Senin, 12 Mei 2014

Wanita dan Komik (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 27 April 2014)

Goenawan Mohammad (2005) menaruh sinisme terhadap perkembangan komik Indonesia. Ia menuding sejarah buku komik tanah air tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana sosial-ekonomi. Barang tentu hal ini berbeda jauh dibanding Amerika Serikat. Geliat komik di sana sejak awal memang menunjukkan kabar menggembirakan. Tak ayal, melalui buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Goenawan mengklaim The Katzenjammer Kids sebagai ‘garansi’ bahwa tokoh satu seri komik dapat terus-menerus hadir sebagai bahan bacaan sampai selama 70 tahun di Negeri Paman Sam.    
Bagi saya, tudingan di atas memantik perenungan mendalam atas capaian para komikus Indonesia yang sering kali dipandang sebelah mata. Namun demikian, minimnya prasarana sosial-ekonomi tidak lantas membuat para komikus kita rendah diri. Buktinya, sejumlah karya lahir di tengah keterbatasan, bahkan termasyhur dan menjadi bahan perbincangan oleh para akademisi serta seniman dalam negeri. Tak jarang, atensi pun berasal dari luar. Semisal Marcel Bonnef, seorang berkebangsaan Prancis, yang mengangkat komik Indonesia sebagai tema penelitiannya. Sedemikian pentingnya, disertasi yang berhasil dipertahankan pada 1972 tersebut diterbitkan dan beberapa tahun selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH), Sebuah Noda Hitam (Jan Mintaraga), Si Put On (Kho Wan Gie), Buku Harian Monita (Sim Kim Toh), Gundala Putra Petir (Harya Suryaminata), Sri Asih (RA. Kosasih), dan Setitik Air Mata buat Peter (Zaldy Armendaris) merepresentasikan fakta bahwa ‘buah tangan’ para komikus kita sanggup membungkam keraguan. Di tengah gempuran pesimisme, komik-komik tersebut berhasil menyajikan riwayat kesuksesan.
Sayang dalam perkembangannya, terdapat indikasi kuat bahwa komik Indonesia sedang mati suri sebab komikus-komikus generasi baru tidak mewarisi tongkat estafet keberhasilan para pendahulu mereka. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur, sehingga industri komik berjalan tersendat-sendat. Atas dasar itulah, demi membendung gejala yang lebih akut, muncullah gerakan tokoh-tokoh wanita yang menaruh passion pada komik. Mereka berusaha sekuat tenaga agar karya komikus-komikus Indonesia tetap berumur panjang.
Pertama, Rahayu Surtiati. Wanita yang pernah menjadi dosen Fakultas Sastra Prancis Universitas Indonesia (UI) ini menggagas berdirinya Kajian Komik Indonesia (KKI) pada awal 1990an. Beberapa kali seminar dan diskusi yang digelar dengan menghadirkan sejumlah panelis antara lain Rudy Badil, Ishadi SK, Moerti Bunata, dan Arswendo Atmowiloto telah mencoba melihat sejauh mana nasib komik di masa lalu serta harapan di masa datang. Rahayu percaya bahwa selain menghibur komik juga berfungsi sebagai penyampai pesan. Komik memerankan diri selaku agen komunikasi dalam masyarakat. Boleh dibilang, apa yang dilakukan Rahayu setali tiga uang dengan pernyataan Marcel Bonnef (2008: 18) bahwa “komik merupakan salah satu karya sastra yang ampuh dalam menyebarkan gagasan.”
Kedua, Edi Sedyawati. Atas prakarsa wanita inilah untuk pertama kalinya komik disayembarakan oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen dan Kebudayaan (Depdikbud). Ia juga dinilai sebagai tokoh yang berani menelurkan gebrakan terhadap perkembangan komik tanah air. Dengan beragam upaya, ia bermaksud meningkatkan harga diri komik dengan cara mempublikasikannya ke masyarakat luas. Ia menganggap komik sangat layak diperjuangkan dalam Kongres Kesenian Nasional 1995. Langkah taktis yang dilakukan demi kemajuan komik adalah beraudiensi dengan Presiden Soeharto di Istana Negara. Setelah itu, ia merangkul Dwi Koendoro untuk bersama-sama merancang pekan komik nasional. Hasilnya, pekan komik nasional untuk kali pertama di Indonesia terselenggara pada Februari 1998 (Dwi Koendoro, 2007: 55). Tak salah bila Edi didaulat sebagai pencetus Hari Komik dan Animasi Indonesia.  
Ketiga, Vivian Wijaya atau Vee, satu-satunya mangaka (pembuat manga) asal Indonesia yang karyanya tiap bulan menghiasi koran Jepang. Wanita yang didapuk menjadi asisten Kenjiro Hata yang terkenal dengan karya Hayate The Combat Butler tersebut meresahkan kondisi tragis-melankolis yang dialami komik-komik Indonesia. Ia pun menaruh perhatian khusus terhadap kemunduran komik tanah air.  
Berbeda dengan Rahayu Surtiati dan Edi Sedyawati yang berhasrat mengembalikan kejayaan komik Indonesia masa silam dengan ciri asli dan local wisdom-nya, Vee gencar mempromosikan ‘produk lokal’ berbalut unsur Jepang dengan mendirikan sekolah komik di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berdiri sejak Oktober 2012, sekolah ini genap diikuti oleh banyak siswa baik domestik maupun mancanegara, seperti Jerman dan Australia. Dengan sekolah ini, alumnus Royal College Surgeon of Irlandia tersebut berharap agar ke depannya, komik Indonesia mampu bersaing dengan komik-komik luar. Menurut saya, hal ini bisa dipandang sebagai solusi (atau alternatif?) merangkul konsumen, sehingga karya komikus Indonesia mampu bersaing dan beradaptasi dengan pasar. Lebih dari itu, langkah ini merupakan upaya agar komik-komik dalam negeri memiliki gaung dan citra eksklusif.
Apa yang dilakukan baik oleh Rahayu Surtiati, Edi Sedyawati maupun Vivian Wijaya termasuk bagian dari agenda besar mempertahankan identitas kebangsaan. Sebuah identitas yang layak dijaga guna menjauhi cengkeraman kaum pengusung kapitalisme-materialistis juga oknum oportunis-pragmatis yang rentan menyelundupkan nilai-nilai perusak jiwa generasi bangsa. Dalam tataran tertentu, ikhtiar tersebut tergolong dalam strategi kebudayaan di mana akhir-akhir ini implementasinya pasang surut sebab mengalami pendefinisan ulang.
Gerakan ketiga tokoh wanita ini patut mendapat apresiasi. Mereka menawarkan semangat nasionalisme melalui ‘komikisasi’, aksi menjadikan komik sebagai ikon antusiasme sekaligus perlawanan: antusiasme memelihara warisan budaya bangsa sekaligus perlawanan menyapu bersih isme-isme destruktif yang tengah membanjiri masyarakat kita lewat beragam media.
Demikianlah secuplik perjuangan tokoh-tokoh wanita, demi menjaga martabat komik Indonesia. Maka, adakah di antara kalian, wahai para wanita, yang mendaftarkan diri sebagai pembela komik tanah air agar memiliki taji dan selalu disegani?


Yogyakarta, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar