot perhatian publik lewat beberapa karyanya, antara lain Norwegian Woods dan 1Q84. Hampir di semua karyanya, Murakami menyinggung absurditas dan kesunyian manusia dalam kehidupan modern.
Alih-alih memberikan penilaian yang orisinil, “ramalan” situs judi sekadar cerminan popularitas para sastrawan di mata para petaruh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya tentu memiliki bias terhadap sastra dunia dan cenderung mengangkat penulis terkenal. Dalam setiap nama terkandung muatan kepentingan dan motivasi pragmatis. Bermodal uang, kaum kapital berusaha mengeruk keuntungan (benefits). Mereka menangkap peluang bisnis dengan memproduksi desas-desus. Tak heran jika banyak pihak meragukan nama-nama dalam shortlist. Apalagi, unsur politik boleh jadi mendapat porsi besar dalam proses kurasi penghargaan yang dimulai pada 1901 dan digagas oleh Alfred Nobel tersebut.
Namun demikian, dalam taraf tertentu, geliat literasi berutang budi pada situs judi. Bandar judi berperan memelihara bahkan menyemarakkan kultur literasi. Mereka mempunyai andil besar dalam memompa semangat manusia agar senantiasa melihat perspektif, menyebarkan wacana, serta membuka “jendela dunia”. Di dalam sepak terjangnya terkandung ikhtiar, motivasi, sekaligus kiat agar buku senantiasa dihormati.
Secara tidak langsung, situs judi di sejumlah negara menyimpan misi agar buku-buku sastra lebih digdaya, bermartabat, dan bergengsi. Menanggapi mewabahnya aktivitas perjudian dalam jagat sastra, Daniel D'Addario di majalah Time edisi 08 Oktober 2014 menulis, “Mungkin karena lebih banyak orang yang membaca buku ketimbang mengikuti perkembangan ilmu kimia. Mungkin karena manusia gemar berjudi, dan berjudi soal sastra terasa lebih mencerahkan daripada pergi ke pacuan.”

Cara Instan
Pernyataan D'Addario di atas tentu jauh berbeda dengan realitas di negeri ini. Judi selalu identik dengan kebiasaan buruk yang mengundang sanksi hukum dan reaksi sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa aktivitas perjudian merupakan jalan pintas menuju kesuksesan. Penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis dilakukan oleh orang-orang yang ingin menggapai mimpi melalui cara instan.
Aktivitas perjudian menjadi sarana pertaruhan nasib wong cilik. Maraknya kasus perjudian belakangan ini dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan pragmatis. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta sempitnya lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja judi. Kegiatan berjudi menjanjikan bahwa angan dan cita-cita dapat segera terwujud. Pelarian dari himpitan ekonomi diwujudkan dengan mengadu peruntungan lewat jalan haram.
Celakanya, pemerintah Orde Baru turut memrakarsai munculnya istilah lotre, porkas, Sumbangan Dana Sejahtera Bersama (SDSB), dan sinonim-sinonim lainnya. Atas dorongan penguasa, pemain judi senantiasa menempatkan uang sebagai faktor utama dalam siklus kehidupan. Dengan menggelontorkan rupiah, mereka berani bertaruh untuk memastikan kemenangan. Mereka tidak pernah khawatir terhadap hari esok, selama berada dalam rasio costs-benefits yang menggiurkan.
Aktivitas perjudian masyarakat Indonesia modern bertolak belakang dengan masa silam. Saat menyaksikan perhelatan adu ayam (tajen) di Bali pada awal April 1958, Clifford Geertz menuangkan pengalamannya melalui tulisan “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting” (termuat dalam Intrepetation of Cultures). Karya antropolog asal Amerika Serikat yang menelurkan konsep santri, abangan, dan priayi tersebut mengupas aspek antropologis perjudian. Geertz mengungkap, perjudian menjadi simbol maskulinitas bagi mayoritas lelaki Bali (Hanggoro, 2012).
Pada saat ini, sekalipun seseorang menang di meja judi, sebenarnya ia tetap kalah dalam realitas. Karena merasa lemah, ia tidak sanggup memenangkan rivalitas yang berlangsung. Di hadapan kolega judi, ia bisa mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terpaksa menundukkan kepala serendah-rendahnya. 

Yogyakarta, 2016