Selasa, 14 Juli 2015

Ramadan dan Dramaturgi Pengemis (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Senin, 13 Juli 2015)

Ramadan senantiasa membawa berkah bagi siapa saja, termasuk pengemis. Di bulan ini, penghasilan pengemis berlipatganda dibanding hari-hari biasa. Selain karena pada bulan penuh rahmat ini orang-orang Islam berlomba-lomba menyantuni kaum duafa, para pengemis juga mampu membaca peluang bahwa Ramadan merupakan momen mendulang keberuntungan.
 Seorang muslim membutuhkan si papa untuk menampung sedekahnya, adapun pengemis membutuhkan penderma sebagai penyuplai bantuan. Di sini terjadi interaksi timbal-balik antara kaum pemburu surga dengan komunitas pengharap santunan.
Hal di atas menjadi latar belakang mengapa pada bulan Ramadan jumlah pengemis selalu membludak. Didrop dan dikordinir dari luar kota, mereka membanjiri kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bekasi, dan Medan. Fenomena ini menjadi agenda dan rutinitas tahunan yang sulit dihindarkan.
Mangkalnya pengemis di traffic light, alun-alun, masjid, loka wisata, dan pemakaman umum, bukan hanya merepresentasikan masalah keamanan, ketertiban dan keindahan kota. Lebih dari itu, munculnya pengemis di suatu daerah adalah persoalan sistemik yang ditopang oleh berbagai faktor. Masing-masing lokasi memiliki konteks, karakteristik, dan historisitas yang berbeda.
Para pengemis memiliki strategi menarik rasa iba calon dermawan dengan berwajah kusut, berpenampilan compang-camping, serta memperlihatkan cacat fisik. Bahkan, strategi yang dinilai sangat “ampuh” yaitu membawa anak. Para pengemis disertai anak kecil lebih berpotensi mendapat uang daripada mereka yang bekerja sendirian. Meskipun sebenarnya secara finansial, praktik ini lebih berpihak pada ‘juragan’ yang mengelola bisnis pengemis. Apalagi, akhir-akhir ini muncul indikasi kuat bahwa di sejumlah kota terdapat sindikat penyewaan bayi pengemis.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa dengan meminta-minta para pengemis telah melakukan kritik sosial dan melancarkan protes atas ketidakadilan, marjinalisasi, serta korupsi. Pengemis sebagai kelompok kelas bawah dalam struktur masyarakat berupaya mengeskpresikan keberadaan mereka dengan menekuni dunia informal sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan yang cenderung berpihak pada sektor formal yang dikuasai oleh pemilik modal dan kaum terdidik dengan skill memadai (Maghfur Ahmad, 2010).
Namun dalam konsep dramaturgi, penampilan-penampilan yang sengaja diperlihatkan para pengemis mengindikasikan adanya kamuflase di depan publik. Dipopulerkan Erving Goffman, istilah dramaturgi kental dengan pengaruh drama, teater atau pertujukan fiksi di atas panggung di mana seorang aktor memainkan beragam karakter manusia sehingga penonton memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita yang disajikan.
Penampilan dan gaya yang merupakan unsur utama front stage (panggung depan), telah dimanfaatkan para pengemis untuk menunjukkan bahwa mereka pantas dikasihani. Dengan mimik sedemikian rupa, mereka berharap dapat mencubit nurani para calon dermawan.
Beragam cara digunakan, agar seseorang mau mengulurkan sejumlah uang. Dalam kenyataannya, usaha ini rentan memancing stereotip negatif, sebab cenderung merendahkan diri sendiri.
Ini seperti yang dialami kakek Suwadi asal Mojokerto yang “beroperasi” di Sidoarjo. Berpenampilan mirip orang terkena stroke, pengemis 'Winnie The Pooh' yang mengaku beristri tujuh orang tersebut dalam satu hari rata-rata mengumpulkan uang Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Tentu hal ini mengundang reaksi dan cercaan dari berbagai elemen masyarakat.
Back stage merupakan panggung belakang dari pertunjukan. Di sini, pengemis sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melepas topengnya saat kembali ke kehidupan semula. Pada saat inilah, pengemis menjalani kehidupannya secara normal dan jauh dari kepura-puraan. Perilaku dan tabiatnya disesuaikan dengan identitasnya yang asli. Dalam lingkungan seprofesi, pengemis tidak mungkin lagi memelas, bermuka lusuh, dan mengiba-iba.
           
Mentalitas Pengemis
Dalam analisis penulis, ada dua penyebab munculnya dramaturgi pengemis. Pertama, tingginya inkonsistensi dan hipokrisi orang-orang Indonesia. Kebohongan dan kepura-puraan telah mengakar kuat dalam diri masyarakat antara lain karena minimnya keteladanan para pejabat publik dalam mengemban amanat. Pemberitaan media yang tidak pernah terlepas dari tindak keculasan pejabat telah mendorong masyarakat untuk serta-merta melakukan kecurangan serupa, meski dalam ‘bungkus’ berbeda.
Kondisi di atas memunculkan figur manusia hipokrit yang gemar berdusta. Menggunakan kedok, ia memperdaya manusia lain agar dapat diterima dan dihargai. Dalam konteks ini, sosok pengemis yang memanfaatkan kebaikan orang-orang Islam pada bulan Ramadan bisa digolongkan sebagai penganut utilitarianisme yang berusaha memaksimalkan kebahagiaan seraya mengurangi penderitaan.
Kedua, mentalitas pengemis yang tumbuh dengan subur dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Para pengemis enggan beranjak dari profesi mereka, di samping pendapatan yang lebih menjanjikan, juga karena hingga hari ini pengkaderan pengemis memang berjalan mulus.
Dalam jagat pengemis, seolah muncul konsensus tak tertulis bahwa seseorang disebut pengemis profesional jika berhasil melakukan transformasi nilai secara intens dengan melibatkan setiap anggota keluarga dalam mencari dan mengelola uang dengan cara mengemis.
Inilah mengapa, sejumlah kasus di lapangan memperlihatkan bahwa para pengemis mengkader anak atau saudara mereka untuk menempati wilayah operasi yang telah mereka kuasai.
Regenerasi pengemis semakin sukses, sebab selama ini para pejabat melakukan indoktrinasi kepada masyarakat bahwa mengemis bukanlah perbuatan hina. Ulah pejabat yang menukar kebijakan dengan uang merupakan tindakan mengemis (dengan cara halus) kepada pemodal. Akhirnya, timbul pandangan mengemis lebih mulia daripada mencuri.
Munculnya pengemis dengan memanfaatkan atribut keagamaan seperti baju koko, proposal, dan kotak amal membuktikan bahwa para pejabat berhasil mewariskan corak mengemis dengan lebih terhormat. Proses transformasi sosial pada komunitas pengemis bukan hanya karena dimensi politik, sosial, dan ekonomi, melainkan juga aspek spiritualitas, keberagamaan dan bangunan world view masyarakat (Irwan Abdullah, 2008). Aspek-aspek terakhir inilah yang seharusnya disentuh pemerintah.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 12 Juli 2015

Buku dan Perselingkuhan Terselubung (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 12 Juli 2015)


Negeri ini sedang dilanda problematika kepalsuan, baik di ranah privat maupun publik. Berbekal kenekatan dan teknologi, begitu mudahnya originalitas dan legalitas dipalsukan. Realitas ini antara lain karena manusia gemar menggapai tujuan dengan cara instan. Tanpa proses panjang, sesuatu bisa didapat, asal ada uang. Lahirlah para penjunjung tinggi ‘demokrasi wani piro’ dengan indikasi utama yaitu pragmatisme yang diagung-agungkan.
Fenomena ini dibaca dengan cermat oleh kaum materialis. Mereka berusaha menghubungkan kebutuhan dasar manusia dengan pasar. Atas dasar inilah, seks, sebagai kebutuhan biologis manusia, dipilih sebagai lahan bisnis. Berkembanglah bisnis prositusi, mulai kafe remang-remang, panti pijat plus, hingga prostitusi artis.
Seks sebagai lahan bisnis selalu membuka peluang bagi siapa saja yang ingin mengembangkannya. Maka, oleh produsen, dibuatlah buku nikah palsu, yang memberikan fasilitas terhadap perselingkuhan terselubung. Meskipun tidak menyediakan layanan syahwat secara langsung, buku nikah palsu memudahkan penggunanya berbuat mesum dengan lebih ‘bermartabat’.
Munculnya buku nikah palsu mengindikasikan adanya simbiosis mutualisme antara orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dengan pasangan pria-wanita yang terhalang persyaratan administratif dan kesulitan melaksanakan nikah syar’i. Dengan buku nikah palsu, kumpul kebo dilegalkan. Sesetel kekasih yang ingin ‘menginap’ di hotel, tidak perlu khawatir lagi digerebek Satpol PP, sebab memiliki buku nikah palsu. Keinginan hidung belang menikahi gadis belia, tanpa melibatkan mertua, tentu terwujud, sebab mengantongi restu buku. Di sinilah buku menjadi pembenaran atas tindakan asusila. Buku menjadi aksioma atas penyelewengan manusia. Kemaksiatan mendapat jalan lempang atas sokongan buku.
Oleh mereka yang tidak bertanggung jawab, buku dijadikan tameng dalam melancarkan gelagat buruk. Sudah banyak kasus kriminalitas yang menjadikan buku sebagai sarana. Mulai bom buku, penyelundupan narkoba dengan buku, hingga penyusupan paham radikalisme melalui buku.
Isi buku juga sering kali dipolitisir, digunakan untuk beragam kepentingan. Manusia mudah memelintir teks-teks dalam buku demi menuruti hawa nafsu. Akibatnya, kebenaran menjadi sangat relatif, karena manusia bisa memanfaatkan teks sesuai situasi dan kondisi. Buku memanggul beban psikologis, karena terpaksa mengamini kehendak manusia. Buku yang awalnya bersifat sakral berubah menjadi banal.
Sialnya, buku tidak bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuasaan penuh memasukkan teks—termasuk ijab-qabul pernikahan—dalam buku berada di tangan manusia. Sejalan dengan konsep free will, manusia bisa memilih untuk menjadikan buku sebagai medium berburu pahala atau alat pencetak dosa. Buku hanya menerima hasil akhir ikhtiar dan ijtihad manusia.
Apa yang lantas terjadi? Buku tidak lagi identik dengan peranti penyampai kebenaran, penyalur ilmu pengetahuan, serta penabur biji kebaikan. Di hadapan penguasa, buku cenderung mengantongi stereotip negatif. Dalam catatan sejarah, gelombang budaya anti demokrasi yang ditandai pada 1 Oktober 1965 menghalalkan pembakaran terhadap jutaan buku, terbitan, dan pemikiran-pemikiran manusia Indonesia (Arimardana, 2015). Karya-karya yang mengusung ideologi komunis sengaja dimusnahkan, sebab dinilai mengingkari amanat konstitusi. Bagi Orde Baru, membakar buku adalah hal yang lazim. Padahal, mengutip Heinrich Heine, penyair Jerman: “where books are burned, human beings are destined to be burned too”.
Anehnya, kediktatoran penguasa terhadap buku terus berulang. Sebab dianggap melanggar ketertiban umum, Kejaksaan Agung pernah melarang beredarnya beberapa buku, antara lain: Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Lekra Tak Membakar Buku (Merakesumba Lukamu Sakitku), dan Enam Jalan Menuju Tuhan (Hikayat Dunia).
Jika kekejian terhadap buku dibiarkan, maka kita bisa memprediksi, 100 tahun kemudian, peribahasa-peribahasa buruk mengenai buku bermunculan. Seperti “seburuk-buruk teman adalah buku”, “sebuah buku ibarat duri yang dibawa dalam kantong”, dan “aku tak akan pernah lebih beruntung darimu, sebab aku punya ibu yang selalu membacakan buku untukku”.
Terlepas dari ketentuan bahwa pemalsu buku nikah bisa dipidana, yang pasti memanfaatkan buku untuk perbuatan menyimpang jelas tidak dibenarkan. Pasalnya, lambat laun, hal ini menjadikan kepercayaan manusia terhadap buku luntur; Lembaga-lembaga penerbitan dianggap abal-abal; Manusia-manusia yang berkhidmat pada buku dituduh sebagai makelar, perantara bagi mereka yang mampu menukar kenikmatan dengan sejumlah uang.
Adanya buku nikah palsu menambah daftar rentetan kepalsuan di negeri ini. Mulai dari uang, ijazah, beras, daging, merica, dokter kecantikan, paket umroh, kosmetik, obat, hingga batu akik. Hal ini mengingatkan kita pada puisi Agus R. Sarjono bertajuk “Sajak Palsu” (1998) berikut:
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu/ Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu/ Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu/ Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu/ Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru//
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu/ Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu/ Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu/ Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu/ Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu//
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu/ Maka uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu//
Dengan demikian, Anda dituntut waspada. Jangan-jangan, artikel yang sedang Anda baca ini juga terindikasi palsu!

Bojonegoro, 2015

Kritik bagi Kaum Bersarung (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 9 Juli 2015)

Belum lama ini, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengusulkan kepada pemerintah agar 22 Oktober ditandai sebagai hari santri. Data sejarah menunjukkan bahwa revolusi jihad yang dicetuskan Hasyim Ashari pada 22 Oktober 1945 merupakan puncak perlawanan ulama dan santri dalam mengusir kaum kolonial. Jihad yang dipelopori kaum bersarung tersebut telah memicu perjuangan ‘Arek-arek Suroboyo’, sehingga pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Pasca-kemerdekaan, peran ulama dan santri tetap dirasakan. Corak bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan langgam Islam-Nusantara terbukti mampu menghindarkan negeri ini dari perselisihan antar agama, ras, dan golongan. Namun demikian, mereka bukan ‘kebal kritik’. Agar eksistensi mereka dapat diakui oleh semua pihak, ada sejumlah catatan sebagai bahan intropeksi.

Agama Yes, Umum No
Banyak ulama menganjurkan para santri untuk menjunjung tinggi pengetahuan agama dan menampik mentah-mentah pengetahuan umum. Pengetahuan umum hanyalah ‘barang duniawi’ yang mesti dihindari, karena tidak berhubungan dengan agama serta menghalangi manusia mencapai kebahagiaan di akhirat. Sedangkan pengetahuan agama adalah referensi kehidupan yang senantiasa menuntun manusia menuju rida Tuhan.
Atas dasar inilah, para santri lebih tertarik menyimak halaqah, pengajian, bahtsu al-masail, serta dialog keagamaan, daripada seminar, diskusi panel, dan forum-forum ilmiah lain yang membicarakan pengetahuan umum dan problematika kontemporer. Mereka menilai bahwa pengetahuan agama lebih bermanfaat daripada pengetahuan umum. Fenomena ini mengakibatkan munculnya ‘dikotomi pengetahuan’, yang dalam perkembangannya melahirkan dikotomi pendidikan antara umum dan agama (Islam). Dikotomi ini, baik langsung maupun tidak, akan mendiskreditkan agama (Islam) dengan konotasi hanya berurusan dengan persoalan akhirat (Mujamil Qomar, 2006: 80).
Pengetahuan umum dan pengetahuan agama sebenarnya saling menguatkan. Hal inilah yang harus difahami oleh ulama dan santri. Paradigma berpikir yang menolak pengetahuan umum dan mengutamakan pengetahuan agama perlu diubah.
Bagaimana dengan pengetahuan yang jelas-jelas menerabas koridor Islam? Dalam konteks inilah, ulama dan santri dituntut dapat memfilter mana pengetahuan yang sejalan dengan ajaran Islam dan mana yang menyimpang. Toh, pengetahuan yang kurang syar’i pun sebenarnya bisa diunduh segi positifnya.

Salaf versus Khalaf
Meminjam Zamakhsyari Dhofier (dalam Wahjoetomo, 1997: 83), yang dimaksud pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan pesantren khalaf merupakan lembaga pesantren yang mengusung pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum.
Dalam pengamatan penulis, kedua pesantren tersebut acap kali terjebak dalam klaim kebenaran. Pesantren salaf berpandangan bahwa dengan mewariskan pengetahuan para salaf as-shaleh dan mengabaikan pengetahuan lainnya, berarti telah mengambil langkah paling urgen dalam mempertahankan Islam. Kitab-kitab klasik karangan para ulama tradisional lebih dipercaya daripada buku-buku akademisi dan sarjana. Pesantren ini mempunyai keyakinan bahwa mempertahankan ajaran Islam lebih bermanfaat ketimbang mengikuti pemikiran-pemikiran modern yang tidak jelas arahnya.
Adapun pesantren khalaf (modern) meneguhkan diri sebagai lembaga pendidikan paling ideal yang berusaha memenuhi panggilan zaman. Selain pengetahuan agama, pesantren ini juga membekali para santri dengan komputer, bahasa asing, olahraga, musik, dan lainnya. Para santri dipersiapkan menjadi manusia yang siap guna dalam masyarakat.
Dengan sifatnya yang adaptif dan responsif, pesantren khalaf mengaku lebih terbuka daripada pesantren salaf. Karena tuntutan zaman, pesantren khalaf berani melakukan penafsiran ulang atas karya dan pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Berbeda halnya dengan pesantren salaf yang cenderung berhati-hati, enggan mengutak-atik apa yang telah disampaikan oleh para pendahulu.
Realitas di atas menjadi faktor timbulnya pergolakan panjang antar kedua pesantren tersebut. Para ulama dan santri kedua pesantren saling menjatuhkan, bahkan menganggap kelompoknya yang paling benar. Seharusnya pergolakan ini segera diakhiri. Mereka harus saling merangkul dan bergandeng tangan dalam rangka mewujudkan umat yang rahmatan li al-'aalamiin.

Politik Praktis
Segolongan ulama menaruh keyakinan bahwa Islam itu bersih dan politik itu kotor. Jangan sampai agama yang bersih dicemari oleh politik. Pemikiran inilah yang mendasari orang-orang Islam berjarak dengan partai politik serta ‘masa bodoh’ dengan perkembangan politik Indonesia. Pemikiran seperti ini mesti diluruskan. Agama memang bersih, dan politik itu kotor. Tetapi, apakah mustahil politik yang kotor dibasuh oleh agama? Dengan demikian, politik bisa diterima oleh semua kalangan, termasuk umat Islam sendiri.
Pemikiran yang berpijak pada sikap zuhud (bertapa dunia) terkadang dijadikan alibi ulama dan santri untuk menyingkir dari jagat politik. Politik tak ubahnya sarana penggayuh kekuasaan, yang gemar menghalalkan beragam cara. Akhirnya, mereka menghindar dari arena politik dan memilih pola hidup religius yang dianggap sebagai jalan satu-satunya menuju keselamatan.
Padahal, melihat iklim perpolitikan yang sedang karut-marut, ulama dan santri harus terlibat di gelanggang politik. Bukannya membelenggu diri dan menutup mata dari segebok permasalahan bangsa. Apalagi, akhir-akhir ini bermunculan partai-partai politik yang mengatasnamakan rakyat, tetapi ujung-ujungnya justru memanfaatkan rakyat.
Menjauhnya ulama dan santri dari politik justru dapat menimbulkan kecurigaan: apakah mereka rela bangsa ini dinahkodai oleh orang yang seharusnya tidak pantas menjadi pemimpin? Atau apakah dengan hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tanpa mau berpolitik, orang-orang Islam bisa melakukan amar ma'ruf nahi munkar?
Oleh sebab itu, bukan hal yang tabu lagi jika para santri ikut meramaikan gaung perpolitikan di Indonesia. Akan tetapi, sebelumnya, para ulama seyogyanya menularkan ilmu politik pada santri. Dengan etika berpolitik yang santun, santri diarahkan untuk senantiasa menerapkan prinsip-prinsip kejujuran serta menegakkan agama Allah (i'laai kalimaati allah).
Dengan turunnya ulama dan santri ke gelanggang politik, diharapkan muncul sosok pemimpin yang telah lama dirindukan: berwawasan luas, agamis, memperhatikan nasib rakyat, serta mampu merangkul semua golongan. Pemimpin yang muncul dari kaum bersarung adalah mereka yang mempunyai tingkat integritas, intelektualitas, dan religiusitas yang tinggi.

Bojonegoro, 2015 

Perkembangan Rasionalitas Mudik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Rabu, 8 Juli 2015)

Dalam beberapa hari ke depan, para perantau di kota beramai-ramai mudik ke kampung halaman. Mereka rela menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, asalkan keinginan berkumpul dengan keluarga dan handai tolan bisa terwujud. Lalu lintas yang macet dan jalan raya berlubang mereka lalui demi merengkuh kedamaian, ketenteraman, dan keguyuban saat merayakan hari kemenangan.
Saat ini, mudik lebih identik dengan pulang kampung. Padahal, dulu kala, mudik bermakna pergi ke udik atau berlayar ke hulu sungai. Hal ini menandakan bahwa dengan berjalannya waktu, unsur sosial, politik, dan budaya turut memberikan dampak terhadap ‘nasib’ kata tersebut.
Sejumlah kamus, baik Kamus Indonesia Ketjil (E St Harahap, 1943), Maleis Woordenboek (Van Ronkel, 1946), maupun Logat Ketjil Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1948), memaknai mudik sebagai “berlayar atau pergi ke udik (ke hulu sungai)”. Sementara itu, Ensiklopedi Indonesia (Mulia dan Hidding, 1957) tidak memuat entri mudik. Ini berlatar belakang karena pada waktu diterbitkannya ensiklopedi tersebut, mudik tak dianggap penting sebab belum merepresentasikan fenomena sosial.
Dengan demikian, sebelum tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang kampung halaman. Ketika itu, mudik tidak pernah dikaitkan dengan Lebaran, sebab dua peristiwa tersebut sama sekali tidak berhubungan. Orang-orang mulai menghubungkan keduanya setelah istilah mudik mengalami perkembangan.
Adalah Poerwadarminta (1976) yang menyelipkan mudik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dengan arti “pulang ke desa atau ke dusun”. Leksikograf yang kerap memakai nama samaran Ajirabas, Semplak atau Sabarija tersebut menerapkan mudik dalam contoh kalimat: “Tiga hari sebelum Lebaran, sudah banyak orang yang mudik.”
Ini berarti, baru pada tahun 1976 istilah mudik, yang berasal dari bahasa Betawi tersebut, lekat dengan kebiasaan pulang kampung menjelang Lebaran. Tak heran jika kamus-kamus lain yang terbit sesudah tahun 1976 memuat entri mudik dalam dua makna, yaitu (berlayar pergi, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman) dan pulang kampung halaman (Andi Andrianto, 2013).
Pada mulanya, tradisi mudik di negeri ini didasari adanya gelombang urbanisasi. Proses perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran tidak lantas membuat masyarakat urban lupa dengan tanah kelahiran. Para perantau meningkatkan taraf perekonomian mereka sambil beradaptasi dengan lingkungan baru.
Akhirnya, mereka terpaksa memakai topeng demi menyembunyikan identitas dan menyamarkan jati diri. Mereka menunjukkan cara berpikir materialistis-hedonistis dengan menjunjung tinggi pola hidup kompromistis-permisif, yang lebih mewakili budaya kontinental/daratan ketimbang budaya maritim/kelautan. Namun demikian, di balik mode pengkhianatan terhadap diri sendiri, alam bawah sadar mereka sebenarnya masih terpaut dengan nilai, prinsip, dan sejarah kampung.
Oleh dasar itulah, selain peneguhan identitas kultural dan politik, mudik dipilih sebagai ikhtiar membangkitkan kembali nilai-nilai yang melekat di alam bawah sadar tersebut.
Tradisi mudik yang turun temurun dapat dilihat dari aspek perkembangan rasionalitas masyarakat. Era 1970-an hingga 1990-an menjadi penanda bahwa mudik mempunyai motif tradisional.
Pada waktu itu, tingkat rasionalisasi di negeri ini relatif belum berkembang secara pesat. Para perantau mengokohkan kembali semangat pola kehidupan tradisional yang terkikis oleh arus modernisasi di kota-kota besar. Dengan mudik, mereka ingin menegaskan diri sebagai anggota komunal daerah asal, sebuah lanskap di mana hubungan sosial tak dihargai dengan pamrih.

Lebih Rasional 
Dewasa ini, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Pada umumnya mudik didorong alasan praktis-pragmatis. Bagi masyarakat urban, mudik lebih dari sekadar tradisi. Mudik dianggap nostalgia, obsesi, bahkan ilusi.
Faktor mudik kerap didasari kehendak memungut kembali kenangan di desa atau dusun yang selalu menumbuhkan romantisme. Karena itu, bagi perantau, mudik ibarat cermin yang memantulkan bayangan masa silam. Ragam peristiwa dan suasana yang dilalui senantiasa mengalirkan sensasi dan déjà vu yang menggelora. Sebagai salah satu bentuk katarsis, mudik dipercaya dapat menghapus berbagai emosi negatif.
Dengan kembali ke tanah kelahiran, pemudik dapat melepaskan segala macam beban, penat dan tekanan yang menghantui hidup. Fakta bahwa mereka yang bekerja di kota besar selalu menghadapi beragam permasalahan perlu disegarkan dengan wisata kekeluargaan.
Mudik juga menjadi media aktualisasi diri. Bagi pemudik, perjuangan di tanah rantau yang digenapi cerita manis dalam karier dan pekerjaan perlu diekspresikan kepada saudara di desa atau dusun. Di samping memuaskan pemudik, ekspresi semacam ini juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga.
Perkembangan rasionalitas masyarakat menjadikan mudik sebagai fenomena campuran. Dalam pandangan Mohamad Sobary (2013), di samping fenomena kebudayaan di kalangan kaum migran yang setia merawat tradisi, mudik juga merupakan fenomena keagamaan dengan atribut rohaniah yang mereka butuhkan.
Tampaknya, makna mudik sebagai pulang kampung tak akan tergantikan. Nilai-nilai religiusitas telah memantapkan fondasi tradisi mudik yang dikaitkan dengan Lebaran.
Sesuai pandangan J.J. Rousseau, sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama dapat senantiasa mengakar kuat dalam sanubari masyarakat.

Bojonegoro, 2015

Rabu, 01 Juli 2015

Engeline dan Pembersihan Adat (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Rabu, 1 Juli 2015)

Oleh sebagian masyarakat Bali, kematian Engeline dianggap tidak lumrah atau seperti menentang alam. Atas dasar itulah, Desa Adat Gumi Kebon Kuri Kesiman menggelar upacara pecaruan di rumah Margareith, ibu angkat Engeline. Tujuannya, meredakan segala kedukaan masyarakat dan membersihkannya dari kotoran yang mengacaukan alam.
Upacara caru panca sata dipimpin Mangku Wayan Jawas, seorang pemangku Pura Pemayun Kahyangan. Dipersembahkan lima ayam aneka warna (brumbun, hitam, merah, putih, dan buik).
Dalam pandangan Thomas A. Reuter (2005), persembahan darah melalui pengorbanan binatang (caru) di Bali penting untuk menghindarkan tapal batas dunia manusia dari penyerobotan makhluk halus. Caru diyakini mencegah para penghuni tanah terdahulu (bukan manusia) membalas dendam terhadap orang-orang yang kurang tahu berterima kasih.
Bagi umat Hindu di Bali, pecaruan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Ritual ini untuk merawat lima unsur alam, yakni tanah, air, udara, api, dan eter. Ini penyucian dari Bhuta Kala dan segala macam kotoran, serta pengharapan agar keburukan tidak terulang.

Skeptis Kepada Negara
Masyarakat Bali khawatir, pembunuhan Engeline menyebabkan alam murka sehingga manusia akan dibinasakan. Jika manusia merusak alam, suatu saat manusia pasti mendapat balasan, menerima penderitaan.
Upacara pecaruan ini berpesan agar manusia memegang nilai-nilai luhur dan spiritual dengan melestarikan alam dan lingkungan. Manusia harus menjunjung tinggi perdamaian dan kasih sayang. Jangan merusak karunia Tuhan.
Pecaruan juga menunjukkan, masyarakat sudah tidak lagi percaya pada hal-hal formal-prosedural dalam menjamin ketertiban. Pecaruan dipilih mereka yang skeptis terhadap institusi-institusi politik, hukum, dan sosial bentukan negara yang sering mengecewakan. Ini juga yang menyebabkan pecalang, sebagai pengemban tugas kepolisian sekaligus keamanan adat di Bali, masih bertahan.  
Pecaruan sebagai respons atas tragedi Engeline merupakan contoh usaha desa adat untuk menciptakan perdamaian, kearifan warisan nenek moyang. Desa adat mengajak manusia untuk selalu menggunakan nurani dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manusia sebagai representasi Tuhan di muka bumi harus bisa menjalin “persahabatan” dengan alam dan lingkungan.

Mengembangkan Desa
Sudah sewajarnya desa adat di Bali, yang populer sebagai desa pakraman, dikembangkan. Desa adat, juga di daerah-daerah lain, menjadi benteng pertahanan terhadap pengebirian spirit lokal.
Eksistensi desa adat merupakan antitesis atas beragam ekses modernisasi dan globalisasi. Ketika Bali diserbu budaya asing, desa adat berperan untuk menyaring.
Desa adat yang disangga nilai agama dan kebudayaan harus menjadi institusi lokal di tengah kehadiran rezim negara. Identitas desa adat berupa wilayah, masyarakat, serta lokasi suci untuk memuja Sang Hyang Widhi, harus sanggup mengimbangi regulasi pemerintah yang menjadikan adat sebagai instrumen pembangunan.
Struktur kepengurusan desa adat di Bali, terdiri atas banjar (pengelola aspek publik dan kehidupan komunal), subak (pengelola irigasi), dan pemaksan (pengelola aktivitas ritual masyarakat), hingga kini dipercaya untuk mengurus kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam memelihara keharmonisan (Budi Susanto, 2007: 260). Harmoni antara manusia dan manusia, manusia dengan alam dan Tuhan, juga manusia dengan pemimpinnya.
Apa lagi yang lebih bijak dari itu?

Bojonegoro, 2015