Minggu, 27 Desember 2015

Kuburan Mbah Nggo (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 27 Desember 2015)

Suti membaringkan anak kecil itu di depan pintu. Hari itu ia bolos kerja. Ajakan Sumiarti untuk berangkat bersama menuju pabrik rokok di samping kantor kecamatan terpaksa ditolak. Lagi-lagi ia harus merelakan upahnya dipotong berpuluh ribu. Wahyu, anak keduanya yang berusia 4 tahun, meraung kesakitan. Perutnya seperti ditusuk ribuan paku, beling, dan jarum. Lidahnya menjulur-julur mirip anjing memergoki maling.
Suti hanya memandangi anaknya dengan sabar. Meskipun semalam ia telah membawa Wahyu ke rumah Mbah Tugiyo, keadaan anak kurus itu tak kunjung membaik. Sebenarnya Surti sendiri agak ragu mengadukan penyakit anaknya kepada dukun yang selama ini dipercaya masyarakat mampu mengusir roh-roh halus tersebut. Namun, apalah daya. Tak ada jalan lain. Ia, seperti halnya warga Desa Pohbogo lainnya, lebih memilih kiai, dukun, atau pemilik kekuatan kasat mata, dibanding dokter.
Memegangi leher dan punggung Wahyu, Suti hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Ia menunggu Kamis Kliwon lekas tiba. Di hari itulah, ia akan mengadukan keluh-kesahnya kepada Mbah Nggo, danyang desa yang genap ratusan tahun meninggal.
***
Seorang pemuda kelahiran desa terpencil menggerakkan budaya literasi di kota Yogyakarta. Sebagai mahasiswa, ia terpanggil untuk mengajak teman-temannya membentuk kelas diskusi filsafat, sosial, dan budaya. Berbekal buku dan berbagai referensi, baik pinjaman dari perpustakaan kampus maupun koleksi pribadi, mereka getol melakukan tukar wacana, membaca, dan menulis. Dari kelas itulah lahir gagasan pemikiran yang dilempar ke media massa atau ide demonstrasi besar-besaran di depan rektorat atau gedung DPRD.
Pemuda berkepala plontos itu selalu kritis terhadap segala kebijakan kampus yang dinilai kurang relevan dan merugikan mahasiswa. Sebagai contoh terakhir, ia mempertanyakan ke mana perginya uang yang dibayarkan mahasiswa semester tiga. Padahal, di slip pembayaran, jelas-jelas tertera biaya praktikum. Anehnya, para mahasiswa tidak pernah sekalipun menerima fasilitas praktikum.
“Mau dibawa ke mana kampus ini?” Suatu hari, saat menyetir demonstrasi, ia bernada lantang, berdiri di depan para birokrat kampus yang tampil arogan dengan telinga tertutup.
Dalam memimpin massa dan pergerakan, ia tidak asal-asalan. Ia tidak ingin dianggap sebagai mahasiswa ngawur yang mencetuskan wacana penggembosan birokrasi. Ia menggunakan buku sebagai pijakan. Maka, tak ayal, uang beasiswanya sebagai aktivis dari bank ternama selalu dihabiskan di toko buku. 
“Demonstrasi harus punya misi dan arah yang jelas. Kalau tidak, kau hanyalah kerbau yang berteriak di padang gersang.” Wejangannya pada salah satu junior, sesaat sebelum demonstrasi digelar.
Adapun tulisannya yang bernas dan tajam selalu digunakan untuk menghantam perilaku anggota legislatif daerah yang makin hari makin memprihatinkan. Mereka seakan berlomba menghabiskan uang rakyat dengan cara elegan dan terhormat. Sudah tidak terhitung betapa kerapnya mereka melakukan kunjungan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Padahal, sebenarnya para cecunguk itu hanya ingin berfantasi ria dan menikmati sejumlah loka wisata bertarif ribuan dolar. Tak heran jika sehari setelah artikel pemuda itu dimuat di koran, ia harus menerima teror, baik berupa pesan pendek, telepon, maupun gertakan preman pasar bertato besar di lengan.
***
“Apa yang dapat mereka petik dari mitos dan tahayul?”
“Orang-orang desa hanya takut terjadi sesuatu, jika mereka tidak percaya kepada nenek moyang.”
“Mereka itu bodoh!”
“Kitalah yang bertugas memberikan pencerahan.”
Diskusi antara pemuda itu dengan ketua himpunan mahasiswa daerah begitu hangat. Nada bicaranya yang agak meninggi sebenarnya lebih karena kecemasan yang disimpan dalam lubuk hatinya. Ia tidak habis berpikir, mengapa warga desa susah diajak berkembang. Pikiran mereka begitu kolot dan sukar menerima modernitas. Mereka selalu saja menghubungkan apa yang terjadi dengan kekuatan para leluhur yang tentu saja tidak dapat dikunyah logika.
Kini, tekadnya membulat. Ia merasa terpanggil untuk mengubah cara pandang orang-orang desa terhadap kehidupan. Mereka harus diajak membangun sendi-sendi peradaban, tidak melulu terjebak pada kebiasan-kebiasaan jahiliyah yang rentan menumpulkan akal, semisal manganan di bawah pohon rindang, adu ayam di lapangan, dan menaruh sesajen di kuburan pendiri desa.
Jika selama ini, kritiknya hanya ditujukan untuk meluruskan kebijakan kampus dan menyentil ulah anggota legislatif daerah, ia bermaksud memperluas jangkauan. Ia tidak berhasrat menunjukkan diri sebagai tokoh perubahan, akan tetapi lebih pada upaya mengabdikan diri bagi tanah kelahiran.
***
Ingatan Wahyu terbang ke masa kecilnya. Bersusah payah, ibunya berusaha menjauhkannya dari kematian. Ia masih ingat betul, saat ajal hampir mencapai ubun-ubun, sang ibu membopongnya ke kuburan Mbah Nggo. Di tempat keramat itulah, ibunya menyebut-nyebut Mbah Nggo, memohon kepadanya, dengan mencabik-cabik pakaiannya. Ia tak bisa memungkiri bahwa beberapa menit setelah itu ia bisa bernapas lega dengan kondisi tubuh yang berangsur membaik.
Ia terserang gamang, antara menghantamkan linggis ke arah kuburan Mbah Nggo atau melepaskan benda keras yang dari tadi dipegangnya itu ke tanah.

Bojonegoro, 2015

Buku dan Warung Kopi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jawa Pos" edisi Minggu, 27 Desember 2015)

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama guna membangun interaksi dan komunikasi. Di sinilah arti penting warung kopi. Ia tak hanya menyajikan kehangatan, keharmonisan, dan kebersamaan. Tetapi, itu juga memberi kesempatan bagi para pengunjung untuk membangun akses, jaringan, dan relasi.
Semua orang lebur di dalamnya. Karena itu, tidak berlebihan jika ada seloroh bahwa dari warung kopi lahir “masyarakat tanpa kelas”. Karena dikunjungi oleh beragam kalangan dan lapisan masyarakat, warung kopi dilegitimasi sebagai ruang publik yang mampu menawarkan ide demokratisasi. Wacana dan gagasan besar yang meliputi hajat hidup orang banyak bisa muncul di sini.
Bahkan, tokoh sekaliber Soekarno pernah memanfaatkan warung kopi demi mengakrabkan diri dengan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Dalam catatan sejarah, keduanya pernah menyeruput kopi di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Peristiwa unik ini berawal dari kunjungan Richard Nixon ke Indonesia guna memastikan situasi politik Indonesia yang mengkhawatirkan. Sebelumnya, sang proklamator ingin mengajak Nixon berkunjung langsung ke Istana Negara.
Tetapi, di tengah perjalanan, tanpa direncanakan, keduanya mampir di sebuah warung kopi (Andika, 2015). Tokoh bangsa tersebut seolah mengajarkan bahwa memanasnya suhu politik tidak harus dihadapi dengan “kepala mengepul”.

Pemantik Inspirasi
Warung kopi mengandung anomali. Di satu sisi, ia menjembatani perjumpaan manusia dalam suasana guyub, santai, dan penuh canda. Di sisi lain, ia dianggap sebagai pangkalan bagi kumpulan orang tanpa pekerjaan dan kehormatan.
Ia menampung pecundang, pengangguran dan mereka yang kalah dalam persaingan. Tingkat produktifitas manusia, terutama dalam bekerja, berkurang karena banyak waktu lenyap hanya gara-gara secangkir kopi.
Namun, tidak demikian bagi para penyair. Lokasi dan suasana yang jauh dari kesan formal membuat warung kopi kerap mengundang inspirasi dan imajinasi. Ribuan puisi lahir di meja warung kopi. Bersama indahnya pagi dan hangatnya sinar mentari, mereka memanfaatkan kopi dalam ritual penyelamatan puisi.
Warung kopi bahkan diangkat menjadi judul antologi puisi, semisal Republik Warung Kopi: Antologi Puisi Delapan Penyair Kalbar. Buku ini memuat sejumlah puisi bergaya segar, dengan ironi yang tajam, serta spirit mempermainkan konsep yang serius. Dalam kata pengantarnya, Hanna Fransisca (2011) menyebutkan bahwa beberapa penyair berhasil menggarap tema kenegaraan dari sebuah warung kopi.
Dari bangku warung kopi, Pay Jarot Sujarwo meneropong potret beragam manusia. Dalam puisi “Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada”, warung kopi digambarkan sebagai representasi nasib sebuah negara: //kau akan mendengar suara lebah di sini/ bahkan lebih pikuk dari suara lebah//.
Adapun Ety Syaifurohyani, dalam puisi bertajuk “Kopitiam” berseloroh: kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/ duduklah di kopitiam/ para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat…//. Menggunakan logika “warung kopi”, tema-tema besar ke-Indonesia-an ditulis penuh genit tanpa berhasrat menggurui.
Banyak novel dan buku populer bermunculan setelah para penulis memikirkan urgensi, fungsi, dan filosofi warung kopi. Sebut saja Mencari Tuhan di Warung Kopi (Mizan Pustaka, 2004), Lawak Warung Kopi (M&C, 2012), dan Surga di Warung Kopi (Bhuana Sastra, 2014).

Perpustakaan ala Warung Kopi
Mengingat pentingnya warung kopi sebagai basis pengembangan budaya literasi, pada tahun 2014, Pemerintah Daerah Pontianak meluncurkan program Perpustakaan Berbasis Warung Kopi dan Komunitas. Program ini berhasil terselenggara setelah diadakan focus group discussion (FGD) dengan mengundang pemilik warung kopi, komunitas baca tulis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, budayawan, serta masyarakat awam.
Pemerintah setempat berinisiatif menyulap warung kopi menjadi medium berbagi informasi dan pengetahuan. Tersedianya sejumlah buku di warung kopi diyakini mampu mengatrol minat baca masyarakat. Ini juga merupakan langkah konkret menghadirkan buku di ruang publik dalam upaya “jemput bola” penikmat buku dan pembaca pemula.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 13 Desember 2015

Estetika Kampung dan Gagasan Pascatradisional (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 13 Desember 2015)


Melalui buku kumpulan cerpen Anak-anak Masa Lalu (Marjin Kiri, Juni 2015), Damhuri Muhammad (DM) mengurai kegelisahannya sebagai manusia kontemporer. DM berada dalam garis demarkasi antara eksotisme masa lalu dan kegenitan masa depan. Hal ini berlatar belakang bahwa di satu sisi, ia sukar melepaskan diri dari tradisi, mitos, warisan pemikiran, dan cengkeraman sejarah kampung yang begitu kuat. Namun di sisi lain, ia juga menyadari bahwa psikologi manusia masa kini tidak dapat mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas.
Lewat karyanya, sastrawan asal Minangkabau setelah generasi Gus tf Sakai tersebut seolah berkoar bahwa orang-orang kampung tengah mengantongi julukan kaum semi-urban. Mereka bergaya, berperilaku, dan bercorak pikir layaknya orang kota. Berpenampilan modis dan trendy, digenapi dengan gadget canggih, mereka menampakkan diri sebagai orang kota. Sayangnya, tampilan serba urban kurang diimbangi dengan matangnya pola berpikir.
Cerpen “Orang-orang Larenjang” mengisahkan Julfahri yang kehilangan identitas sebagai orang kampung. Etos urbanisme telah menggerogoti cara pandangnya terhadap kehidupan. Nilai, prinsip, dan kearifan nenek moyang telah tergerus oleh arus modernitas yang menawarkan segala bentuk kemewahan, kemudahan, dan kenyamanan yang banal dan dangkal makna. Beberapa tahun kuliah di kota membuatnya tidak lagi percaya pada nasihat pengulu Bandara Gemuk yang cenderung konservatif dan ketinggalan zaman. Julfahri nekat mempersunting Nurhusni, seorang sanak dekat yang berada dalam satu rumpun dengannya. Padahal pernikahan semacam ini ditolak oleh “rambu-rambu adat”. Julfahri menerobos larangan dengan risiko kehilangan istri dan dua anaknya.
Adapun cerpen “Ambai-ambai” memperlihatkan kegigihan seseorang meminang pelacur. Walaupun konvensi sosial tak mengizinkannya, ia tetap bersikeras melangsungkan pernikahan. Bertahun-tahun mengarungi samudera rumah tangga, beragam hinaan harus diterima bukan hanya olehnya, namun juga anak-anaknya. Meski alur cerita tidak memperlihatkan adanya pengaruh urbanisme secara langsung, tetapi egoisme kaum urban ternyata sudah jauh merasuk dalam diri kaum udik, sehingga mereka berani menihilkan kultur lokal.  
Menjamurnya efek modernitas yang menimpa masyarakat dewasa ini tidak membuat DM berpikir untuk meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kultur tradisional. Sebagai perantau yang bermukim di kota besar Jakarta, ia justru berusaha memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu. Baginya, modernitas merupakan fakta yang harus diterima, disikapi, dan diharmonisasikan dengan tradisi lama.
Penulis yang pernah menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 dan 2013 tersebut menyadari bahwa meminjam corak berpikir para pendahulu sama saja mengundang romantisme yang begitu melenakan. Akan tetapi, ia juga mafhum bahwa pelbagai produk modernitas tidak selayaknya disikapi dengan serampangan. Tarik-menarik inilah yang terjadi dalam diri DM. Namun demikian, ia tidak lantas terjebak dalam lubang kegamangan.
DM mampu bersikap dengan mengolah gagasan-gagasan usang yang tentu masih relevan hingga sekarang. Tak ayal, warisan ide masyarakat “tempo doeloe” menempati porsi besar dalam cerita-ceritanya. Dengan demikian, apa yang disajikan DM dalam bukunya lebih bercorak pascatradisional. Buah penanya banyak mendapat pengaruh dari pelbagai nilai, norma, perilaku, cara pandang, dan ingatan kolektif yang berorientasi ke belakang. Hal ini terutama sangat menonjol dalam cerpen “Tembiluk”, “Banun”, “Bayang-bayang Tujuh”, “Badar Besi”, “Anak-anak Masa Lalu”, dan “Kepala Air”.
Dengan cara di atas, DM dapat dengan leluasa melontarkan kritik sosialnya, meski dengan mengaburkan arah kritik yang dituju. Pembaca cerdas tentu mengetahui, orang-orang kampunglah yang menelan kritik tersebut. Bahwa kemudian mereka masih terninabobokkan oleh gegap gempita yang ditawarkan modernitas, itu persoalan lain.
Kumpulan cerpen yang sebagian besar telah terbit di media-media nasional ini berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Lahir di kampung kecil di Taram, Payakumbuh, Sumatera Barat, memudahkan DM “memprovokasi” pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan tentang indahnya kehidupan perkampungan.
Dalam epilognya, ia mengaku, “Dunia cerita yang saya rancang senantiasa bermula dari kenangan tentang kampung halaman. Mungkin itu sebabnya, dalam pergaulan dengan sejawat-sejawat pengarang, saya kerap disebut kampungan, lantaran cara berpikir saya yang udik … Alih-alih bergerak maju dan gemilang, saya malah merasa semakin terbelakang, semakin ndeso, meski belum jatuh ke level kolot.”
Bagaimana pun, serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Dalam pandangan DM, geliat menyajikan nostalgia mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas. Kredo semacam inilah yang direpresentasikan dengan baik dalam sejumlah cerpennya.
Sayangnya, dalam berkarya, DM cenderung “memaksakan” kehendak agar buah pikirannya dapat diterima publik. Ia cenderung menempatkan diri sebagai penyampai aspirasi orang-orang yang terluka oleh sejarah. Bagaimana tidak? Kebudayaan kampung genap dicampakkan oleh orang kampung sendiri. Dengan caranya sendiri, ia begitu getol memanfaatkan karya sastra sebagai penyusup ideologi dan misi budaya. Hal ini menjadikan kedewasaan pembaca dikorbankan. Dalam taraf tertentu, pembaca tidak ditempatkan sebagai pribadi otonom dengan otoritas penuh. Pembaca hanya diberi hak untuk sekadar mengamini apa yang disuguhkan dalam balutan cerita-ceritanya.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 08 Desember 2015

Revitalisasi BUMDes (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 8 Desember 2015)

Menurut rencana, penyaluran Dana Desa tahap III sebesar Rp 4,2 triliun akan dicairkan akhir bulan Nopember 2015. Lebih dari 80 persen dari total pagu berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 20,8 triliun telah disalurkan ke kas kabupaten/kota untuk diteruskan ke rekening desa-desa. Sayangnya, penyerapan Dana Desa masih sangat rendah. Banyak Bupati atau Walikota yang belum menyalurkannya ke desa.

Katalisator Perekonomian
Penyaluran Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes) yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih optimal. (Chusainuddin, 2015)
Atas dasar inilah, pemerintah pusat seharusnya memberi sanksi tegas kepada kabupaten/kota yang terlambat menyalurkan dana tersebut ke desa. Jangan sampai, nasib desa terkatung-katung hanya lantaran kesalahan pemerintah di atasnya.
Dengan dana tersebut, pemerintah desa dapat mendirikan serta merevitalisasi BUMDes. Apalagi, mayoritas jumlah penduduk miskin yang tersebar di negeri ini berada di kawasan perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Data ini menunjukkan, kaum miskin di negeri ini mengalami peningkatan sebesar 860.000 orang ketimbang September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10,96 persen).
Kabar tentang ekonomi kawasan perdesaan tidak begitu menggembirakan. Peningkatan ekonomi hanya berlangsung di tataran individual dan personal. Selama ini, belum ada upaya serius memberdayakan perekonomian warga desa secara komunal. Bila pun pemerintah daerah telah mencanangkan program kesejahteraan warga desa, itu hanya formalitas dan seremonial yang nihil aksi. Inilah yang menjadi faktor mengapa ketimpangan ekonomi dan sosial belum dapat teratasi dengan baik. Akibatnya, kemiskinan menjadi problematika usang dan klise yang berulang-ulang.
Orang-orang desa masa kini lebih bangga menjadi buruh di kota daripada bertani di desa. Mereka memilih bekerja di perusahaan atau serabutan dibanding mencangkul di ladang. Di samping menyebabkan jumlah petani merosot drastis, realitas ini rentan menyebabkan regenerasi petani terancam.
Jika BUMDes berhasil diberdayakan, niscaya keinginan orang-orang desa berburu rupiah di kota dapat diminimalisir. Eksistensi BUMDes dapat membuka lahan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, laju kemiskinan bisa ditekan. Yang tidak kalah penting, hasil pertanian masyarakat desa bisa diakomodir oleh BUMDes. Adapun keuntungan yang didapat BUMDES dimanfaatkan sebagai modal pembangunan pertanian desa.

Perlu Campur Tangan
Untuk merealisasikan hal di atas, perlu adanya “campur tangan” dari pemerintah pusat. Meskipun Dana Desa diperuntukkan membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, legalitas mengatur bahwa pencairannya ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota. Aturan inilah yang membuat dana yang bersumber dari APBN tersebut rentan diselewengkan. Pejabat pemerintahan daerah kabupaten/kota berpotensi besar terjerumus dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan alokasi Dana Desa yang begitu besar, dikhawatirkan jumlah calon kepala daerah yang menyelewengkannya juga besar. Dana Desa bisa dimanfaatkan layaknya dana bakti sosial (baksos) dan dana bantuan sosial (bansos). Petahana atau incumbent memiliki kuasa dalam menyulap Dana Desa menjadi alat politik.
Petahana bisa saja menahan Dana Desa dan membagikannya di saat yang tepat. Dengan dalih tak semua desa memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengelola anggaran tersebut, petahana berpura-pura menunggu kesiapan SDM desa. Dana Desa akan dicairkan menjelang pilkada. Dengan demikian, saat kampanye, ia bisa mengatakan bahwa Dana Desa merupakan kemurahan hati, sehingga mampu menyedot perhatian dan dukungan masyarakat. Apalagi, APBN 2015 merupakan tahun pertama dialokasikannya Dana Desa. Fenomena ini seolah merefleksikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung menjadikan seseorang korup pula). 
Digelontorkannya Dana Desa adalah dalam rangka mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Dana Desa terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi pada kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, Dana Desa harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip pada kepentingan umum. Pengelolalaan Dana Desa pada hakikatnya bersinergi dengan hak setiap warga negara. Dengan demikian, jangan sampai dana ini dimanfaatkan oleh para elite demi menuruti syahwat politik.
Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan bagi para petahana yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam mengelola Dana Desa. Tenaga pendamping yang dimaksud berasal dari BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Bojonegoro, 2015