Selasa, 08 Desember 2015

Revitalisasi BUMDes (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 8 Desember 2015)

Menurut rencana, penyaluran Dana Desa tahap III sebesar Rp 4,2 triliun akan dicairkan akhir bulan Nopember 2015. Lebih dari 80 persen dari total pagu berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 20,8 triliun telah disalurkan ke kas kabupaten/kota untuk diteruskan ke rekening desa-desa. Sayangnya, penyerapan Dana Desa masih sangat rendah. Banyak Bupati atau Walikota yang belum menyalurkannya ke desa.

Katalisator Perekonomian
Penyaluran Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes) yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih optimal. (Chusainuddin, 2015)
Atas dasar inilah, pemerintah pusat seharusnya memberi sanksi tegas kepada kabupaten/kota yang terlambat menyalurkan dana tersebut ke desa. Jangan sampai, nasib desa terkatung-katung hanya lantaran kesalahan pemerintah di atasnya.
Dengan dana tersebut, pemerintah desa dapat mendirikan serta merevitalisasi BUMDes. Apalagi, mayoritas jumlah penduduk miskin yang tersebar di negeri ini berada di kawasan perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Data ini menunjukkan, kaum miskin di negeri ini mengalami peningkatan sebesar 860.000 orang ketimbang September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10,96 persen).
Kabar tentang ekonomi kawasan perdesaan tidak begitu menggembirakan. Peningkatan ekonomi hanya berlangsung di tataran individual dan personal. Selama ini, belum ada upaya serius memberdayakan perekonomian warga desa secara komunal. Bila pun pemerintah daerah telah mencanangkan program kesejahteraan warga desa, itu hanya formalitas dan seremonial yang nihil aksi. Inilah yang menjadi faktor mengapa ketimpangan ekonomi dan sosial belum dapat teratasi dengan baik. Akibatnya, kemiskinan menjadi problematika usang dan klise yang berulang-ulang.
Orang-orang desa masa kini lebih bangga menjadi buruh di kota daripada bertani di desa. Mereka memilih bekerja di perusahaan atau serabutan dibanding mencangkul di ladang. Di samping menyebabkan jumlah petani merosot drastis, realitas ini rentan menyebabkan regenerasi petani terancam.
Jika BUMDes berhasil diberdayakan, niscaya keinginan orang-orang desa berburu rupiah di kota dapat diminimalisir. Eksistensi BUMDes dapat membuka lahan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, laju kemiskinan bisa ditekan. Yang tidak kalah penting, hasil pertanian masyarakat desa bisa diakomodir oleh BUMDes. Adapun keuntungan yang didapat BUMDES dimanfaatkan sebagai modal pembangunan pertanian desa.

Perlu Campur Tangan
Untuk merealisasikan hal di atas, perlu adanya “campur tangan” dari pemerintah pusat. Meskipun Dana Desa diperuntukkan membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, legalitas mengatur bahwa pencairannya ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota. Aturan inilah yang membuat dana yang bersumber dari APBN tersebut rentan diselewengkan. Pejabat pemerintahan daerah kabupaten/kota berpotensi besar terjerumus dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan alokasi Dana Desa yang begitu besar, dikhawatirkan jumlah calon kepala daerah yang menyelewengkannya juga besar. Dana Desa bisa dimanfaatkan layaknya dana bakti sosial (baksos) dan dana bantuan sosial (bansos). Petahana atau incumbent memiliki kuasa dalam menyulap Dana Desa menjadi alat politik.
Petahana bisa saja menahan Dana Desa dan membagikannya di saat yang tepat. Dengan dalih tak semua desa memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengelola anggaran tersebut, petahana berpura-pura menunggu kesiapan SDM desa. Dana Desa akan dicairkan menjelang pilkada. Dengan demikian, saat kampanye, ia bisa mengatakan bahwa Dana Desa merupakan kemurahan hati, sehingga mampu menyedot perhatian dan dukungan masyarakat. Apalagi, APBN 2015 merupakan tahun pertama dialokasikannya Dana Desa. Fenomena ini seolah merefleksikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung menjadikan seseorang korup pula). 
Digelontorkannya Dana Desa adalah dalam rangka mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Dana Desa terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi pada kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, Dana Desa harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip pada kepentingan umum. Pengelolalaan Dana Desa pada hakikatnya bersinergi dengan hak setiap warga negara. Dengan demikian, jangan sampai dana ini dimanfaatkan oleh para elite demi menuruti syahwat politik.
Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan bagi para petahana yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam mengelola Dana Desa. Tenaga pendamping yang dimaksud berasal dari BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar