Senin, 12 Mei 2014

Mitos Pencinta Burung (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" dan “Harian Jogja” edisi Minggu, 4 Mei 2014)

Burung Gomi tidaklah menarik. Sayapnya gemar memberontak, bola matanya bulat lebar, dan kicaunya mematuki cakrawala. Hanya saja, ia mengantongi kelebihan yang enggan dimiliki satwa lainnya. Burung dengan paruh pendek dan kepala botak tersebut tercipta untuk dicintai Suhoi. Ya, jejaka penebar pesona yang mengantar jantung perempuan bergetar hebat jika memandangnya. Lelaki tampan yang saking tampannya pernah menolak cinta Aruh dan menyiksanya di kaki gunung Jirem.
Aruh tidak marah. Pun tidak kaget tatkala Suhoi berberat hati menerima perasaan Aruh. Suhoi—bujang gagah dengan senyum yang selalu menempel di gigi itu—memang pantas berbuat demikian. Yang ia sesali, mengapa Suhoi begitu tega menyabetkan cambuk Korsula di sekujur badannya hingga berlumuran darah. Dan sebab kebrutalan Suhoi itu, Aruh memasang kutukan: “Kau memang memikat, Suhoi. Tapi itu kurang berarti, karena dua puluh satu bulan ke depan ketampanan yang kau punya bakal membuat dirimu celaka.”
Pada waktu itulah, petualangan Suhoi dalam berburu cinta dimulai. Bunga lose rajin menertawakannya. Bukit Gemro melempar buah gunjingan untuknya. Segerombolan udara kompak mencibirnya. “Sungguh menyakitkan! Seorang manusia bermuka cahaya menaruh hati pada seekor burung. Buruk rupa pula.”
***
Itu pagi, Suhoi bermaksud menangkap burung Gomi di sebiji lembah yang dingin. Dengan bertelanjang dada, Suhoi melewati semak-belukar dan hutan Sette. Sesuai kebiasaan, burung Gomi baru akan bangun dari dengkurnya ketika matahari naik kira-kira sepenggalah. Suhoi harus berlari cepat atau ia akan kehilangan jejak buruannya. Suhoi bosan jika berulang kali terlambat dan hanya mendapati bulu-bulu kasar burung Gomi yang jatuh di peraduannya.
Mata Suhoi membelalak sempurna saat memergoki tempat burung Gomi nyata kosong. Lebih mengherankan lagi, kenapa ia tak menemukan sama sekali bulu burung Gomi. “Apakah ia berpindah tempat?” Desisnya.
Dengan amarah memuncak, Suhoi membabibuta dan meraung sekeras-kerasnya hingga aliran sungai Toba sekonyong-konyong berhenti. Tanaman Pyres tercenung menyimak polahnya.
Lambat laun, Suhoi tergerak berpikir. Harus berapa lama lagi ia mengejar burung Gomi. Sampai kapan jiwanya terlunta-lunta. Sedang, hingga saat itu, ia menenggak sembilan tahun, demi sekadar mendulangkan cinta pada burung Gomi. Alangkah nista, manusia menguber seekor burung yang fakir rasa. Acap kali ia membuang perasaan laknat tersebut. Anehnya, bukannya raib, justru berlipat ganda.
Sampai suatu saat, ia bermaksud menemui ahli nujum bernama Hiras. Dari renta berumur seabad lebih itulah, dulu kakeknya, Zondir, mampu mengetahui penyakit Bamess. Penyakit langka yang sebelumnya tiada suah menyentuh penduduk Joure itu mampu dikenali Hiras hanya dengan menjulurkan lidah. Sepemakan sirih kemudian, di dahi adiknya itu terpampang jelas nama orang yang sengaja mengirim jarum-jarum kecil ke perut Bamess. Ialah Gosrem, tetangga yang gemar mendermakan buah rohan usai mengetamnya dari ladang.  
Suhoi bergegas. Meski berjarak ribuan mil dari rumah, Suhoi tetap nekat. Berbekal kendi mungil berisi kehur—minuman yang biasa dibawa orang-orang Joure kala melancarkan perjalanan jauh—serta kantong memuat kalung emas, ia bersiap menuju Tubere—kota dimana Hiras tinggal.
Usai berjalan tiga hari dua malam, akhirnya sampailah ia di kediaman Hiras.
“Wahai Tuan, aku datang dari Joure. Aku sangat membutuhkanmu, Tuan.” Nafas Suhoi terengah-engah seperti dengus kijang yang dikejar macan.
“Aku cuma bawa ini, Tuan.” Sambil membuka kantongnya, Suhoi menyambung kalam: “Kalau Tuan bersedia menolong, aku akan memberikannya untuk Tuan. Ini adalah hadiah dari Morgup sebelum ia berpisah denganku.”
“Apa masalahmu, anak muda?” Sahut Hiras.
“Aku sendiri sebenarnya kurang mengerti, Tuan. Ya, Tuan. Aku sedang bingung. Ada apa dengan diriku? Ribuan perempuan mengharapkan cintaku. Namun, aku malah berpaling dari mereka dan menyukai burung Gomi, Tuan. Celakanya, burung yang suka tinggal di lembah dan mengutil buah rohan itu urung menerimaku sebagai kekasihnya. Aku sudah berusaha sekuat tenaga mencampakkan bayangannya. Anehnya, ia selalu datang dalam mimpi. Benar. Dalam mimpi, Tuan.”
“Apakah kau pernah menyaikiti perempuan, anak muda?”
Suhoi terkesiap. Tiada purbasangka sedetik pun, jika Hiras akan melontarkan pertanyaan itu. Katup mulut Suhoi tertutup rapat. Seakan-akan ada yang menahannya dari dalam. Sambil membolak-balik memori, ia melempar kata-kata sekenanya.
“Perempuan, Tuan?”
Ternyata bukan jawaban yang diulurkan Suhoi, namun pertanyaan baru. Pertanyaan yang digunakan sekadar menudungi kebimbangan.
“Ya, anak muda. Pernahkah kau menyakiti perempuan?”
“Hmmmm…..”
***
Sungguh, persyaratan yang luar biasa berat bagi Suhoi. Benar. Menggali maaf dari perempuan adalah sesuatu yang memalukan dan pantang dilaksanakan. Apakah Hiras belum mengerti, bahwa selama ini kaum Hawalah yang layak mengharap maaf darinya. Bukan sebaliknya. Namun, apalah daya. Demi mencabut kutukan Aruh, rela ia menunaikannya. 
Fajar buta, Suhoi pergi ke Xulleas—kampung yang dulu menampung Aruh. Di tengah perjalanan, Suhoi terlihat gelisah. Sangat gelisah. Entah mau ditaruh mana mukanya kala bertembung dengan Aruh. Jalannya merayap laksana siput yang baru melahirkan. Dengan harapan tiada lekas Suhoi hinggap di Xulleas.
Udara masih menggelar selimut. Surya belum menampakkan batang hidungnya. Dalam suasana cukup lengang, tiada yang sudi menemani Suhoi, kecuali segebok pertanyaan yang bergelantungan di kepala.
“Apa yang hendak Aruh lakukan saat berjumpa denganku? Bersediakah ia menerima maaf dari orang yang menyakitinya? Masihkah ia menyimpan perasaan itu?,” serta masih rimbun lagi pertanyaan lainnya.
Setiba di loka tujuan, Suhoi tercengang. Suasana dan tata ruang Xulleas berubah total. Tiada lagi pasar Nonu yang dulu terletak di sudut kampung. Tiada lagi bommbe—toko penyedia senjata yang biasa riuh di Minggu petang. Bola mata Suhoi hanya mendapati beberapa keadaan yang malas berubah: altar di sebelah utara sungai Syiir, balai kampung di jalur menuju jembatan Remah, dan tugu raksasa di pusat keramaian. Sedang rumah-rumah yang tergeletak dalam angan Suhoi lenyap. Dalam keadaan demikian, rasanya sulit sekali menemukan letak rumah Aruh.
Saat berjalan memirsa pemandangan, ia memindai pohon komu berdaun rindang. “Di sana. Ya, di dekat pohon itulah dulu Aruh tinggal.”
Hati Suhoi mengayuh gembira. Namun, ia agak heran ketika melihat rumah di balik pohon dengan ranting-ranting menjulang itu berbeda dengan rumah yang lampau Aruh diami.
“Barangkali rumahnya telah diperbaiki.” Segesit kilat, ia mengatasi keraguan.
“Nenek, benarkah ini rumah Aruh?.” Suhoi bersoal kepada perempuan usang yang tengah melanting seikat sayuran dari dalam rumah.
“Ada keperluan apa, Nak?”
“Ada hal penting yang mau kubicarakan dengannya, Nenek.”
“Maaf, Nak. Aruh meninggal dua tahun silam. Ia digigit ular vloria saat mencari kayu bakar.”
***
Usai mendengar penjelasan, Suhoi berpamit diri. Ia mesti menemukan kuburan Aruh. Kuburan yang dalam pikirannya ringan didapati. Kuburan yang di atasnya teronggok bunga sarukao dan nisannya berwarna hijau tua.
Suhoi berjalan gontai sambil menenangkan diri. “Kali ini, aku bakal menemukanmu, Aruh. Biarlah! Walaupun berupa mayat, aku tetap akan meminta maaf darimu.” Benak Suhoi melenguh. 
Namun apa yang terjadi? Suhoi mencerap kuburan yang ditujunya berantakan. Roqiu—si juru kunci—mewartakan bahwa tiga hari yang lalu, turun angin puting beliung yang memporakporandakan kuburan beserta isinya.
Suhoi tersungkur. Mustahil ia menemui tanda-tanda yang dijelaskan nenek tua. Tiada yang bisa ia perbuat, kecuali melanjutkan lagi pencariannya terhadap burung Gomi.
***
Burung Gomi kesal dengan ulah Suhoi. Betapa karena perbuatan dungunya, Suhoi telah merendahkan burung Gomi di kalangan spesiesnya. Ia dinilai menerap Suhoi jatuh cinta. Sebagian di antara kawanannya mengucilkannya. Mereka berdalih bahwa burung Gomi dituduh mencemarkan kehormatan nenek moyang yang bersumpah memusuhi manusia. Akibatnya, berbulan-bulan burung Gomi sukar tidur, hingga terbitlah sebutir rencana mengerikan: mengkhatami hidup Suhoi.
Burung Gomi mafhum bahwa Angin Timur adalah sosok pemarah serta mudah dihasut. Atas dasar itulah, suatu malam berkabut, burung Gomi mengundang Angin Timur ke rompoknya. Sesampai di sana, burung Gomi mengolah warta:
“Ketahuilah, Angin Timur. Usai mengejarku, Suhoi juga berencana menaklukkanmu.”
Belum genap merangkai buah tuturnya, burung Gomi diperintah diam. Angin Timur terperangah dengan wajah memerah. Kasih dari Angin Barat saja belum sempat ia wadahi. Kini, muncul lagi makhluk yang hendak mengincarnya. Makhluk yang seisi jagat raya mengecapnya gila—karena ingin bercinta dan hidup bersama dengan burung. “Sial. Aku mesti bertindak.” Pikirnya.
***
Kisah di atas kami pungut dari bibir Eyang. Selama ribuan tahun, mitos tersebut beralih tangan dari satu pencerita ke pencerita lainnya. Mitos tentang lakon cinta yang begitu dramatis sekaligus tragis. Itulah mengapa, hingga sekarang, berjuta-juta manusia memilih gurun Bellon selaku loka wisata paling diminati. Di sanalah berbaring Talduc—sejenis pohon mirip beringin. Ialah jelmaan Suhoi yang memungut sihir dari Angin Timur sebab termakan hasutan burung Gomi.


Yogyakarta, 2011

Wanita dan Komik (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 27 April 2014)

Goenawan Mohammad (2005) menaruh sinisme terhadap perkembangan komik Indonesia. Ia menuding sejarah buku komik tanah air tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana sosial-ekonomi. Barang tentu hal ini berbeda jauh dibanding Amerika Serikat. Geliat komik di sana sejak awal memang menunjukkan kabar menggembirakan. Tak ayal, melalui buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Goenawan mengklaim The Katzenjammer Kids sebagai ‘garansi’ bahwa tokoh satu seri komik dapat terus-menerus hadir sebagai bahan bacaan sampai selama 70 tahun di Negeri Paman Sam.    
Bagi saya, tudingan di atas memantik perenungan mendalam atas capaian para komikus Indonesia yang sering kali dipandang sebelah mata. Namun demikian, minimnya prasarana sosial-ekonomi tidak lantas membuat para komikus kita rendah diri. Buktinya, sejumlah karya lahir di tengah keterbatasan, bahkan termasyhur dan menjadi bahan perbincangan oleh para akademisi serta seniman dalam negeri. Tak jarang, atensi pun berasal dari luar. Semisal Marcel Bonnef, seorang berkebangsaan Prancis, yang mengangkat komik Indonesia sebagai tema penelitiannya. Sedemikian pentingnya, disertasi yang berhasil dipertahankan pada 1972 tersebut diterbitkan dan beberapa tahun selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH), Sebuah Noda Hitam (Jan Mintaraga), Si Put On (Kho Wan Gie), Buku Harian Monita (Sim Kim Toh), Gundala Putra Petir (Harya Suryaminata), Sri Asih (RA. Kosasih), dan Setitik Air Mata buat Peter (Zaldy Armendaris) merepresentasikan fakta bahwa ‘buah tangan’ para komikus kita sanggup membungkam keraguan. Di tengah gempuran pesimisme, komik-komik tersebut berhasil menyajikan riwayat kesuksesan.
Sayang dalam perkembangannya, terdapat indikasi kuat bahwa komik Indonesia sedang mati suri sebab komikus-komikus generasi baru tidak mewarisi tongkat estafet keberhasilan para pendahulu mereka. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur, sehingga industri komik berjalan tersendat-sendat. Atas dasar itulah, demi membendung gejala yang lebih akut, muncullah gerakan tokoh-tokoh wanita yang menaruh passion pada komik. Mereka berusaha sekuat tenaga agar karya komikus-komikus Indonesia tetap berumur panjang.
Pertama, Rahayu Surtiati. Wanita yang pernah menjadi dosen Fakultas Sastra Prancis Universitas Indonesia (UI) ini menggagas berdirinya Kajian Komik Indonesia (KKI) pada awal 1990an. Beberapa kali seminar dan diskusi yang digelar dengan menghadirkan sejumlah panelis antara lain Rudy Badil, Ishadi SK, Moerti Bunata, dan Arswendo Atmowiloto telah mencoba melihat sejauh mana nasib komik di masa lalu serta harapan di masa datang. Rahayu percaya bahwa selain menghibur komik juga berfungsi sebagai penyampai pesan. Komik memerankan diri selaku agen komunikasi dalam masyarakat. Boleh dibilang, apa yang dilakukan Rahayu setali tiga uang dengan pernyataan Marcel Bonnef (2008: 18) bahwa “komik merupakan salah satu karya sastra yang ampuh dalam menyebarkan gagasan.”
Kedua, Edi Sedyawati. Atas prakarsa wanita inilah untuk pertama kalinya komik disayembarakan oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen dan Kebudayaan (Depdikbud). Ia juga dinilai sebagai tokoh yang berani menelurkan gebrakan terhadap perkembangan komik tanah air. Dengan beragam upaya, ia bermaksud meningkatkan harga diri komik dengan cara mempublikasikannya ke masyarakat luas. Ia menganggap komik sangat layak diperjuangkan dalam Kongres Kesenian Nasional 1995. Langkah taktis yang dilakukan demi kemajuan komik adalah beraudiensi dengan Presiden Soeharto di Istana Negara. Setelah itu, ia merangkul Dwi Koendoro untuk bersama-sama merancang pekan komik nasional. Hasilnya, pekan komik nasional untuk kali pertama di Indonesia terselenggara pada Februari 1998 (Dwi Koendoro, 2007: 55). Tak salah bila Edi didaulat sebagai pencetus Hari Komik dan Animasi Indonesia.  
Ketiga, Vivian Wijaya atau Vee, satu-satunya mangaka (pembuat manga) asal Indonesia yang karyanya tiap bulan menghiasi koran Jepang. Wanita yang didapuk menjadi asisten Kenjiro Hata yang terkenal dengan karya Hayate The Combat Butler tersebut meresahkan kondisi tragis-melankolis yang dialami komik-komik Indonesia. Ia pun menaruh perhatian khusus terhadap kemunduran komik tanah air.  
Berbeda dengan Rahayu Surtiati dan Edi Sedyawati yang berhasrat mengembalikan kejayaan komik Indonesia masa silam dengan ciri asli dan local wisdom-nya, Vee gencar mempromosikan ‘produk lokal’ berbalut unsur Jepang dengan mendirikan sekolah komik di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berdiri sejak Oktober 2012, sekolah ini genap diikuti oleh banyak siswa baik domestik maupun mancanegara, seperti Jerman dan Australia. Dengan sekolah ini, alumnus Royal College Surgeon of Irlandia tersebut berharap agar ke depannya, komik Indonesia mampu bersaing dengan komik-komik luar. Menurut saya, hal ini bisa dipandang sebagai solusi (atau alternatif?) merangkul konsumen, sehingga karya komikus Indonesia mampu bersaing dan beradaptasi dengan pasar. Lebih dari itu, langkah ini merupakan upaya agar komik-komik dalam negeri memiliki gaung dan citra eksklusif.
Apa yang dilakukan baik oleh Rahayu Surtiati, Edi Sedyawati maupun Vivian Wijaya termasuk bagian dari agenda besar mempertahankan identitas kebangsaan. Sebuah identitas yang layak dijaga guna menjauhi cengkeraman kaum pengusung kapitalisme-materialistis juga oknum oportunis-pragmatis yang rentan menyelundupkan nilai-nilai perusak jiwa generasi bangsa. Dalam tataran tertentu, ikhtiar tersebut tergolong dalam strategi kebudayaan di mana akhir-akhir ini implementasinya pasang surut sebab mengalami pendefinisan ulang.
Gerakan ketiga tokoh wanita ini patut mendapat apresiasi. Mereka menawarkan semangat nasionalisme melalui ‘komikisasi’, aksi menjadikan komik sebagai ikon antusiasme sekaligus perlawanan: antusiasme memelihara warisan budaya bangsa sekaligus perlawanan menyapu bersih isme-isme destruktif yang tengah membanjiri masyarakat kita lewat beragam media.
Demikianlah secuplik perjuangan tokoh-tokoh wanita, demi menjaga martabat komik Indonesia. Maka, adakah di antara kalian, wahai para wanita, yang mendaftarkan diri sebagai pembela komik tanah air agar memiliki taji dan selalu disegani?


Yogyakarta, 2014