Minggu, 01 November 2015

Anak dan Cyberspace (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 1 November 2015)

Dari hari ke hari, kasus kekerasan berbasis internet semakin mencemaskan. Atas dasar inilah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise meminta semua pihak ikut berperan aktif dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan berbasis internet.
Internet menjadi primadona bagi anak-anak. Betapa mereka selalu menggantungkan diri pada internet. Tugas sekolah kerap dihubungkan dengan internet. Apa yang nampaknya sulit ditemukan di buku, mereka langsung mencarinya di internet. Bagi pelajar masa kini, selama ada internet, semua tugas sekolah lebih mudah diselesaikan. Internet menjadi guru baru yang sanggup menyelesaikan sejumlah problematika pelajar. Boleh jadi, mereka lebih percaya kepada internet daripada guru di sekolah.
Di sinilah internet berupaya memanjakan penggunanya. Bagi sebagian pelajar, internet bahkan telah menjadi candu. Seakan tiada hari tanpa internet. Sayangnya, bukannya lebih banyak memberikan imbas positif, internet justru rentan mengundang imbas negatif. Dalam berburu informasi, anak-anak kerap tergiur dengan fasilitas yang diselipkan media-media sosial. Di sela-sela merampungkan tugas sekolah, mereka menghibur diri dengan melakukan chatting dengan teman-teman virtual.

Intensitas Teman Virtual
Anak-anak cenderung lebih intens dengan dunia maya dibanding dengan realitas sehari-hari. Barangkali emosionalitas mereka dengan internet terbangun baik, meskipun dengan teman-teman sekelas sering kali bermusuhan. Hubungan yang akrab dan harmonis dengan cyberspace (ruang maya) menjadikan mereka tidak bisa melepaskan diri darinya. Teman-teman virtual yang dikenal di media sosial telah berhasil menempati ruang hati mereka. Celakanya, profil yang ditampilkan di media sosial kerap tidak sesuai dengan identitas sebenarnya. Dari sinilah muncul gejala penyalahgunaan media sosial sebagai sarana mengelabui anak.
Akibatnya, oleh sejumlah oknum, anak-anak dianggap sebagai komoditas empuk. Berbagai hak anak-anak rentan tereduksi, sebab teman-teman virtual kerap memanfaatkan keluguan mereka. Asal mendatangkan keuntungan sosial dan finansial, segala macam bentuk diskriminasi dilakukan. Gencarnya bullying, maraknya situs berkonten pornografi, dan beragam kekerasan berbasis internet lainnya seakan memperlihatkan potret hitam masa depan generasi penerus bangsa.
Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga April 2015, ditemukan 6.006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa sejumlah kasus kekerasan yang menimpa anak mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2014 terdapat 5.066 kasus. Padahal, pada tahun 2010 hanya ada 171 kasus, kemudian berubah menjadi 2.179 kasus pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, angka ini kembali naik menjadi 3.512 dan pada tahun 2013 jumlahnya kembali meningkat menjadi 4.311 kasus.
Data di atas menunjukkan gagalnya pemerintah, masyarakat, serta orang tua memberikan perlindungan dan keamanan bagi anak-anak Indonesia. Padahal, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, dalam mewujudkan proses pembelajaran berbasis hak anak (child rights-based approach of education), sudah selayaknya konvensi tersebut menjadi pijakan awal.

Harmonisasi Tradisi
Menjamurnya media sosial menunjukkan, nuansa penjajahan di negeri ini mengalami perubahan pola, corak, dan bentuk. Penindasan dan pemasungan baru lahir dengan ditelannya tradisi dan permainan tradisional oleh serbuan hiburan media dan barang pabrikan yang kerap menghadirkan berbagai kekerasan. Menanggapi hal ini, perlu dijalin komunikasi yang baik dan positif antara orang tua dengan anak dan antara guru dengan pelajar. Tujuannya, anak dapat secara terbuka berkonsultasi dengan orang tua dan guru.
Setelah komunikasi terbangun dengan baik, orang tua dan guru dapat memberikan pengetahuan kepada anak bahwa di balik nikmatnya berselancar di alam maya, terdapat bahaya yang mengancam. Mereka dibekali informasi dan pencerahan mengenai dampak penggunaan internet yang berlebihan. Mereka juga diberikan pemahaman tentang konten negatif serta kiat menghindarinya.
Yang tidak kalah penting yaitu disisipkannya pengertian kepada anak-anak bahwa produk-produk modernitas, terutama internet, tidak sepenuhnya mengandung manfaat. Bahkan, jika digunakan secara serampangan, mereka hanya akan menanggung risiko dan kerugian. Bagaimana pun, anak-anak zaman sekarang seolah berada dalam garis demarkasi antara masa lalu dan masa depan. Tarik-menarik inilah yang terjadi dalam diri anak-anak. Sehingga, seringkali mereka terjebak dalam lubang kegamangan.
Oleh karena itu, anak-anak diajak untuk mencari pijakan yang tepat guna menyesuaikan masa lalu, masa kini dan masa depan. Sedini mungkin mereka diarahkan untuk semaksimal mungkin memanfaatkan masa lalu seraya bersikap realistik bahwa masa kini merupakan titik awal untuk melangkah ke masa depan.
Lahir di era modern, barang tentu mereka tidak dapat mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas. Meskipun demikian, beragam efek modernitas yang timbul dewasa ini tidak lantas menuntut anak-anak untuk meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kultur nenek moyang. Mereka tidak boleh terninabobokkan oleh segala kemewahan, kemudahan, kenyamanan, dan gegap gempita yang ditawarkan modernitas. Sebaliknya, anak-anak diajak untuk memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu.
Demi merealisasikan hal ini, perlu dibentuk sebuah kultur yang mampu menjembatani agar anak-anak tidak gagap memaknai diri. Pada umumnya, anak-anak lebih suka menyesuaikan diri dengan kultur yang ada. Mereka merasa nyaman berada di bawah payung kultur tersebut daripada mencoba hal baru. Keadaan ini membutuhkan proses adaptasi panjang, supaya mengubah mindset anak-anak yang terlanjur akrab dengan jagat maya.
Mengubah kultur membutuhkan tingkat persuasi yang tinggi. Dalam banyak situasi, usaha ini mengalami penolakan dari anak-anak. Pemerintah dan masyarakat bisa bekerjasama dalam menciptakan lingkungan sosial yang mendukung optimalisasi permainan tradisional, sehingga nalar, karakter, dan gaya hidup anak bisa dibentuk. Membangun pola hidup yang baik perlu digencarkan dengan sistematis, intensif, dan masif.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar