Minggu, 12 Juli 2015

Kritik bagi Kaum Bersarung (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Kamis, 9 Juli 2015)

Belum lama ini, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengusulkan kepada pemerintah agar 22 Oktober ditandai sebagai hari santri. Data sejarah menunjukkan bahwa revolusi jihad yang dicetuskan Hasyim Ashari pada 22 Oktober 1945 merupakan puncak perlawanan ulama dan santri dalam mengusir kaum kolonial. Jihad yang dipelopori kaum bersarung tersebut telah memicu perjuangan ‘Arek-arek Suroboyo’, sehingga pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Pasca-kemerdekaan, peran ulama dan santri tetap dirasakan. Corak bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan langgam Islam-Nusantara terbukti mampu menghindarkan negeri ini dari perselisihan antar agama, ras, dan golongan. Namun demikian, mereka bukan ‘kebal kritik’. Agar eksistensi mereka dapat diakui oleh semua pihak, ada sejumlah catatan sebagai bahan intropeksi.

Agama Yes, Umum No
Banyak ulama menganjurkan para santri untuk menjunjung tinggi pengetahuan agama dan menampik mentah-mentah pengetahuan umum. Pengetahuan umum hanyalah ‘barang duniawi’ yang mesti dihindari, karena tidak berhubungan dengan agama serta menghalangi manusia mencapai kebahagiaan di akhirat. Sedangkan pengetahuan agama adalah referensi kehidupan yang senantiasa menuntun manusia menuju rida Tuhan.
Atas dasar inilah, para santri lebih tertarik menyimak halaqah, pengajian, bahtsu al-masail, serta dialog keagamaan, daripada seminar, diskusi panel, dan forum-forum ilmiah lain yang membicarakan pengetahuan umum dan problematika kontemporer. Mereka menilai bahwa pengetahuan agama lebih bermanfaat daripada pengetahuan umum. Fenomena ini mengakibatkan munculnya ‘dikotomi pengetahuan’, yang dalam perkembangannya melahirkan dikotomi pendidikan antara umum dan agama (Islam). Dikotomi ini, baik langsung maupun tidak, akan mendiskreditkan agama (Islam) dengan konotasi hanya berurusan dengan persoalan akhirat (Mujamil Qomar, 2006: 80).
Pengetahuan umum dan pengetahuan agama sebenarnya saling menguatkan. Hal inilah yang harus difahami oleh ulama dan santri. Paradigma berpikir yang menolak pengetahuan umum dan mengutamakan pengetahuan agama perlu diubah.
Bagaimana dengan pengetahuan yang jelas-jelas menerabas koridor Islam? Dalam konteks inilah, ulama dan santri dituntut dapat memfilter mana pengetahuan yang sejalan dengan ajaran Islam dan mana yang menyimpang. Toh, pengetahuan yang kurang syar’i pun sebenarnya bisa diunduh segi positifnya.

Salaf versus Khalaf
Meminjam Zamakhsyari Dhofier (dalam Wahjoetomo, 1997: 83), yang dimaksud pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan pesantren khalaf merupakan lembaga pesantren yang mengusung pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum.
Dalam pengamatan penulis, kedua pesantren tersebut acap kali terjebak dalam klaim kebenaran. Pesantren salaf berpandangan bahwa dengan mewariskan pengetahuan para salaf as-shaleh dan mengabaikan pengetahuan lainnya, berarti telah mengambil langkah paling urgen dalam mempertahankan Islam. Kitab-kitab klasik karangan para ulama tradisional lebih dipercaya daripada buku-buku akademisi dan sarjana. Pesantren ini mempunyai keyakinan bahwa mempertahankan ajaran Islam lebih bermanfaat ketimbang mengikuti pemikiran-pemikiran modern yang tidak jelas arahnya.
Adapun pesantren khalaf (modern) meneguhkan diri sebagai lembaga pendidikan paling ideal yang berusaha memenuhi panggilan zaman. Selain pengetahuan agama, pesantren ini juga membekali para santri dengan komputer, bahasa asing, olahraga, musik, dan lainnya. Para santri dipersiapkan menjadi manusia yang siap guna dalam masyarakat.
Dengan sifatnya yang adaptif dan responsif, pesantren khalaf mengaku lebih terbuka daripada pesantren salaf. Karena tuntutan zaman, pesantren khalaf berani melakukan penafsiran ulang atas karya dan pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Berbeda halnya dengan pesantren salaf yang cenderung berhati-hati, enggan mengutak-atik apa yang telah disampaikan oleh para pendahulu.
Realitas di atas menjadi faktor timbulnya pergolakan panjang antar kedua pesantren tersebut. Para ulama dan santri kedua pesantren saling menjatuhkan, bahkan menganggap kelompoknya yang paling benar. Seharusnya pergolakan ini segera diakhiri. Mereka harus saling merangkul dan bergandeng tangan dalam rangka mewujudkan umat yang rahmatan li al-'aalamiin.

Politik Praktis
Segolongan ulama menaruh keyakinan bahwa Islam itu bersih dan politik itu kotor. Jangan sampai agama yang bersih dicemari oleh politik. Pemikiran inilah yang mendasari orang-orang Islam berjarak dengan partai politik serta ‘masa bodoh’ dengan perkembangan politik Indonesia. Pemikiran seperti ini mesti diluruskan. Agama memang bersih, dan politik itu kotor. Tetapi, apakah mustahil politik yang kotor dibasuh oleh agama? Dengan demikian, politik bisa diterima oleh semua kalangan, termasuk umat Islam sendiri.
Pemikiran yang berpijak pada sikap zuhud (bertapa dunia) terkadang dijadikan alibi ulama dan santri untuk menyingkir dari jagat politik. Politik tak ubahnya sarana penggayuh kekuasaan, yang gemar menghalalkan beragam cara. Akhirnya, mereka menghindar dari arena politik dan memilih pola hidup religius yang dianggap sebagai jalan satu-satunya menuju keselamatan.
Padahal, melihat iklim perpolitikan yang sedang karut-marut, ulama dan santri harus terlibat di gelanggang politik. Bukannya membelenggu diri dan menutup mata dari segebok permasalahan bangsa. Apalagi, akhir-akhir ini bermunculan partai-partai politik yang mengatasnamakan rakyat, tetapi ujung-ujungnya justru memanfaatkan rakyat.
Menjauhnya ulama dan santri dari politik justru dapat menimbulkan kecurigaan: apakah mereka rela bangsa ini dinahkodai oleh orang yang seharusnya tidak pantas menjadi pemimpin? Atau apakah dengan hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tanpa mau berpolitik, orang-orang Islam bisa melakukan amar ma'ruf nahi munkar?
Oleh sebab itu, bukan hal yang tabu lagi jika para santri ikut meramaikan gaung perpolitikan di Indonesia. Akan tetapi, sebelumnya, para ulama seyogyanya menularkan ilmu politik pada santri. Dengan etika berpolitik yang santun, santri diarahkan untuk senantiasa menerapkan prinsip-prinsip kejujuran serta menegakkan agama Allah (i'laai kalimaati allah).
Dengan turunnya ulama dan santri ke gelanggang politik, diharapkan muncul sosok pemimpin yang telah lama dirindukan: berwawasan luas, agamis, memperhatikan nasib rakyat, serta mampu merangkul semua golongan. Pemimpin yang muncul dari kaum bersarung adalah mereka yang mempunyai tingkat integritas, intelektualitas, dan religiusitas yang tinggi.

Bojonegoro, 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar