Rabu, 25 November 2015

Mendesain Bela Negara (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 25 November 2015)

Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela negara. Demi mewujudkannya, kementerian ini berencana merekrut 100 juta kader dari seluruh wilayah di Indonesia. Keberadaan kader bela negara dinilai sangat penting dan mendesak, di samping untuk memperkuat wawasan kebangsaan warga negara, juga berupaya menjadikan suatu negara lebih kuat dan disegani.
Sebagaimana diketahui, pembentukan kader bela negara dilaksanakan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota. Pada tahun ini, 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam akan menjadi saksi bahwa pemerintah serius dalam mencetak kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala bahaya yang mengancam.
Program ini menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan ini, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing oleh aksi provokator yang bermaksud memecah-belah persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang kurang bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, barang tentu hal ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antar warga negara. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokatif tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan, baik politis, sosial, maupun finansial.
Adapun di sisi lain, program ini seolah dicetuskan dengan maksud untuk membungkam suara-suara kritis. Pemerintah ingin menangkis “tombak kritik” yang dilesatkan masyarakat. Tujuan diadakannya program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih pada upaya mendoktrin warga negara agar siap bertempur di medan laga.
Dalam pandangan Mufti Makarim (2015), pelatihan yang dimaksud rentan mengubah cara pandang dan pola berpikir warga negara. Orang yang melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah justru dianggap melawan negara. Padahal, program ini memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Kritik terhadap maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Pengamat militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDPS) tersebut berpendapat, bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk memompa kedisiplinan, membangkitkan etos, dan membentuk karakter.
Meskipun dicetuskannya program bela negara didasari atas motivasi menjadikan Indonesia dalam kemasan nasionalisme dan patriotisme, boleh jadi, program ini memendam semangat militeristik yang meluap-luap. Beberapa pihak berhasrat menegakkan kembali kejayaan militer masa silam. Padahal, petualangan militerisme Indonesia, terutama masa Orde Baru, dipenuhi dengan sikap egoistis dan individualistis yang menindas rakyat kecil.

Budaya Konstruktif
Digulirkannya program bela negara oleh Kementerian Pertahanan tidak seharusnya disikapi dengan antipati dan sinis. Apalagi, sejumlah materi bela negara meliputi pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan alutsista. Ditambah lagi dengan lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara.
Namun demikian, agar program ini tidak mengalami penyimpangan, perlu dibentuk budaya konstruktif yang mengutamakan etika kepedulian (ethics of care) terhadap keberlangsungan sebuah negara. Dalam program bela negara, perlu dibangun sebuah sistem yang menumbuhkan paralelisme antara kekuatan fisik sebagai bagian dari ciri militerisme dengan etika yang menjunjung tinggi harkat dan harga diri manusia. Dalam banyak kasus, antara sikap militeristik dengan kehalusan budi memang sukar disatukan. Akan tetapi, jika pemerintah serius dan konsisten mewujudkannya, dapat dipastikan keduanya bisa berjalan secara bersamaan.
Harus ada rambu-rambu agar program bela negara tidak mengintervensi ruang-ruang privat dan publik. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat militerisme pernah disalahgunakan untuk melancarkan reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki. Bermodal produk legislasi yang memberi batasan bagi kalangan militer dalam peran sosial dan politik, jangan sampai gejala oligarki dan warisan otoriterisme menyelusup dalam transformasi institusi di era demokrasi.
Sebagai catatan, jika unsur-unsur kekerasan sebagai unikum dalam militerisme semakin menguat, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang lebih condong ke paham totaliterisme. Padahal, dalam sejarah umat manusia, totaliterisme yang genap didengungkan oleh Nasional-Sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja telah memakan jutaan korban. Ditambah lagi, rezim totaliter memiliki kecenderungan mendukung berkuasanya partai monopolistik yang membekali para perwira dengan komando eksklusif, distingtif, dan menonjol.
Budaya konstruktif juga bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan. Ke depan, program bela negara harus dijauhkan dari kesan formalistik yang dangkal makna. Militerisasi dalam dunia pendidikan tidak boleh sekadar menampilkan nuansa militer yang begitu kental tetapi serba banal, seperti standardisasi potongan rambut untuk pelajar tingkat dasar dan menengah, serta penggunaan seragam tertentu untuk level pendidikan tinggi. Belum lagi legitimasi institusi pendidikan dan pembenaran-pembenaran moralis yang menghalalkan segala bentuk perploncoan tidak manusiawi.
Seharusnya pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan nilai program bela negara yang esensial ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Guna merealisasikannya, pemerintah dapat menggandeng pakar pendidikan, akademisi, peneliti, dan psikolog dalam penyusunan kurikulum. Dengan demikian, baik di sekolah maupun kampus, para pelajar dan mahasiswa tidak hanya mempunyai jiwa ksatria dan cinta Tanah Air, melainkan juga peka terhadap problematika bangsa.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar